Selamat datang pada era perlombaan sosial tentang menjadi "si paling tersakiti", dimana setiap karya adalah kisah yang telah dicacah dan dipilah untuk membuat rangkaian tragedi yang menggetarkan hati agar mengundang para simpatisan yang sebenarnya tidak terlalu peduli. Ya, anda telah memasuki zaman di mana simpati dan pembenaran diri dihargai lebih dari prestasi. Kemenangan yang dirasa akan mengabadikan ironi atas kesengsaraan diri sendiri. Tidak lebih.
Tak perlu disangkal, kemanusiawian kitalah yang membuat kegemaran untuk berpartisipasi dalam lomba ini. Kita manusia, memang memiliki kebutuhan untuk mencari-cari keamanan dalam lindungan pembelaan orang banyak; domba yang bergumul pada domba-domba lain dengan harapan bukan dia yang diterkam serigala. Terbuai akan tiket gratis masuk ke zona nyaman dengan dalih menjadi korban. Kita terbiasa dengan itu dan membuat kita tenggelam sambil memakai topeng-topeng menyedihkan untuk menutupi cacat dari kebangsatan diri sendiri.
Nyatanya, kebiasaan itulah yang menghambat kita menuju perubahan yang sebenarnya didambakan. Kita menjadi terlalu fokus pada apa yang tidak bisa dirubah dan meluputkan apa yang semestinya bisa dirubah. Karena kita meyakini tanpa celah, bahwa kita adalah korban yang paling menderita. Membuat kita berhenti di pusaran kepuasan belas kasihan dari para simpatisan dan merasa tidak ada lagi keperluan untuk merefleksikan diri. Pokoknya, merekalah pelakunya, dan kita korbannya!
Tentu saja, tidak semua korban itu sama. Memang ada yang memiliki rentetan tragedi yang membuatnya layak diberi mahkota kehormatan dan mendapatkan ketulusan. Tidak ada salahnya juga menceritakan diri sebagai korban atas pengalamannya, karena dengan begitu dapat membantu untuk benar-benar memahami peristiwa yang dialami. Tapi tidak sedikit juga, orang yang mencitrakan diri sebagai korban, dengan sengaja membangun narasi yang menutupi sebagian kebenaran, supaya terasa lebih artistik untuk validasi penderitaan dan pengorbanannya. Tentu saja agar mentransformasi empati para simpatisan menjadi bentuk cacian penuh kebencian pada si terduga pelaku.
Adalah sebuah kewajaran, jika kita termasuk dalam golongan korban yang kedua, kita akan terus terikat pada rantai pengulangan permasalahan yang sama walaupun dengan kondisi dan orang yang berbeda-beda. Karena kita tidak akan pernah benar-benar menyadari apa yang menyebabkan itu terus terjadi; bahwa adanya juga campur tangan dari kita yang menuliskan plot kisah itu.
Barangkali kita perlu berhenti sejenak, untuk meredamkan api didalam, agar tidak terlarut dalam menghakimi dan bisa membuka diri pada kemungkinan kesalahan kita sendiri yang tak disadari. Dimana hal itulah yang mungkin membuat terus terjebak pada pengulangan rasa sakit yang sama secara lagi dan lagi.
Sekarang,
Mulailah semua itu dengan ludahi diri sendiri di panggung perlombaan ini, CUH!