Lihat ke Halaman Asli

Kepercayaan Diri Palsu, Salah Satu Strategi Iklan

Diperbarui: 25 Oktober 2015   08:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di jaman sekarang ini sudah banyak produk tersedia yang diperuntukkan untuk menunjang percaya diri; mulai dari produk kecantikan, pengharum badan, sampai obat-obatan. Setiap orang tentunya memiliki kekurangan masing-masing yang ingin ditutupi atau dapat diatasi dengan menggunakan produk. Tapi, semakin ke sini, ada kalanya Anda perlu bertanya kepada diri Anda sendiri; apakah Anda benar-benar membutuhkan produk tersebut?

Samuel Strauss (1924) mengatakan bahwa semakin maraknya perkembangan ekonomi, fokus dari perekonomian kini telah beralih dari menciptakan produk untuk memenuhi kebutuhan, menjadi menciptakan kebutuhan dengan membuat produk; agar mesin perekonomian tetap berjalan. Dengan kata lain, fokus mereka bukanlah lagi menghasilkan barang, melainkan menghasilkan kostumer.

Cara yang dilakukan untuk menarik kostumer adalah dengan menanamkan pemikiran pada mereka bahwa mereka membutuhkan produk tersebut. Kebutuhan yang sebenarnya tidak ada, oleh sulap mereka, jadi diada-adakan. Orang-orang dimanipulasi untuk berpikir bahwa mereka selalu kekurangan sesuatu, oleh karena itu mereka senantiasa membutuhkan sesuatu. Salah satu strategi yang marak saya temui adalah dengan menanamkan ketidak percayaan diri dalam diri kostumer agar mereka dapat terpacu untuk membeli produk.

Kepercayaan diri adalah hal yang sangat sensitif bagi banyak orang karena merupakan salah satu faktor utama kebebasan dalam beraktifitas. “Dengan menggunakan produk ini, Anda dapat…” merupakan hal yang Anda paling sering dengar ketika produk diiklankan. Dari pesan tersebut, Anda akan beranggapan bahwa dengan solusi yang ditawarkan, produk tersebut dapat menunjang kepercayaan diri Anda. Namun, Baudrillard (1988) menemukan hal yang sesungguhnya jauh lebih dalam dari filosofi tersebut. Beliau mengatakan, “‘free to be oneself’; in fact means ‘free to project one’s desire onto produce goods.’” Makna kebebasan dan percaya diri adalah ketika kostumer bisa bebas memenuhi hasratnya dengan membeli/mengonsumsi produk. Semakin Anda memiliki kemampuan untuk mengonsumsi produk, semakin meningkat kepercayaan diri Anda.

Ada banyak sekali contoh iklan yang menggunakan teknik tersebut. Namun, saya hanya akan mendiskusikan sebagian, yaitu berikut di bawah ini.

1. Iklan perawatan/kosmetik untuk kulit putih

Tentunya Anda bisa dengan cepat mengingat setidaknya satu saja dari produk ini. Penjualan produk yang menjanjikan kulit putih banyak diuntungkan dari anggapan yang sudah tertanam sejak dulu yang menjadikan kulit putih sebagai standar penampilan menarik. Banyak produk kecantikan untuk kulit putih ditargetkan pada pasaran remaja; usia di mana seseorang memiliki niat beli yang tinggi dan kemampuan berpikir kritis yang cenderung masih rendah. Penyampaian pesan juga lebih diperlekat dengan menyematkan ide asmara di iklan tersebut. Berapa banyak dari Anda yang sering melihat iklan yang bercerita di mana seorang gadis merasa dirinya kurang diperhatikan oleh lelaki yang disukainya karena kulitnya gelap, namun, ketika berapa lama dia menggunakan produk kecantikan tersebut, kulitnya menjadi putih dan lelaki yang disukainya mulai memperhatikannya dan akhirnya jatuh cinta dengan gadis tersebut?

Berulang kali diputar, iklan tersebut seakan memaklumi hasrat untuk memiliki kulit putih dan oleh sebab itu, kostumer diajak untuk membeli produk tersebut. Keinginan untuk memiliki kulit bukanlah hanya keinginan satu dua orang saja; melainkan keinginan sebagian besar masyarakat Indonesia. Untuk itu, produk tersebut ditampilkan sebagai hero untuk memenuhi aspirasi kebanyakan masyarakat Indonesia, yaitu aspirasi menginginkan kulit putih.

Kalau dipikir-pikir, terkadang saya sendiri suka miris dengan anggapan kulit putih lebih diminati. Sering saya jalan-jalan di konter kosmetik dan melihat kosmetik seperti bedak dan bb cream yang dipasarkan di Indonesia hanya tersedia dengan pilihan warna yang justru sangat terang/putih, yang ironisnya, tidak merepresentasikan warna kulit perempuan Indonesia pada umumnya. Perempuan Indonesia kesannya seperti 'dipaksa' untuk mengikuti aspirasi palsu untuk memiliki kulit putih yang mereka ciptakan agar mereka bisa menjual produk.

2. Iklan perawatan kulit berjerawat

Iklan perawatan ini juga hampir sama maraknya dengan produk pemutih kulit. Dalam mempromosikannya, iklan ini juga berawal dengan menanamkan ketidak percayaan diri jika memiliki kulit berjerawat. Jika kita perhatikan baik-baik, kebanyakan model di iklan jerawat hanya memiliki satu atau dua jerawat di wajahnya. Namun, ketidak percayaan diri yang diinvestasikan begitu besar sehingga menimbulkan rasa sangat malu untuk keluar rumah atau menghadiri sebuah event. Di dalam iklan tersebut, model padahal hanya memiliki satu atau dua jerawat; bayangkan dengan orang-orang yang sebenarnya memiliki banyak jerawat…

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline