Lihat ke Halaman Asli

Setelah Televisi Lalu Apa Lagi?

Diperbarui: 24 Juni 2015   00:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

SETELAH TELEVISI LALU APA LAGI ?

Konglomerasi, Hegemoni, dan Politik Media

Tak seorang pun bisa lepas dari jeratan kuasa media. Setiap hari selama berjam-jam kita dapat menonton televisi, mendengarkan radio, membaca surat kabar atau majalah, bercengkerama melalui jaringan pertemanan atau sosial media, dan berselancar ria di internet. Media telah memberi pengaruh yang besar dalam kehidupan manusia, namun fungsi media saat ini kini telah bias. Media tak lagi menyalurkan informasi yang dibutuhkan publik. Sebagaimana sering dipertegas oleh kebanyakan pakar media, “ia lebih mengakomodasi kepentingan-kepentingan elit-elit politik dibalik penyajian dan frekuensi pemuatan kontennya, sehingga tidak lagi dapat dipandang sebagai sarana informasi yang sifatnya murni untuk kepentingan publik”. Cepat atau lambat, perkembangan informasi saat ini membuat perilaku media semakin politis, dengan kata lain berpolitik.

Dalam buku “Transpolitika: Budaya Politik Di Era Virtualitas” dewasa ini telah terjadi perubahan mendasar mengenai definisi dan pemahaman tentang ruang, kebenaran, kepercayaan, realitas, transendensi yang telah mengubah pula secara mendasar tentang konsep politik itu sendiri. Sehingga dalam dunia politik saat ini tidak ada ruang politik melainkan ruang digital politik; tidak ada kebenaran politik melainkan manipulasi politik; tidak ada kepercayaan politik melainkan perdayaan politik; tidak ada kebajikan politik melainkan permainan politik; dan tidak ada transendensi politik melainkan imanensi politik. Konsep hegemoni Antonio Gramsci dapat diinterpretasikan kedalam berbagai aspek dan salah satunya adalah hegemoni dalam budaya massa. Dimana media massa entah apapun bentuknya merupakan bagiannya.

Fenomena yang ada di Indonesia dewasa ini mengarahkan media kepada konglomerasi media. Sebagaimana Fredy Wansyah, pemerhati budaya massa dan pekerja pers, dalam tulisannya “Ketika Media Massa Berpolitik” menulis bahwa ada tiga indikator yang bisa diamati terkait fenomena media saat ini. Pertama, pemilik (owner) media, bisnis media tidak membatasi kepemilikan, sehingga memungkinkan seorang pengusaha memiliki unit-unit usaha lebih dari dua unit. Televisi, media massa yang cakupannya paling luas, misalnya, didominasi oleh: Hary Tanoe (Global TV, MNC TV, dan RCTI), Abu Rizal Barkie (TV One dan ANTV), dan Surya Paloh (Metro TV).

Kedua, konten media, tendensi dan corak konten (isi) berita dari tiap-tiap media tentu berbeda. Perbedaan bukan semata-mata tanpa maksud dan tujuan tetapi sebagai upaya menciptakan pencitraan publik. Sebagai contoh pemberitaan tentang kisruh PSSI, sebagaian besar media lebih sering menayangkan berita terkait PSSI tandingan (Pimpinan La Nyala). Adapun berita-berita PSSI resmi (Johar Arifin) posinya sangat sedikit atau bahkan tak  pernah muncul. Ketiga, pembuatan konten, dalam logika pers, seperti dianalogikan John Bogart, orang menggigit anjing lebih bernilai dibandingkan anjing menggigit manusia. Pada perspektif nilai seperti itulah berita-berita ditampilkan. Berita-berita yang tidak bernilai demikian akan diabaikan (dianggap tidak layak muat). Misalnya, apakah eksklusivitas pemberitaan meletusnya Gunung Merapi dapat mendatangkan iklan? Bila tidak, pemberitaan itu sebatas lalu saja. Bila mendatangkan iklan, pemberitaan itu ditayangkan berulang-ulang.

Konglomerasi kepemilikan media seperti disebutkan di atas membawa potensi bahaya yang tidak bisa diremehkan. Pertama, arus informasi ke publik menjadi monolitik. Terpusatnya kepemilikan media tidak memenuhi kaidah keragaman kepemilikan (diversity of ownership) yang berakibat pada sedikitnya keberagaman isi (diversity of content). Kedua, terabaikannya agenda publik. Apa yang ditampilkan dalam media disesuaikan dengan alur kepentingannya pemilik modal. Ketiga, terjadi migrasi peran warga negara yang direduksi semata-mata menjadi konsumen. Sebagai konsumen, masyarakat tidak memiliki hak berpartisipasi dalam menentukan informasi yang diberitakan di media. Keempat, merosotnya mutu jurnalisme yang dipraktikan media.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline