Pertaruhan Kimaya
Adian memperpanjang tinggalnya di Bali. Tadinya hanya sebulan untuk mengerjakan proyek bersama timnya. Saat ini semua sudah balik ke Jogja, tapi dia tetap tinggal. Untuk Kimaya.
"Kamu kan masih libur, Kim? Jangan bilang mau sibuk kuliah, ya? Kita kan sama kalender akademiknya," kata Adian untuk kesekian kalinya ketika Kimaya menolak bertemu dengannya.
"Kamu nggak bosan sama aku, apa?" kata Kimaya ketus. Dia ingin sendiri. Ingin menangisi rasa bersalahnya kepada keluarga Yuda. Ingin bicara pada Yuda yang sudah ada di surga sana, dalam kesunyian. Tapi Adian, teman lama, rivalnya di SMA, masih saja mengusiknya untuk bertemu.
"Baru tiga kali aku ketemu kamu, merasakan saja enggak, bagaimana bisa bosan. Ayo, usaha bikin aku bosan dong, Kim!" Adian gemas.
Mona berdehem di samping Kimaya yang membiarkan pembicaraannya via telpon dengan Adian memakai speaker. Adian cakep, enak dipandang, tapi Kimaya tidak mau bertemu. Mona merasa rugi tidak bisa menikmati Adian. Akhirnya Kimaya menutup telponnya.
"Kenapa sih, Kim? Adian kan cowok baik? Kamu sendiri tidak pernah cerita tentang Adian ke aku, berarti dia tidak ada masalah, kan?" selidik Mona.
"Tidak cerita karena dia tidak penting. Sudahlah, Mon, aku tahu kamu naksir dia. Kamu aja yang nelpon dan ajak ketemuan. Pakai aku jadi alasan juga boleh, tapi aku nggak akan pernah ketemu," Kimaya lalu bergegas masuk ke kamarnya karena dia segera ingin menghibur dirinya sendiri.
Detik ini Kimaya merasa malu dan jijik pada dirinya sendiri. Karena Yuda. Karena dia yang membuat Yuda tiada. Itu sudah lebih tiga tahun yang lalu, bahkan peringatan seribu hari Yuda meninggal sudah berlalu lama. Tapi ketika ke Jogja bulan lalu itu adalah pertama kalinya dia berhadapan dengan Tante Nuk, ibu Yuda, yang ternyata menyalahkan dia atas perginya Yuda.
Tidak terasa Kimaya menangis cukup keras sehingga Mona mengetuk pintunya, bahkan sampai akhirnya menggedor karena tidak biasanya pintu kamar itu dikunci.