[caption id="attachment_284029" align="aligncenter" width="661" caption="Screenshot Video Youtube (29/08/2013)"][/caption]
Benarkah pemerintah "membiarkan" informasi dan tutorial merakit BOM bebas untuk dipelajari oleh masyarakat? Pertanyaan ini jelas sangat menganggu pikiran saya, Pertanyaan ini saya lontarkan setelah membaca sebuah reportase dari seseorang kompasianer bernama Penguasahati Lubis, dengan judul Pemerintah Membiarkan Masyarakat belajar merakit Bom ???, yang diposting pada jam 17:25 Wib kemarin.
Karena penasaran dan prihatin, tentu saja tulisan tersebut saya baca berulang kali, kemudian melihat bukti-bukti yang disertakan.
Siapa Penguasahati Lubis itu? Awalnya saya tidak terlalu peduli, namun karena ingin mengkonfirmasi laporan beserta opini yang dituliskannya, saya akhirnya menjalin komunikasi dengannya beberapa jam setelah ia memuat tulisannya di kompasiana.
Ternyata Penguasahati Lubis ini tak lain adalah sesama aktivis dalam gerakan internet sehat dan aman, Kami sering bertemu dalam berbagai kesempatan. Dalam ulasan ini saya menyebutnya dengan inisial Mrs X saja.
Hasil pembicaraan kami tak berbeda dengan apa yang ia tulis dalam reportasenya itu, yang pada intinya ia sangat prihatin dan kecewa mengapa video youtube berdurasi 21:02 menit yang menunjukan cara merakit sikuit phone detonator "bom" masih dibiarkan untuk dapat diakses oleh khalayak ramai. Video tersebut dipublish sejak 11 juni 2013 dan sudah dilihat sebanyak 76 kali saat tulisan ini dibuat.
Bagi Mrs X, ini adalah keteledoran dan pembiaran lembaga, kementrian atau badan pemerintah yang seharusnya dapat bereaksi cepat menutup video dan akun tersebut serta melacak pelakuknya. Bukankah google melalui youtube Indonesia telah bekerjasama untuk mengatasi berbagai video yang dapat digolongkan "berbahaya"? Ini yang jadi pertanyaan saya juga.
Mrs X mengaku bahwa ia telah menhubungi beberapa pejabat Negara yang terkait dengan keamanan Negara. Beberapa diantaranya bereaksi namun mirisnya tidak sedikit pejabat terkait yang menanggapi secara dingin laporannya, seolah-olah menganggap hal seperti itu sudah banyak tersebar di ranah maya, namun blokir dapat saja dilakukan jika ada permintaan dari instansi pemerintah karena alasan regulasi dan birokrasi biasanya menjadi alasan ampuh agar kelak mudah mencuci tangan atas ekses yang lebih luas dari sebuah kasus sepert ini.
Menurut Mrs X yang sudah terbiasa berhubungan dengan aparat hukum dan pejabat Negara, reaksi laporan ini terkesan berbeda ketika suatu situs pornografi dilaporkan. Jika situs pornografi bisa langsung ditangani dengan cepat, justeru konten "berbahaya" yang dapat mengancam keamanan Negara terkesan lamban.
Dengan berbagai alasan dan argumentasinya saya dapat memahami jalan pikiranya, apalagi "jam terbangnya" dalam pemanfaatan teknologi dan informasi untuk perindungan terhadap anak dan remaja sudah lama digelutinya.
Saya tidak akan mengulas lebih lanjut apa isi pembicaraan saya dengan Mrs X, karena pembaca dapat melihat dan membaca langsung pada artikelnya. Saya rasa, kurang lebih sama dengan keprihatinan banyak orang. Namun yang jadi persoalan bagi saya adalah masalah pemblokiran dan pengusutan para pelaku kejahatan dunia maya yang terkesan "dibiarkan"