Lihat ke Halaman Asli

Kakek Berkemeja Batik, Semoga Dirimu Selalu Baik-Baik!

Diperbarui: 23 Juni 2015   21:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Transportasi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Wirestock

Sore itu, sepulang dari jalan-jalan seru di Museum Sumpah Pemuda, gue sengaja pengen naik bus TransJakarta jurusan Kp. Melayu – Pulo Gebang. Rasanya kayak kangen sama jalanan yang udah gue laluin selama setahun lalu. Jadilah gue nostalgia sama jalanan sempit tapi rindang di sekitar daerah Jatinegara sampai Buaran Jakarta Timur. Jadi, setelah berebutan di halte busway Kp. Melayu, gue duduk juga dengan tenang di bagian ladies area yaitu di bagian depan bus gandeng berwarna oranye ini. Bisnya mulai penuh, banyak yang berdiri sambil berpegangan di gantungan yang disediakan, ada juga yang nyender di pintu atau di pembatas area.

Awalnya gue pengen tidur karena ac bis nya kayak niupin mata gue supaya cepet merem. Tapi nyatanya, ada seorang kakek-kakek umurnya sekitar 80an tahun berdiri di samping kanan gue. Tangannya masih kokoh megang gantungan yang melambai di atas tiang bis kebanggaan warga Jakarta ini. Naluri anak baik gue langsung hadir, gue berdiri dan menyuruhnya duduk. Awalnya dia senyum terus nolak, tapi gue paksa. Akhirnya dia duduk juga.

“Terima kasih.” ucapnya pelan sambil duduk.

Gue pun tersenyum dan ngeliat si bapak tua ini. Gue keingetan kakek gue! Serius deh! Nggak kebayang kalau kakek ini adalah kakek gue dan nggak ada orang yang ngasih dia duduk cuma karena dia terlihat kuat berdiri sambil berpegangan sama gantungan tangan. Oh my, nggak sanggup lagi gue mikir yang begituan.

Buat ngalihin pandangan gue, gue sengaja baca buku Insurgent. Buku lanjutan Divergent film yang sempet gue tonton beberapa bulan lalu. Gue emang terbiasa baca buku dimanapun, mau di jalanan atau sekedar nunggu bis di halte. Dan kakek itu negur gue.

“Nggak pusing ya baca sambil berdiri begitu?” tanya si kakek sambil sesekali membenarkan kerah kemeja batik yang dipakainya.

“Nggak, pak. Saya udah biasa.” Jawab gue sambil tersenyum.

Lalu si kakek menceritakan pengalamannya tentang baca buku. “Saya pernah baca buku di pesawat. Baru dua lembar saya baca, saya muntah-muntah. Anak saya marahin saya, katanya saya kampungan. Hahahaha.” Bapak ini cerita polos banget. Seakan-akan dia ngetawain dirinya sendiri. Kacamatanya sesekali melorot, dan berulang kali pula ia membenarkan letak kacamatanya diantara hidungnya yang mancung.

“Mungkin bapak nggak biasa baca, makanya pusing.” saut gue sambil ngeliatin muka si bapak yang udah banyak keriput di sana sininya. Ah, bapak ini bener-bener ngingetin gue sama kakek gue.

“Mungkin, ya! Makanya sekarang saya kapok baca buku dimana-mana. Hahaha.” si bapak ketawa lagi. Wajahnya happy, kayaknya hidupnya bahagia banget.

Dan dia berkali-kali bilang makasih sama gue, “Jarang ada cewek yang kasih saya duduk, lho! Mungkin saya keliatan masih muda ya.” si bapak ngelucu. Tapi kedengerannya agak menyindir juga. Dan gue nggak habis pikir kenapa ada orang yang nggak mau kasih tempat duduk buat bapak setua ini?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline