Lihat ke Halaman Asli

RPM Konten, Banyak Bermasalah

Diperbarui: 26 Juni 2015   17:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Revisi 16 Febrauri 2010 pk 15.45 wib.

Artikel ini telah dibahas dalam rapat pleno dewan pengawas dan dewan pengurus Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia tanggal 18 Februari 2010, dan disetujui menjadi lampiran atas tanggapan resmi APJII terhadap RPM Konten Multimedia.

Kementrian Komunikasi dan Informatika dalam beberapa tahun terakhir telah menyiapkan rancangan Peraturan Menteri mengenai Konten Multimedia. Aturan ini mengatur jenis-jenis data yang dilarang untuk didistribusikan, ditransmisikan, dan dibuat oleh pengguna layanan informasi elektronik.

Berikut ini beberapa pandangan terhadap RPM Konten Multimedia tersebut:

A. Pembedaan kelas PENYELENGGARA

Pada RPM, tidak dibedakan kelas-kelas penyelenggara. Penyelenggara hanyalah didefinisikan sebagai “penyelenggara jasa Telekomunikasi yang menawarkan layanan berbasis Teknologi Informasi, meliputi jasa akses Internet, penyelenggara jasa interkoneksi Internet, penyelenggara jasa Internet teleponi untuk keperluan publik, penyelenggara jasa sistem komunikasi data, atau penyelenggara jasa Multimedia lain yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan”.

Dalam pelaksanaannya di lapangan, bisa kita klasifikasikan beberapa macam penyelenggara :

1. Penyelenggara Jaringan 2. Penyelenggara Konten (dalam negeri) 3. Penyelenggara Konten (luar negeri) 4. Pengguna (sebagai pembuat konten) 5. Pengguna (sebagai penerima konten)

Secara teknis, penyelenggara jaringan tidak memantau konten internet yang disalurkan ke pengguna. Penyelenggara jaringan adalah penyedia layanan berbasis IP Address (pada OSI layer, berada pada layer 3), di mana konten merupakan layer-layer di atasnya.

Sebagai contoh pada permintaan Kominfo untuk melakukan blog pada salah satu sub domain blogspot beberapa waktu yang lalu, yang akan dilakukan oleh ISP adalah memblok IP Address situs tersebut, yang kemudian berakibat dibloknya seluruh akses ke blogspot.

Penyelenggara jaringan hanya menyalurkan konten yang ada, tanpa tahu apa isi konten tersebut. Ibaratnya DLLAJ tidak bertanggung jawab apabila apa mobil yang membawa narkoba melintas di jalan. Selama mobil tersebut mematuhi rambu lalu lintas, tentu tidak akan dipermasalahkan. Demikian juga konten, selama tidak ada anomali jaringan yang disebabkan oleh konten, misalnya DDOS, Flood, dll, tentu Penyelenggara Jaringan tidak akan memblok konten tersebut.

Tanggung jawab terhadap konten sebenarnya lebih pada penyelenggara konten, baik yang berada di dalam negeri maupun di luar negeri. Tanggung jawab ini pun masih perlu dikaji lebih jauh, mengingat sifat interaktif situs yang mulai marak di internet. Konten yang pada pada sebuah situs, bukan lagi hanya konten yang ditampilkan sepihak oleh penyelenggara konten, tetapi juga konten yang dibuat dengan bebas oleh pengguna.

Pada era situs internet web 2.0, pengguna bukan hanya pembaca, tetapi juga pembuat konten. Sisi interaktif ini yang menyebabkan meningkatnya pengguna internet. Facebook, Twitter, adalah salah satu contoh betapa pengguna internet sangat memetik manfaat dan mendukung sisi interaktif web 2.0 ini.

Penyelenggara konten yang berbasis di luar negeri juga tidak bisa dilepaskan dalam pembahasan RPM ini. Saat ini sebagian besar konten internet masih di-host oleh penyelenggara konten di luar negeri. Pemerintah harus sadar, bahwa ada term and agreement di setiap penyelenggara tersebut. Ada mekanisme pelaporan dan penghapusan konten yang melanggar aturan. Jika memang pemerintah menganggap ada konten yang membahayakan, melanggar aturan, seharusnya pemerintah bisa melakukan permintaan penghapusan kepada penyelenggara konten tersebut.

Dengan tidak adanya perbedaan kelas penyelenggara dalam RPM ini, tugas dan tanggung jawab tiap kelas penyelenggara menjadi rancu. Penyelenggara jaringan, yang tidak memantau isi konten, tentu tidak dapat dimintai pertanggungjawaban untuk isi konten. RPM ini seharusnya bisa memperjelas aturan di UU ITE, bahwa penyelenggara jaringan hanya dapat bertanggung jawab, jika konten yang melanggar tersebut, di host di jaringan miliknya. Ini pun, tanggung jawab bersifat menerima aduan, bukan pengecekan secara aktif.

Penyelenggara konten lokal juga harus bertanggung jawab atas konten yang dibuat. Untuk konten yang bersifat dinamis, yang dibuat secara interaktif oleh pengguna, penyelenggara konten tanggung jawabnya juga bersifat menerima aduan dan menindaklanjuti aduan.

Suatu konten dibuat oleh pengguna, tentu pengguna harus bertanggung jawab atas konten yang dibuatnya. Tentu harus diterapkan aturan dan tanggung jawab yang berbeda, untuk pengguna yang membuat konten, dan pengguna yang hanya membaca/menerima konten.

Jika kita sepakat, bahwa definisi Penyelenggara harus kita perlebar, selanjutnya akan muncul kerancuan, misalnya pada Bab III pasal 9,ayat 1 butir b, yang berbunyi “keharusan bagi Pengguna untuk memberikan informasi yang benar dan akurat mengenai identitas dan kontaknya saat mendaftar”.

Saat seorang pengguna mendaftarkan diri ke layanan di internet, tentu sulit untuk memastikan apakah pengguna menggunakan data yang benar atau tidak. Juga, saat ini banyak muncul layanan internet yang gratis dan bebas, sehingga hampir tidak mungkin untuk memastikan pengguna memberikan data yang benar. Tentu kita belum lupa masalah pengumpulan data pengguna telpon selular pra bayar, yang sempat diluncurkan beberapa tahun yang lalu, dan saat ini hanya merupakan aturan tumpul tak bertaring.

B. Internet bukanlah Penyiaran

Jika kita membaca isi RPM ini secara keseluruhan, semangat dari RPM ini terlihat jelas meniru semangan Komisi Penyiaran dalam melakukan pembatasan siaran televisi. Ada hakekat besar yang harus disadari, bahwa internet tidak sama dengan penyiaran. Penyelenggara jaringan internet, tidak bisa disamakan kedudukan dan fungsinya dengan penyelenggara penyiaran.

Di penyiaran, semua konten yang disiarkan ke penonton, adalah konten yang telah dipilih dan diperiksa oleh redaksi penyiaran. Kalau tidak diijinkan untuk disiarkan, tentu tidak mungkin akan tersiar dan sampai ke penonton.

Berbeda dengan internet. Penyelenggara jaringan hanya menguhubungkan jaringan lokal milik pengguna dengan jaringan internet secara luas, dan secara otomatis semua jenis konten akan sampai ke pengguna.

Dengan demikian, tentu penyelenggara jaringan tidak bisa dimintai pertanggung jawabannya atas semua konten yang tersalurkan ke pengguna. Hal ini tidak terakomodasi dalam RPM Konten ini, di mana pada pasal 9 ayat 2, di mana RPM melarang penyelenggara untuk melepaskan tanggung jawab ini. Bagaimanapun juga, tanggung jawab atas konten yang “disiarkan” seharusnya ada pada pihak pengirim, dan tanggung jawab atas konten yang diterima, ada pada pihak penerima, bukan penyelenggara jaringan.

Jangan sampai RPM ini bersikap “Kill the Messenger”, atur penyelenggara jaringannya, karena pemerintah tidak bisa mengatur penyelenggara konten di dalam negeri, apalagi yang di luar negeri.

Nuansa penyiaran juga muncul cukup kental pada beberapa pasal yang berisi larangan jenis konten. Misalnya pada RPM pasal 7 butir a “muatan privasi, antara lain Konten mengenai isi akta otentik yang bersifat pribadi dan kemauan terakhir ataupun wasiat seseorang, riwayat dan kondisi anggota keluarga, riwayat, kondisi dan perawatan, pengobatan kesehatan fisik, dan psikis seseorang, kondisi keuangan, aset, pendapatan, dan rekening bank seseorang, hasil-hasil evaluasi sehubungan dengan kapabilitas, intelektualitas, dan rekomendasi kemampuan seseorang, dan/atau catatan yang menyangkut pribadi seseorang yang berkaitan dengan kegiatan satuan pendidikan formal dan satuan pendidikan nonformal”.

Jelas-jelas RPM ini menganggap bahwa internet sama sifatnya dengan penyiaran. Harus dipahami bahwa internet bukan hanya layanan situs yang dibaca secara umum. Pengiriman file point-to-point, email, forum diskusi tertutup, aplikasi perbankan, dan masih banyak lagi aplikasi khusus lainnya, juga merupakan aplikasi yang berjalan dan merupakan konten internet. Pasal ini jelas-jelas membuat tidak mungkin terselenggara internet banking, pengiriman email berkonten khusus, aplikasi sistem keuangan tertutup, sistem jaringan data pendidikan.

C. Pembedaan Kelas Konten

Secara teknis, jika akan melakukan memblokiran suatu konten di internet, perlu ditentukan juga bagaimana kita akan melakukan memblokiran tadi. Ada beberapa level objek :

1. IP Address 2. Domain 3. Halaman situs tertentu 4. Objek situs tertentu (bisa tulisan, gambar, atau objek lainnya) 5. Kata tertentu yang tertulis di situs

Di RPM konten, karena yang disebut penyelenggara hanyalah penyelanggara jaringan, maka yang bisa dilakukan secara umum adalah pemblokiran berdasar IP Address. Seperti telah disebutkan sebelumnya, pola kerja penyelenggara jaringan adalah berdasar IP Address, tanpa melihat konten.

Harus disadari, bahwa pemblokiran berdasarkan IP Address ini bisa berdampak cukup luas. Bisa terjadi situs lain yang kebetulan menggunakan IP Address yang sama bisa ikut terblok. Pada saat akan memutuskan untuk melakukan blok IP Address tertentu, pemerintah harus siap menanggung konsekwensi ini.

Pemblokan untuk level domain, seperti dengan menggunakan DNS Nawala adalah cara yang mudah dilakukan di level Warnet, Kantor, Rumah, jaringan kecil, atau bahkan di komputer. Cara ini tidak baik jika digunakan di level penyelenggara jaringan karena berpotensi adanya DNS posioning.

D. Batasan Konten

Pada RPM Bab II pasal 3 sampai 7, disebutkan bahwa RPM ini melarang adanya konten yang bersifat pornografi atau melanggar kesusilaan, perjudian, pelecehan fisik dan intelektual, berita bohong, SARA, pengancaman, muatan privasi, dan konten yang melanggar HAKI.

Yang menjadi masalah adalah untuk beberapa jenis sifat tersebut, pemerintah masih belum berhasil untuk memberikan definisinya secara jelas dan pasti. Ambil contoh pornografi. Apa batasan konten yang disebut pornografi? Tentu saja jelas apabila kita mengambil contoh wanita dengan baju serba tertutup, dan dibandingkan dengan wanita tanpa busana dengan pose ala penthouse. Tetapi, di mana garis batasnya? UU Pornografi pun tidak bisa memberikan batasan yang jelas mengenai hal ini.

Yang sangat disayangkan adalah RPM ini kemudian mengamplifikasi aturan larangan tersebut, tanpa juga memperjelas batasan-batasannya. Hal ini akan menambah masalah karena batasan konten yang dilarang dan yang tidak pun tidak pernah jelas, dan sangat berpotensi dijadikan senjata yang lentur oleh oknum penegak hukum.

RPM ini juga mengatur pembentukan Tim Konten Multimedia, yang mempunyai wewenang untuk menentukan mana konten yang boleh dan mana yang tidak. Sekali lagi, tanpa ada batasan yang jelas, tim ini akan menjadi dewa yang memiliki hak istimewa untuk mewakili standart moral banyak orang.

Di negara yang demokratis, harus disadari bahwa standart moral setiap orang bisa berbeda, yang diakibatkan oleh agama dan kultur yang berbeda pula, dan hal ini dilindungi oleh undang-undang.

Kembali ke masalah RPM, usulannya adalah meniadakan pasal larangan ini, karena hal ini harusnya menjadi porsi Peraturan Pemerintah sebagai penjelas UU ITE dan UU Pornografi, bukan di level Peraturan Menteri.

E. Pemantauan, Pemeriksaan = Penyadapan ?

Ada hak istimewa yang diberikan oleh RPM ini kepada penyelanggara, seperti tertulis pada Bab III pasal 8, “Penyelenggara wajib memantau seluruh Konten dalam layanannya yang dimuat, ditransmisikan, diumumkan, dan/atau disimpan oleh Pengguna…” yang diteruskan dengan butir b pada pasal yang sama “melakukan pemeriksaan mengenai kepatuhan Pengguna terhadap aturan penggunaan layanan Penyelenggara”.

Bayangkan, penyelenggara wajib memeriksa satu demi satu konten yang menuju ke pengguna, dan juga konten yang berasal dari pengguna. Hal ini termasuk website apa saja yang dilihat oleh pengguna, email apa saja yang diterima dan dikirimkan oleh pengguna.

Secara teknis, tentu saja hal ini hampir mustahil bisa dijalankan. Tetapi, relakah kita melepaskan hak privasi kita sebagai pengguna, mengingat bahwa konten yang kita baca dan kita kirimkan, seharusnya adalah rahasia yang tidak boleh dipantau oleh penyelenggara?

Melihat definisi konten multimedia yang juga mencakup “Konten yang dimuat, didistribusikan, ditransmisikan, dibuat dapat diakses dan/atau disimpan melalui atau dalam Perangkat Multimedia”, bisa kita artikan juga panggilan telp berbasis IP juga menjadi objek yang harus diperiksa oleh penyelenggara.

Pemantauan dan pemeriksaan ini bertentangan dengan UU Telekomunikasi no 36/1999, pasal 40 “Setiap orang dilarang melakukan kegiatan penyadapan atas informasi yang disalurkan melalui jaringan telekomunikasi dalam bentuk apapun.”

Hal ini diperkuat juga oleh UU ITE no 11/2008 pasal 31 ayat 1 “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atau penyadapan atas Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain”.

Secara teknis hal ini sangat jelas : jika harus memantau dan memeriksa, tentu penyelenggara harus melakukan penyadapan. Padahal penyadapan ini dilarang UU Telekomunikasi dan UU ITE.

Di sisi lain, teknologi enkripsi yang banyak digunakan pada situs-situs komersial juga membuat pemantauan konten menjadi sulit dilakukan. Dibutuhkan resources yang sangat besar kalau mau melakukan pemeriksaan untuk paket data yang terenkripsi. Berarti, kewajiban pemantauan dan pemeriksaan yang dibebankan ke penyelenggara ini tidak akan bisa dilakukan oleh penyelenggara sebagaimana mestinya.

F. Internet bukan Hanya Browsing

Internet bukan sekadar browsing! Banyak aplikasi yang berjalan di atas internet. Bahkan aplikasi telepon yang tadinya analog, hampir semuanya dikonversi berbasis IP. Juga banyak aplikasi komersial lainnya, seperti perbankan, tiket pesawat, bursa saham, dll.

Aplikasi–aplikasi ini membutuhkan delay jaringan yang sangat singkat. Pewajiban pemeriksaan akan membebani mesin-mesin jaringan, dan tentu akan berakibat menurunnya kualitas jaringan.

Belum lagi resiko salah blok. Bisa jadi aplikasi bisnis yang tidak melanggar, menjadi terblok. Siapa yang mau menanggung resiko kerugian salah blok seperti ini?

G. Keinginan Mendapatkan Layanan Internet Terfilter

Tentu saja, penyelenggara jaringan harus juga bisa memahami kalau ada pengguna internet yang menginginkan layanan terfilter. Sistem untuk melakukan filtering konten di kantor-kantor, sekolah, atau di rumah tidaklah sulit. Di jaringan internasional, ada sistem OpenDNS yang memungkinkan kita memfilter konten tidak pantas. Asosiasi Warnet Indonesia (AWARI) sendiri memiliki DNS Nawala, yang juga bisa melakukan hal serupa.

Kalau pun pengguna masih merasa sulit, penyelenggara jaringan diharapkan bisa membantu untuk menginstall sistem filter tersebut. Beberapa operator selular yang menjual layanan data ada yang memiliki layanan khusus yang konten di dalamnya sudah secara otomatis terfilter.

Pihak penyelenggara sebaiknya bisa memberikan tawaran, apakah pengguna internet mau berlangganan layanan yang bebas, atau yang terfilter. Tentu saja dengan catatan, bahwa layanan terfilter ini dilakukan dengan sistem best effort, di mana penyelenggara hanya memanfaatkan salah satu sistem filtering yang ada, dan tidak bertanggung jawab kalau masih ada satu dua konten yang tersalurkan.

H. Delegasi Wewenang

Yang menjadi pertanyaan dasar seputar RPM konten Multimedia ini adalah, aturan mana yang memberikan wewenang ke Kementrian Kominfo untuk melakukan pembatasan konten internet? UU Telekomunikasi pasal 6 secara tegas menyatakan bahwa “Menteri bertindak sebagai penanggung jawab administrasi telekomunikasi Indonesia.”

Harus dipertanyakan juga pendelegasian oleh RPM ini ke Tim Konten Multimedia. Tidak ada aturan yang mengatur pendelegasian ini. Bagaimana tim ini akan bekerja? Bagaimana proses rekruitmen orang yang duduk di tim ini? Dan masih banyak pertanyaan-pertanyaan lain baik secara legal maupun secara teknis, untuk dapat menentukan kelayakan tim ini sebagai penentu konten mana yang boleh dan mana yang tidak.

Yang lebih fatal, RPM ini juga mendelegasikan tugas pemantauan dan pemeriksaan ke penyelenggara (lihat butir E di atas, soal penyadapan yang juga dilarang UU Telekomunikasi dan UU ITE).

Kesimpulan

Jelas, bahwa harus dilakukan revisi besar-besaran terhadap RPM, disamping perlu dipertanyakan apakah kita memang membutuhkan RPM ini, mengingat bahwa RPM ini dirancang tahun 2006, di mana kondisi internet saat ini sudah jauh berbeda.

Internet Sehat yang kita inginkan bersama, tidak perlu dicapai dengan cara-cara yang represif. Kita harus percaya bahwa sosialisasi yang mengena adalah cara yang paling ampuh untuk mendewasakan masyarakat kita dalam berinternet. Hak-hak pribadi untuk memilih konten apa yang ingin dilihat juga harus dihormati, sebagai salah satu hak asasi untuk memperoleh pengetahuan secara terbuka.

Masih banyak lubang-lubang yang mungkin timbul sebagai implikasi rancangan ini. Kementrian Kominfo harus berbesar hati untuk mengolah kembali dan melakukan revisi atas rancangan ini. Atau malah bila perlu dibatalkan.

Valens Riyadi

Pengguna Internet Follow me on twitter: @valensriyadi / http://twitter.com/valensriyadi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline