Lihat ke Halaman Asli

Mahasiswa, Harapan Baru di Gerbang Pemilu Menyongsong Indonesia Maju

Diperbarui: 24 Juni 2015   01:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

“Dari dulu hingga sekarang, pemuda merupakan pilar kebangkitan. Dalam setiap kebangkitan, pemuda adalah rahasia kekuataannya, dalam setiap fikrah, pemuda adalah pengibar panji-panjinya” Hasan Al-Banna "Beri aku 1.000 orang tua, niscaya akan kucabut semeru dari akarnya. Beri aku 10 pemuda niscaya akan kuguncangkan dunia" Soekarno Sekilas kutipan diatas, memberikan gambaran bagi kita, betapa generasi muda merupakan harapan terbesar masadepan bangsa. Tak dapat dipungkiri, kaum muda kerap kali diidentikkan dengan intelektualitas, idealisme, semangat juang yang tinggi, dan masih terbebas dari kepentingan-kepentingan golongan. Selain itu, pemuda pula menjadi asset sebuah bangsa sebagai agen perubahan yang memiliki peran penting untuk Indonesia, mengingat 40 % populasi masyarakat Indonesia, merupakan penduduk usia muda. Merujuk pada peran penting pemuda, penulis akan memfokuskan topik pada peran mahasiswa sebagai kaum intelektual yang menjadi agen perubahan Bangsa Indonesia. Agen perubahan tak melulu diidentikkan dengan berjuang secara langsung dengan tombak dan senapan layaknya para pahlawan dimasanya, atau tak juga dengan aksi turun ke jalan memperjuangkan hak rakyat pun mengkritisi pemerintah. Namun, melalui wadah yang sederhana pun, secara nyata para intelektual muda dapat berperan serta sebagai agen perubahan bangsa ini. Bagaimana? Momentum pemilu 2014, merupakan wadah perjuangan yang nyata-nyata dapat menentukan nasib bangsa ini esok hari.  Data Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2010 menunjukkan jumlah penduduk berusia 15-24 tahun mencapai 40 juta jiwa, itu artinya 40-42% dari jumlah pemilih pada pemilu tahun ini merupakan pemilih pemula, yaitu pemuda. Sehingga, tak salah jika Negara menyimpan harapan yang begitu besar bagi pemudanya, agar dapat menggunakan hak pilihnya secara bijak untuk perubahan Indonesia yg lebih baik. Karena sesunggunya, seorang pemimpin merupakan cerminan dari rakyatnya. Ketika 40% dari suara masyarakat Indonesia merupakan kaum muda yang masih memiliki idealisme tinggi dan bebas dari kepentingan-kepentingan tertentu, dengan bijak memberikan hak suaranya untuk mewakilkan aspirasinya pada wakil rakyat, maka tinggal menunggu masanya, sosok-sosok pemimpin ideal yang kemudian akan menghiasi wajah negeri ini 5 tahun kedepan. “orang yang baik akan memilih orang yang baik juga untuk merealisasikan kepentingannya, mewujudkan harapannya. Rakyat yang baik akan memilih pemimpin yang baik untuk memperjuangkan aspirasinya. Pemimpin yang baik, akan memilih orang-orang yang baik juga, untuk bekerja bersamanya” Triana Rahmawati Sehingga, 42 % suara pemilih pemula yang termasuk mahasiswa didalamnya, begitu memberikan harapan besar bagi bangsa ini. Sebagai kaum intelektual, mahasiswa semestinya mampu menggiring idealismenya bersama dengan pemikiran-pemikiran merdeka mereka, dengan memberikan hak suaranya pada calon-calon pemimpin yang jelas visi-misi nya untuk Indonesia, juga yang sesuai tujuannya dengan ideologi bangsa ini. Permasalahannya, berkaca pada realitas mahasiswa masa ini, sikap acuh dan tak peduli pada negaranya, kini semakin marak membenndung pemikiran-pemikiran mahasiswa kebanyakan.  Tak sedikit lagi mahasiswa yang enggan berpikir soal pemerintahan negaranya, tak lagi dapat dihitung dengan jari mahasiswa yang alergi dengan pelbagai hal mengenai politik, bahkan mayoritas intelektual muda itu kini, tengah larut dengan arus pemikiran dan neokolonialisme bangsa asing, hingga tak sempat lagi berpikir untuk masa depan tanah ibu pertiwi. Sikap alergi politik tersebut, rupanya, bersebab media yang kerap kali membombardir khalayak dengan berita-berita politik yang kotor, korupsi para politisi, problematika dari sabang sampai merauke, sehingga menyebabkan kepercayaan masyarakat khususnya mahasiswa yang memiliki idealisme tinggi tersebut luntur. Kemudian jadilah perbincangan seputar negara dan politik tersebut menjadi begitu langka terdengar diantara muda-mudi intelektual. Padahal, yang semestinya perlu ditegaskan kepada mereka yang masih berpikir masalah politik adalah urusan negara pun pemerintah, adalah, bahwa kita pun menjadi bagian dari politik itu sendiri. Naif jika berkata bahwa politik bukan urusan kita, karna bagaimanapun pemerintah dan politiknya, tak memberikan efek bagi kita, mahasiswa. Tentu saja tidak, imbas dari politik adalah kebijakan-kebijakan yang digulirkan para wakil rakyat kita. Jika hari ini pemerintah mengeluarkan kebijakan harga telor dan beras naik, maka jadilah besok sarapan yang kita beli di burjo-burjo, tentu akan naik harganya, akibatnya, budget kita untuk makan akan bertambah, dan berbagai imbas-imbas lainnya. Jadi, masihkah kita berpikir bahwa politik bukan urusan kita? Politik hanyalah urusan negara? Bolehlah berpikir secara bijaksana. Sebagai masyarakat negara demokrasi, kita tentunya diberikan hak suara untuk memilih pemimpin bangsa dalam setiap periodenya. Maka, pada momen itulah, siapapun kita berharap pengguna hak suara tersebut sungguh-sungguh dalam meletakkan kepercayaannya pada wakil rakyat yang nyata-nyata pro-rakyat. Tak terkecuali mahasiswa, pemuda yang kerap dikaitkan dengan intelektualitas dan idealism tersebut, juga tak boleh salah menggantungkan harapannya pada calon-calon pemimpin negeri ini. 42 % pemilih muda yang akan menggunakan hak suaranya 9 april nanti, tidak hanya membeli kucing dalam karung, namun diharapkan dapat lebih selektif  dalam membaca figur-figur calon pemimpinnya, sehingga di periode selanjutnya, negeri ini dapat kembali berbenah. Berbicara mengenai politik dan pemilu, tak terlepas dari perbincangan seputar Golongan Putih (GOLPUT). Golongan Putih (GOLPUT) yaitu orang-orang yang memilih untuk tidak memilih siapapun pada pemilihan umum. Istilah ini mulanya muncul, sebagai bentuk ketidaksukaan masyarakat pada era orde baru dan berkembang hingga saat ini sebagai istilah abstain ketika pemilu. Berdasarkan data BAWASLU (Badan Pengawas Pemilu), menunjukkan bahwa adanya potensi GOLPUT yang kian meningkat dari waktu ke waktu. Pada tahun 1999 sekitar 93,3% masyarakat turut berpartisipasi, di tahun 2004 menurun menjadi 84,1% masyarakat yang berpartisipasi, hingga di tahun 2009 tingkat partisipasi masyarakat dalam pemilu hanya mencapai 71%. Ironisnya, justru di detik-detik menjelang pemilu 9 April nanti, mahasiswa lah yang justru paling getol memilih untuk menjadi Golongan Putih (GOLPUT). Alasannya pun beragam, dari yang telah jengah dikecewakan oleh pemerintah, hingga yang enggan menggunakan hak suaranya lantaran tidak mengenal sosok calon-calon wakil rakyat tersebut. Sementara, alasan lain yang juga mendominasi para mahasiswa rantau, adalah malas untuk mengurus surat pindah pilih yang katanya berbelit. NO VOTE NO COMPLAIN! Itulah kata-kata yang sekiranya pantas ditegaskan kembali bagi para pemuda khususnya mahasiswa yang katanya memiliki intelektualitas dan idealisme, atau yang katanya tak pernah letih menyuarakan hak-hak kaum marginal. Bagaimana tidak disayangkan, jika 42% suara pemilih pemula yang berpotensi menggiring bangsa ini menuju Indonesia yang lebih baik, harus tergerogoti sedikit demi sedikit hanya karena media mainstream yang terus-menerus menumbuhkan ketidakpercayaan mereka terhadap pemerintah, hingga memunculkan tingginya angka GOLPUT dewasa ini. “orang yang menganggap pemilu tidak penting dan memilih untuk tidak memilih, layaknya orang yang berada dalam suatu kapal bocor dan berkata ‘eh, kapalnya bocor!’ sementara dia hanya berkata dan tidak melakukan apa-apa” Wiranto Sebagai kaum intelektual, sudah semestinya mahasiswa berpikir ribuan kali untuk memilih menjadi Golongan Putih. Bijakkah itu? Tentu tidak. Meskipun menjadi GOLPUT juga memilih untuk tidak memilih, namun, pemuda yang katanya tonggak perubahan bangsa tak seharusnya menjadi Golongan Putih. Bayangkan, kita memiliki hak suara untuk memilih calon wakil rakyat yang nantinya akan mewakilkan suara kita di kursi parlemen, namun naifnya, tidak kita gunakan hak suara kita di bilik suara. Namun, ketika roda pemerintahan sudah berjalan, dan yang diharapkan tidak sesuai dengan yang terealisasikan, maka orang-orang yang tidak memilih tersebut menjadi orang yang pertama dan paling santer berkoar-koar mengkritisi pemerintahan. Padahal, ketika masanya diberikan hak untuk memilih saja, tidak digunakan hak suara tersebut, lantas pantaskah protes? Jawabannya TIDAK! NOTHING'S PERFECT! Kalau kamu mahasiswa, masih enggan memberikan hak suaranya dan terus-menerus beralasan tentang bobroknya moralitas dan rekam jejak calon wakil rakyat kita, ingatlah! Tidak ada yang sempurna di dunia ini. Setiap mereka tentunya memiliki catatan hitamnya sedikit pun banyak. “Bagiku sendiri, politik adalah barang yang paling kotor. Lumpur-lumpur yang kotor. Tapi suatu saat di mana kita tidak dapat menghindari diri lagi, maka terjunlah!”Soe Hok Gie “Jika seorang mahasiswa memegang teguh idealisme, itu merupakan hal yang biasa, Namun jika mantan mahasiswa masih memegang teguh idealismenya, maka negara ini patut berbangga memiliki anak bangsa sepertinya” Dosen FH UGM Maka, gunakanlah idealisme tersebut untuk selektif memilih pemimpin  yang  tulus memahami negeri ini. jadikanlah hak suara yang kita miliki sebagai senjata untuk memilih pemimpin yang paling bersih diantara kotornya lumpur-lumpur politik. Jadikanlah momentum 5 menit untuk 5 tahun ini sebagai wadah perjuangan para mahasiswa mewujudkan cita-cita mereka menebus janji kemerdekaan Indonesia. Karena percayalah! Mahasiswa, harapan baru di gerbang pemilu menuju Indonesia Maju, Hidup Mahasiswa! Yanna Uzlifa-_ Staff Kajian Strategis BEM UNS 2014 Referensi http://jogja.tribunnews.com/2014/01/15/ratusan-ribu-mahasiswa-luar-daerah-di-yogya-berpotensi-golput/ http://news.detik.com/read/2013/02/18/071054/2172428/10/tekan-angka-golput-tinggi-kpu-minta-mahasiswa-aktif-di-pemilu?nd772204btr http://www.pemilu.com/berita/2014/02/jumlah-pemilih-pemilu-2014-pemuda-kuasai-40-persen-suara/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline