Surat ini kutemukan terjatuh dari tumpukan buku yang berantakan ketika aku sedang merapikan lemari buku ayah beberapa hari lalu. setelah aku baca, ternyata ini catatan yang ayah tulis ketika aku masih kecil dulu, tak jelas sebenarnya ini ditujukan untuk siapa, aku atau bunda, tapi aku yakin surat ini belum diberikan ayah kepada bunda bahkan tak akan pernah diberikannya, karena mungkin ayah sudah lupa dimana ia meletakkannya dan kini sudah ada ditanganku.
* * *
30 Agustus 1991 (Seminggu Setelah Kelahiranmu, Bidadari Kecilku)
Awal kelahiranmu telah membuatku terharu dan berlinang air mata. Tidak mudah bagiku melukiskan peristiwa ajaib saat menyaksikan langsung perjuangan istriku melahirkanmu. Kehadiran bidadari kecil ini telah membuka mataku dan mata batinku bahwa betapa berat perjuangan seorang ibu. Atas nama cinta, ia rela berjuang membantu buah hatinya menyapa dunia meski hembusan napasnya kian lemah mengapung di udara.
Pengalaman batin ini telah menyadarkanku betapa kasih sayang dan cinta Allah mengalir dalam napas seorang ibu. Setiap hembusan napasnya mengalir energi cinta bagi kehidupan buah hatinya. Mulai dari mengandung, melahirkannya hingga mengantarkannya menuju gerbang masa depan yang lebih baik. Inilah kilau mutiara yang terpampang di hadapanku. Dialah bidadari hatiku, bundamu, nak.
Bundamu adalah wanita yang paling tabah dan tegar, bahkan lebih kuat dari ayah yang hampir pingsan saat melihat simbahan darah ketika ia berjihad melahirkanmu.
Bunda adalah wanita yang paling hebat. Sosok yang kerap dipandang lemah itulah yang selalu menghabiskan porsi terbesar waktunya untukmu, bidadari kecilku. Belum lagi segudang pekerjaan rumah tangga lainnya. Mungkin ungkapan “surga itu berada di telapak kaki ibu” belum cukup mewakili seluruh pengorbanannya. Karena surga itu ternyata tidak hanya terletak di kakinya, melainkan di seluruh tubuhnya, jiwa dan raga. Semoga cucuran keringatnya dapat menjadi bekal untuk meringankan dosa-dosanya di hari akhir.
Siluet wajah bidadari lembut itu memenuhi kanvas di benakku. Wajah itu kerap ku sapa ketika malam mengelam. Begitu bening. Tak jarang aku menjumpainya saat dia baru terlelap di kala senja telah jauh menapak. Sungguh aku ingin menyingkap arti guratan kelelahan di wajahnya. Lalu, kuingin menebusnya dengan kebahagiaan dan kedamaian.
Dalam lelapnya, wajah bundamu selalu menyunggingkan senyum meski masalah hidup terus menghadang. Tak pernah wajah itu menunjukkan kesedihan di hadapan ayah. Walau sesekali sisa-sisa mendung dapat ayah tangkap saat dia terlelap seperti ini. Namun, keteduhan wajah itu tidak mampu menyembunyikan gurat ketabahan atas ujian yang tidak pernah mudah dilalui.
Bundamu itu adalah wanita luar biasa. Memiliki dua tangan yang dapat digerakkan dan berfungsi baik untuk segala jenis makanan. Mampu menjaga banyak anak saat yang bersamaan. Memiliki pelukan yang dapat menyembuhkan sakit hati dan keterpurukan. Mampu menyembuhkan dirinya sendiri dan bisa bekerja 18 jam sehari. Tidak hanya berpikir tapi juga mampu bernegosiasi dengan baik. Dia dapat mengatasi beban bahkan melebihi ayah. Mampu menyimpan kebahagiaan dan pendapatnya sendiri. Dia mampu tersenyum bahkan saat hatinya menjerit, mampu menyanyi saat menangis, menangis saat terharu bahkan tertawa saat ketakutan. Dia berkorban demi orang yang dicintainya, menerjunkan dirinya untuk keluarganya. Cintanya tanpa syarat. Dia menangis bahagia saat melihat anaknya pemenang, dia begitu bahagia mendengar kelahiran. Hatinya begitu sedih mendengar berita sakit dan kematian, tetapi dia selalu punya kekuatan untuk mengatasi hidup. Dia tahu bahwa sebuah pelukan dapat menyembuhkan luka.
Duhai bidadariku! maafkan segala kealpaanku yang belum mampu menghapus jejak lara yang kau rasakan. Betapa aku sangat menyesal atas semua perilakuku selama ini. Ayah merasa, bukan tidak mungkin bundamu mengalami stres dalam istananya ini. Bahkan mungkin sejak masa-masa kehamilannya. Ketika itu ayah kerap menghardiknya bila ada saja yang tampak kurang di mata ayah. Juga menuntut bundamu dengan sesuatu yang kadang dia sendiri tidak mampu melakukannya.
Terkadang suara hati bersenandung lirih memenuhi ruang batinku. Suara yang menggemakan penyesalan yang dalam kala menyadari bahwa ayahlah yang menyebabkan bundamu tidak bahagia menjadi seorang ibu. Ayah merasa telah menjadi suami yang terzalim di muka bumi ini. Betapa aku berdosa menyebabkan peristiwa ini terjadi, ampunilah aku ya Allah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H