"Semakin banyaknya variasi dan pesaing, semakin komodifikasi terbentuk, yaitu perubahan dari nilai guna ke nilai jual"
Bicara tentang mitos, fakta, makna, kepercayaan atau pun stereotip tentang menstruasi sudah banyak didiskusikan dan hasilnya beragam. Bagaimana dengan konstruksi iklan mengenai menstruasi?
Dalam setiap elemen hidup manusia, butuh properti pendukung yang sangat umum adalah sandang, pangan dan papan. Secara gender, perempuan mengalami menstruasi yang perlu didukung pemenuhan kebutuhan kesehatannya.
Salah satu kebutuhan mendasar ketika perempuan menstruasi adalah pembalut atau tampon. Selanjutnya obat-obatan penghilang rasa sakit.
Kebutuhan mendasar ini ditangkap dengan jeli oleh produsen pembalut. Saking banyaknya pesaing, mereka berlomba-lomba membuat pembalut berbagai versi dan ukuran, dari yang tertipis sampai yang paling tidak bocor. Semakin banyaknya variasi dan pesaing, semakin komodifikasi terbentuk, yaitu perubahan dari nilai guna ke nilai jual (Mosco, 1996).
Iklan yang mereka buat pun juga berusaha menarik perhatian para konsumen perempuannya. Konstruksi apa saja yang mereka bentuk?
Baidhowi (2018) membandingkan tujuh pembalut yang dijual di Indonesia. Dia menemukan proses komodifikasi dalam bentuk persuasi dengan menggunakan ajaran agama, budaya, regulasi iklan, dan motivasi ekonomi.
Sedihnya, dari tujuh pembalut yang cukup populer tersebut menunjukkan pemahaman menstruasi sebagai stigma citra perempuan sebagai obyek seksual yang bernoda atau berdosa.
Wacana dari iklan ini dibentuk dalam konteks produk pembalut dan menghubungkannya dengan perasaan negatif: cemas dan khawatir sehingga memperkuat makna tabu tentang menstruasi dan menggarisbawahi produksi stigma.
Makna tabu dibuktikan dengan penggunaan eufemisme/penghalusan atau metafora kata menstruasi.
Contohnya pemakaian dalam iklan adalah kata 'lagi dapet' atau 'cairan deras'. Bahkan metafora fenomena alam yang negatif atau merusak yaitu angin tornado dikontekskan sebagai peristiwa menstruasi.