Lihat ke Halaman Asli

Riwayat Dendam di Kampung Kita

Diperbarui: 2 September 2017   21:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kesedihan kini selalu menunggu di kampung Kita. Terdengar kabar, di antara rumah-rumah sempit, para penduduk sempat mau berdamai. Tapi, pada suatu malam, ada bunyi parang riuh dari halaman rumah mereka. Pertumpahan darah kembali terjadi di sana, lagi. Dan entah mengapa, damai itu begitu cepat berlalu dan dendam akan menguak dari dalam darah-darah yang koyak, dari tangisan anak-anak dan perempuan-perempuan dalam rumah. 

Pada siang hari, siapapun tidak akan bisa melihat kesedihan di tempat itu. Tapi pada malam hari, kesedihan selalu mampu menampakkan diri dan membelai kepala orang-orang kampung hingga anak-anak terlelap dalam pangkuan kesedihan itu saat lampu-lampu padam; pintu, jendela rapat terkunci. Anak-anak bertelungkup di kolong-kolong tempat tidur dan perempuan-perempuan itu merangkul mereka, erat sekali, sambil mata melotot dan pisau dapur berjaga, kalau-kalau ada yang menerobos ke dalam rumah menghendaki darah mereka.

Sementara di luar rumah, desingan parang, teriakan kemurkaan dan darah penghabisan membuncah di kegelapan. Malam kian jauh dan Kartika tidak tahu, entah apa yang akan tumbuh di halaman rumahnya selepas malamitu.

***

Di suatu sore yang berkabut, orang-orang yang berjejalan di halaman kampungdigemparkan oleh pemandangan yang fantastis yang belum pernah mereka lihat sebelumnya. Di bawah pohon ketapang, samping rumah adat, dua orang kekasih berciuman penuh nafsu tanpa memikirkan tempat dan waktu.

Begitu panas ciuman itu, hingga orang-orang yang menjadi saksi peristiwa tersebut, kelak bertahun-tahun kemudian akan menceritakannya, bahwa mereka melihat api menyala dari bibir keduanya. Hal itu menjadi legenda, sebab sepasang kekasih tersebut adalah Berno dan Kartika. Baik lelaki maupun perempuan, akan mengenang peristiwa tersebut dengan kecemburuan tanpa ampun.

Kartika telah berpacaran dengan Berno jauh sebelum para pendatang menetap di sana. Bahkan saat Kartika sendiri belum genap berusia tiga belas tahun dan Berno masihlah bocah mentah yang kadang tengik. Dan semua orang berpendapat bahwa mereka adalah pasangan terindah yang pernah ada di dunia. Dan memang penampilan provokatif mereka telah dikenal di hari-hari terakhir sebelum kepergian Berno ke ibukota kabupaten untuk belajar di Sekolah Tinggi.

***

"Aku ingin belajar menangis tanpa air mata dan perasaan-perasaan lembap", ungkapnya dalam hati kecil. Bagaimanapun, kematian Pau Gasol membawa duka yang mendalam bagi keluarga mereka. Sebab, Kartika teringat, telah bertahun-tahun lelaki itu berkorban dan membaktikan diri untuk keluarganya, sebagai rekan kerja ayah di ladang, yang kini dari sana lahir dan tumbuhya benih jagung, subur dan lebat.

Ketulusan, panjang dan susah, dinikmatinya sepenuh hati, seperti musim, sepanjang tahun-tahun. Lelaki itu telah menjadi anggota keluarga itu dan oleh sebab kegemilangan dan budi baiknya, keluarga pun tak menginginkan jarak di antara mereka.

Hingga pada suatu pagi yang basah, Pau Gasol diketemukan tewas dengan kondisi mengenaskan. Orang banyak dan beberapa polisi telah ada di tempat sebelum Kartika dan ayahnya tiba si sana. Sesungguhnya, di tempat terkutuk itu, telah terjadi pembantaian dan dari padanya akan lahir dendam, dan api akan meluap-luap dari bibirnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline