[ Tulisan ini mengandung pesan perenungan, sekaligus ingatan akan peristiwa yang sudah terjadi. Dia, Engeline telah tiada, namun ingatan akan kejadian ini penting untuk diabadikan, agar peristiwa serupa tidak terulang di masa nanti. – penulis: Valerian Libert Wangge ]
ENGELINE dikabarkan hilang, Sabtu (16/5/2015) dan Polisi menerima laporan resmi kehilangan ini 2 hari kemudian tepatnya, Senin, (18/5/2015). Kabar ini juga mengemuka pada laman (fanpage) Facebook bertitel “Find Angeline-Bali’s Missing Child”. Namun entah alasan apa, saya yang sempat mengikuti fanpage ini pun, turut terkejut mendapati laman ini telah hilang 2 pekan lalu pasca penetapan Margriet sebagai tersangka Penelantaran Anak.
Setelah melewati liku jalan pencarian lebih dari 3 minggu, Engeline pun ditemukan dalam kondisi tak bernyawa. Anak hilang itu ditemukan mati terkubur mendekap boneka barbie, pada lehernya tampak bekas lilitan tali, kulitnya tampak bekas sundutan rokok dan terdapat memar pada batok kepalanya. Mirisnya, ia dikubur dekat kandang ayam dalam kintal rumah ibu angkatnya di Sanur Denpasar (10/6/2015). Publikpun terperangah. Jenasah Engeline kini telah dikuburkan secara layak di Banyuwangi, Jawa Timur, Rabu (10/6/2015)
Engeline, bocah mungil itu sudah jauh terpisah dari kedua orang tua kandungnya sejak berusia 3 hari. Kemiskinanlah yang menjadi akar utama. Ia lahir di Tibubeneng Canggu (Bali) 19 Mei 2007, anak ke - 2 dari 3 bersaudari, buah hati pasangan suami istri (pasutri) Achmad Rosidi dan Hamidah. Perikatan melalui “Surat Pengakuan Pengangkatan Anak” antara Rosidi dan Hamidah dengan Margriet Christine Megawe dilangsungkan dihadapan Notaris dan PPAT Anneke Wibowo, tanggal 24 Mei 2007.
Sejak itulah Engeline menjadi “anak angkat” Margriet, meski akhirnya diketahui jika proses pengangkatan anak itu “cacat prosedur”, sebab sama sekali tak diketahui Departemen Sosial serta belum memperoleh penetapan resmi Pengadilan. Bayi mungil itu lalu dinamai Engeline, lengkapnya Engeline Margriet Megawe. Engeline memiliki orang tua baru Margriet Ch.Magawe bersuami Douglas Scarborough, pria asal Amerika Serikat.
Apa salah Bocah Manis ini? Hingga pelaku memperlakukannya di luar nalar sehat. Bukankah bocah seumuran nya (juga) representasi dari kesucian? Ketika kesucian itu dibunuh, apakah masih ada yang disisahkan? Masa hidupnya yang terlampau singkat itu, kini menjadi kenangan bagi siapa saja yang dekat dan mengenalnya.
Jalan Berliku itu “Engeline”
Engeline anak yang hilang itu ternyata tidak hilang, ia sengaja dihilangkan. Polisi berdasarkan bukti permulaan yang cukup, akhirnya menetapkan Margriet Ch. Megawe sebagai otak dan pelaku pembunuhan berencana. Simpulan polisi ini juga, mengubah posisi tersangka Agus Tae, “… yang hanya berperan membantu menguburkan korban”. Margriet dijerat pasal berlapis, hukuman mati kini mengintai istri dari mendiang Douglas Scarborough itu. Tidak itu saja, polisi terus melakukan investigasi guna menelisik dugaan keterlibatan pelaku lain dalam peristiwa biadab ini.
Sontak pujianpun disampaikan beragam pihak atas kinerja polisi, termasuk dari kuasa hukum Agus Tae, juga beragam eksponen masyarakat yang terus memantau kasus ini sejak awal. Namun perlawanan justru datang dari tim kuasa hukum Margriet. Menurut mereka, penetapan status tersangka ini “sangat dipaksakan”, alat bukti yang dipakai untuk menjerat kliennya diragukan kualitasnya. Penyidik Polri dituding bertindak atas dasar desakan dan opini publik. Untuk itu Hotma Sitompul dan tim dikabarkan telah mendaftarkan gugatan Praperadilan di PN Denpasar.
Tidak itu saja, tersangka Margriet pun melakukan “perlawanan diam”. Ia tidak bersedia untuk di BAP (disidik) dalam statusnya yang baru sebagai tersangka pembunuhan. Dalam perspektif hukum acara pidana, jalan yang dipilih Margriet dapat diartikan, jika ia tidak mau menggunakan haknya. Meskipun demikian, menurut saya, wajib bagi Magriet untuk menandatangani Berita Acara Penyidikan (BAP), beserta keterangan yang menjadi alasan penolakannya. Hal tersebut menjadi bagian dari penghormatan dan penghargaan terhadap hukum yang berlaku. Status tersangka tetap dalam koridor “azas praduga tak bersalah”, dimana tersangka belum tentu bersalah, masih memiliki hak untuk membela dirinya di Pengadilan.