Lihat ke Halaman Asli

Vania Jessika

Mahasiswa - Public Relations di Campaign.com

Peringati 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, Netizen Bisa Ikut Kampanye Bela Perempuan #UNITEforWomenandGirls Secara Daring

Diperbarui: 26 Desember 2022   13:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokpri

Apakah kamu menyadari kalau kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Indonesia sangat memprihatinkan? Angkanya naik terus tiap tahun.. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) mencatat, terdapat 11.279 kasus kekerasan terhadap anak di tahun 2020 dan meningkat hingga mencapai 12.566 kasus di  November 2021. 

Tidak hanya kasus kekerasan pada anak, angka kekerasan terhadap perempuan juga ikut meningkat, dimana pada tahun 2020 terdapat 8.686 kasus, sedangkan di tahun 2021 angka kasus kekerasan mencapai 10.247 kasus. 

Tragisnya, angka-angka ini belum mencerminkan kenyataan sepenuhnya di lapangan. Kondisi ini menunjukkan bahwa perlindungan terhadap perempuan dan anak di Indonesia masih sangat minim. 

Perempuan dan anak yang seharusnya mendapatkan tempat layak dalam kehidupan sosial dan budaya justru menjadi sasaran utama dan sangat rentan terhadap berbagai bentuk tindak kekerasan baik di ranah publik maupun domestik. 

Kekerasan yang dihadapi perempuan dan anak bermacam-macam bentuknya, mulai dari Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), trafficking and exploitation, female genital  mutilation, child marriage, perkosaan, dan lain-lain. 

Perlakuan bejat ini memberikan dampak buruk terhadap fisik maupun psikis para korban. Salah satunya adalah dengan adanya stigma buruk yang melekat pada korban. Korban akan mengalami perubahan diri, seperti lebih menutup diri, menghukum diri, menyalahkan diri sendiri, bahkan memandang dirinya sebagai aib. 

Dikutip dari idntimes.com, psikolog Riza Wahyuni S.Psi., M.Si. menyatakan, korban pelecehan dan kekerasan seksual dapat mengalami berbagai penyakit fisik, seperti penyakit lambung dan sakit kepala. Tak hanya itu, dari segi psikis, korban dapat mengalami emosi yang tidak stabil, "Kemudian beberapa lagi ada pikiran bunuh diri atau ada yang sudah melakukan upaya bunuh diri. Atau datar. Jadi, kalau ditanya tentang perasaannya, dia akan menjawab 'Biasa saja'. Jika ditanya apa yang terjadi kepadanya, dia akan menjawab 'Tidak ada, biasa saja.'" Kata Riza. 

Normalnya, setiap orang memiliki ekspresi ketakutan, jika tidak disalurkan dengan baik, sewaktu-waktu emosi itu akan meledak seperti bom waktu. Menurut Riza, hal inilah yang berbahaya. Derita korban tak berhenti sampai di situ. Di kehiupan sehari-hari, biasanya masyarakat sekitar justru akan menyalahkan korban, media-media memberitakan kasus tersebut seolah-olah tidak ada privasi korban. Hal ini menunjukkan bahwa dampak kekerasan tersebut dapat berpengaruh terhadap berbagai aspek kehidupan dari si korban. 

Melihat kondisi ini, Women's Global Leadership Institute mencetuskan sebuah kampanye yang bernama 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan atau yang disingkat 16 HAKTP.  Kampanye ini bertujuan untuk mendorong upaya-upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan di seluruh dunia. Kampanye ini dimulai pada tanggal 25 November, yaitu Hari Internasional Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan, dan berakhir di tanggal 10 Desember, yaitu Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional. 

Setiap tahunnya, 16 HAKTP memiliki tema yang berbeda-beda. Pada tahun 2022 tema yang diangkat adalah "UNiTE! Activism to end violence against women and girls". Berangkat dari hal tersebut, sebuah platform aksi sosial, Campaign.com  memfasilitasi netizen untuk melakukan aksi nyata dengan berdonasi tanpa uang demi melawan kekerasan terhadap perempuan dan anak.  

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline