Axl melemparkan tubuhnya ke sofa empuk yang baru dibelinya kemarin. Dia sudah bangun sejak setengah empat lalu untuk menerima kiriman dari Bandung. Ubud, masih cintanya di lokasi ini, tempat dia memulai bisnis sembakonya.
Dua pegawainya masih keluar masuk memasukkan box-box produk terbaru dari minyak goreng kelapa, bukan kelapa sawit. Pesanan salah satu pelanggan yang mengatakan minyak goreng kelapa jauh lebih sehat daripada kelapa sawit. Dia ikuti saran itu dengan embel-embel janji bahwa sang pelanggan akan membantu promosinya.
Pria pengusaha muda itu mengambil HPnya dan membuka akun Instagramnya. Masih belum ada lima puluh likes dari postingan terakhir yang dia unggah dua hari lalu.
"Hipokrit," katanya kesal. Dia gusar pada orang-orang yang DM dia untuk segera membuat postingan. Di akunnya hanya ada tiga gambar, itu pun tidak ada fotonya, hanya foto-foto arsitektur bangunan yang dia suka dan ingin dia simpan.
"Followers kamu kan sudah lima ribu lebih, sayang kalau tidak ada postingan," kata teman SMAnya yang suka mengecek akunnya.
Axl memeriksa dari likes yang dia terima. Tidak ada satupun dari teman yang usul mengepost itu.
"Hipokrit!" sekali lagi Axl mengumpat. Dia sudah kehilangan kepercayaan pada orang-orang yang mengirim pesan dan meminta dia mengunggah foto.
Foto terbarunya adalah pemandangan favoritnya ketika weekend lalu bersepeda di luar kota. Sudah dia beri hashtag terpopuler, termasuk mengetag teman-teman yang menyukai pemandangan yang sama. Hasilnya nol juga.
"Pak, ini sudah bulan Juli, kalendernya saya robek-robek, ya?" teriak Popi salah satu pegawainya yang paling perfeksionis. Tapi kata-katanya jungkir balik begitu. Masak kalender dirobek-robek.
"Iya," teriaknya balik dari kantornya. "Semua dirobek, jangan sampai ketinggalan."