Hari itu, 22 Maret 1942 merupakan hari terbaik dalam hidupnya. Hari dimana ia dan kerabat kecilnya, Djaya, akan mengucapkan janji suci untuk saling mencintai satu sama lain seumur hidup mereka.
"Sah?"
"Sahh" ucap para saksi yang turut tersenyum gembira dan bertepuk tangan.
Perasaan takut, gusar, cemas menghampiri benak mereka, bagaimanapun, semua hal yang dilakukan akan tetap berada dibawah pengawasan tentara Jepang. Namun, terlepas semua perasaan buruk itu, Djaya menatap istrinya dengan penuh haru dan lengsung menecup kening istri tercintanya. Dalam hati Ia bersumpah, bahwa Ia akan menjaga dan mencintainya hingga ajal menjemput mereka berdua.
Tak lama setelah itu, terdengar suara langkah-langkah kaki menuju tempat mereka mengucapkan janji suci itu. Mereka berdua tahu, ini saatnya. Mereka tahu. Ini akhirnya.
"DIAM!! Ada keributan apa disini?!" Suara teriakan keras seorang komandan tentara dari pihak Jepang itu memecahkan suasana. Perasaan gembira yang dirasakan setiap manusia di tempat itu perlahan berubah menjadi sebuah kecaman.
"Semuanya yang ada disini, ikut saya!" Komandan itu memerintah dengan menarik paksa orang-orang yang terduduk ketakutan. Seorang ayah berteriak histeris ketika melihat putri kecilnya dibawa paksa oleh orang-orang tidak berperasaan itu.
"TIDAKK! Jangan ambil anakku!" Teriak bapak itu sambil memohon. Percuma saja, Komandan itu tetap memaksa untuk membawa mereka semua pergi dari situ. Semua orang berusaha berlari untuk menyelamatkan diri mereka. Di antara mereka, ada sepasang insan yang saling berpelukan dan menagis terisak.
"Maafkan aku, Maryam. Maafkan aku" ucap Djaya disela isaknya. Tangannya yang berbalut kulit sawo matang mendekap erat gadis yang yang selama ini ada disepanjang hidupnya seolah tidak akan pernah bertemu kembali.