Lihat ke Halaman Asli

Anak adalah Cerminan Orangtua (Psikologi Anak)

Diperbarui: 24 Juni 2015   12:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Hingga beberapa waktu yang lalu, saya masih berkomentar seperti ini pada status/berita tentang bunuh diri pada pelajar, bahwa itu adalah suatu hal yang paling bodoh dan picik, terlebih lagi mereka masih muda. Namun sekarang saya menyadari bahwa untuk hal tersebut kita tidak bisa 100% menyalahkan si pelaku, lingkungan sekitar dan terdekat mereka juga punya peran akan timbulnya pikiran seperti itu pada anak-anak.

Saya bekerja di salah satu tempat kursus belajar. Siswanya beragam, dari palygrup (PG), TK hingga SMA. Saya ditempatkan di bagian bimbingan siswa yang masih kecil-kecil (PG – SD kelas 2). Hampir setiap hari saya bertemu dengan mereka. Dari situ saya belajar mengenal pribadi mereka satu per satu. Dan dalam beberapa minggu belakangan ini ada sesuatu yang mengejutkan saya.

Tadi sore saya dengar dari seorang rekan kerja bahwa si A berbicara dengan temannya tentang ‘latihan bunuh diri’. Saya langsung terkejut mendengar hal tersebut. Entah apa yang ada di pikirannya ketika mengatakan ‘latihan bunuh diri’. Selama ini kami mengenalnya sebagai anak yang ceria. Memang terkadang dia berperilaku aneh seperti menggigit-gigit kukunya dan bersikap seperti orang yang sangat ketakutan. Dan pernah satu kali ketika saya mendampinginya mengerjakan soal, dia hendak menusuk telapak tangannya dengan pensil. Dan hal yang hampir sama tadi terulang kembali. Dia menggaruk-garuk punggung tangannya dengan ujung pensil, bahkan ketika tangannya sudah mulai ada luka goresan dia tetap menggaruk-garuk punggung tangannya dengan ujung pensil. Semakin dicegah, dia semakin ketakutan, dan dia melakukannya lebih keras.

Lain lagi dengan si B, melihat orang asing dia seperti melihat musuh. Setiap kali akan didampingi belajar, seakan-akan dia menganggap kami akan ‘menerkamnya’. Harus dengan cara ekstra lembut untuk mendekatinya.

Sungguh saya merasa iba dengan anak-anak ini, dan anak-anak lain yang mungkin mengalami hal yang serupa. Bisa berkata “Kamu pernah latihan bunuh diri ga?” kepada orang lain, sungguh membuat saya terkejut, terlebih ketika saya tahu bahwa kata-kata itu meluncur dari mulut mungil anak usia 4 tahun.

Kami mencoba mencari tahu apa yang menjadikan anak-anak tersebut berperilaku seperti itu. Rupanya mereka kerap mendapat perlakuan kurang menyenangkan (kekerasan) dari orang tuanya. Mereka mendapat kekerasan fisik (cubit, pukulan) ketika mereka tidak mau mengerjakan apa yang orang tuanya inginkan. Akibatnya mereka mengalami trauma. Sedihnya, ketika hal itu dilakukan oleh salah satu orang tua (papa/mama), orang tua lainnya tidak bisa melindungi/mencegah tetapi hanya diam. Mengapa tidak dicegah? Karena mereka takut pada pasangannya. Padahal orang tua punya hak yang sama dalam mengasuh anak.

Tidak dapat kita pungkiri bahwa seperti apa gambaran anak-anak kita saat ini adalah cerminan dari obsesi orang tua. Bukan hal yang salah jika orang tua ingin anaknya menjadi nomor 1 dan berprestasi, tapi terlalu memaksakan keinginan itu dapat menekan jiwa anak. Terlebih lagi saat itu dilakukan ketika anak masih berada di usia bermain, mereka sudah diikutkan les ini dan les itu. Kejenuhan yang memuncak bisa berakibat fatal.

Salah satu teman pernah bercerita bahwa tetangganya ada yang gila, padahal usianya masih muda, masih remaja. Ketika saya tanya penyebabnya, teman saya bilang karena dia diwajibkan oleh orang tuanya untuk selalu menjadi rangking 1 di sekolahnya. Kerja kerasnya dalam belajar bukan untuk kepandaiannya, tapi karena ketakutannya jika tidak menjadi rangking 1. Secara fisik dia kelelahan, secara psikis dia tertekan.

Sehingga jika saat ini masih ada berita tentang bunuh diri di kalangan pelajar dan alasan mereka bunuh diri karena prestasi, mungkin sudah sepantasnya kita bercermin, apa yang sudah kita lakukan pada anak-anak kita. Saya rasa bekal ilmu agama pun tak akan cukup jika kita masih memaksa kehendak kita pada mereka.

Bukan hal yang salah menginginkan anak kita pandai dan berprestasi, tapi mungkin kita juga perlu melihat kemampuan dan bakat anak. Mencoba mengarahkan boleh, tapi ketika anak sudah menolak jangan paksakan anak untuk terus melakukannya. Seperti kata Kahlil Gibran :

Anakmu bukanlah anakmu.

Mereka adalah putra putri kehidupan terhadap dirinya sendiri.

Mereka terlahir lewat dirimu, namun tedak berasal dari dirimu.

Dan meskipun mereka bersamamu mereka bukan milikmu.

Kau boleh memberi mereka cintamu, tetapi bukan pikiranmu sebab mereka memiliki pikiran sendiri.

Kau bisa memelihara tubuh mereka namun bukan jiwa mereka.

Sebab jiwa mereka tinggal dirumah masa depan, yang takkan bisa kau datangi, bahkan dalam mimpimu.

Sebab kehidupan tidak bergerak mundur dan tidak tinggal bersama hari kemarin.

Kau adalah busur yang meluncurkan anak-anakmu sebagai panah hidup.

Pemanah mengetahui sasaran di jalan yang tidak terhingga.

Ia melengkungkan sekuat tenaga-Nya agar anak panah melesat.

Biarlah tubuhmu yang melengkung, di tangannya merupakan kegembiraan.

Sebab seperti cinta-Nya terhadap anak panah yang melesat.

Ia pun mencintai busur yang kuat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline