[caption id="attachment_166696" align="aligncenter" width="650" caption="ilustrasi - gizmodo.com"][/caption]
Percayakah anda bahwa 'pecandu' media sosial dapat memiliki kecenderungan untuk berbohong ? Berbohong di sini bukan berbicara mengenai masalah privacy ketika seseorang menyembunyikan identitasnya, namun lebih pada tindakan untuk menyembunyikan kebenaran agar tujuan yang diinginkan bisa dicapai dengan "mudah". Sehingga tindakan berbohong yang dilakukan adalah tindakan yang dilakukan dengan sadar, dengan suatu rencana untuk suatu tujuan tertentu. Berbohong di media sosial juga dikenal sebagai social liar.
Sebuah penelitian yang pernah dilakukan oleh Research optimum atas nama Direct Line insurance, menemukan bahwa orang lebih nyaman untuk berperilaku tidak jujur di Twitter dan Facebook dibadingkan ketika berbicara pada seseorang secara tatap muka.
Survei pada 2.000 orang di Inggris, mengungkapkan juga bahwa hanya 20% orang yang mengaku jujur ketika berkomunikasi melalui Twitter atau pesan teks, sementara hampir sepertiganya mengatakan mereka akan lebih jujur ketika berbicara bersama seseorang secara langsung.
Pendapat seorang psikolog, Glenn Wilson, yang dikutip The Daily Telegraph tahun lalu mengatakan bahwa teknologi modern, seperti smartphone, jejaring sosial, kamera web dan pesan instan telah dipuji sebagai sebuah inovasi mengenai cara manusia berinteraksi, menghilangkan hambatan percakapan dan komunikasi serta memungkinkan untuk mendiskusikan sebuah wacana baru secara terbuka. Namun, ketika menggunakan sarana komunikasi itu (tanpa tatap muka) mendorong kita untuk cenderung berbuat tidak baik. Hal ini berbeda ketika berbicara bersama seseorang secara langsung, kita dapat mengetahui reaksi dan bahasa tubuh mereka, begitupun sebaliknya.
Berbicara gangguan perilaku dalam masalah 'bohong' atau pembohong, kita akan mengenal dua istilah yaitu. Pathological Liar dan Compulsive Lying Disorder. Kebanyakan orang mungkin akan mengalami kesulitan ketika membedakan keduanya, kelihatannya mirip namun sebenarnya berbeda.
'Pembohong patologis' biasanya hanya akan berbohong ketika mereka ingin dilihat lebih baik di depan orang lain. Mereka menciptakan peran yang sama sekali berbeda dengan keberadaan mereka sebenarnya. Demi keinginan ini mereka akan cenderung untuk terus berbohong dari waktu ke waktu.
Sedangkan 'pembohong kompulsif' adalah seseorang yang dapat berbohong dengan mudah, mereka tidak dapat mengendalikanya dan merasa nyaman bila hal itu mereka lakukan. Orang-orang yang menderita gangguan berbohong kompulsif ini seolah-olah tidak mampu untuk berkata tentang kebenaran karena mereka sebenarnya sangat tidak nyaman untuk melakukan hal itu. Jadi, untuk menghindari diri dari ketidaknyamanan itu, mereka harus terus berbohong.
Perlu juga untuk membedakan antara pembohong patologis dengan Dissociative identity disorder (DID) atau dikenal sebagai kepribadian ganda, yaitu seseorang yang memiliki pribadi lebih dari satu atau memiliki dua pribadi sekaligus. Kadang si penderita tidak tau bahwa ia memiliki kepribadian ganda, dua pribadi yang ada dalam satu tubuh ini juga tidak saling mengenal dan lebih parah lagi kadang-kadang dua pribadi ini saling bertolak belakang sifatnya.
Jadi pembohong patologis merencanakan kebohongan karena tujuan tertentu dan bukan kepribadian ganda, sedangkan pembohong kompulsif tidak perlu ada rencanapun mereka selalu akan berbohong tanpa tujuan apa-apa, dengan berbohong mereka merasa nyaman.
Dalam pemanfaatan media sosial kita mungkin akan mudah menemui seorang pembohong kompulsif karena memang sudah bawaan mereka, apa yang mereka lakukan dapat saja kita anggap sebagai sebuah kebohongan. Namun untuk pembohong patologis, kita akan sulit menentukan bahwa mereka berbohong atau tidak, karena pada dasarnya mereka juga tahu dan sering mengungkapkan kebenaran. Kebohongan yang mereka katakana dianggap oleh orang lain sebagai kebenaran. Dan perlu kita ketahui, pembohong patologis akan mempertahankan kebohonganya sampai kapanpun agar terus mendapat image baik dimata orang banyak.