mendengar Kompas membentuk tim ekspedisi untuk menjelajah sederetan gunung berapi di Indonesia, terbesit di pikiran saya, "Pengen ikut." memang tak memungkinkan bagi saya dan teman saya untuk dapat melakukan perjalanan mendaki gunung sesering dulu. ya, saya sudah memasuki tahun ketiga dalam masa perkuliahan saya. cukup disesalkan, namun saya bertanggungjawab pula atas nilai akademis saya. diantara gunung-gunung yang akan disinggahi oleh tim ekspedisi, beberapa diantaranya sudah ada yang pernah saya mampiri. salahsatunya adalah gunung merbabu, 3.145 mdpl, Jawa Tengah. kira-kira baru sekitar 2 bulan yang lalu saya mampir kesana. " benar-benar sebuah Maha Karya, " pikir saya. gunung ini benar-benar elok. pantaslah gunung ini dijadikan taman nasional. Merbabu kini masih terjaga kelestarianalamnya. banyak sekali unsur yang bisa diangkat dari sejuta keindahan alamnya yang berpotensi untuk menggaet wisatawan nasional dan internasional. beberapa yang bisa saya angkat adalah : topografi, dengan bentuk pegunungan dan perbukitan, merbabu sukses membuat saya kagum akan pemandangan alamnya. tentu saja juga membuat saya mandi keringat. bukit-bukit yang hijau, dan jalur pendakian yang beberapa masih terkesan asli, sukses membuat saya dan teman saya beberapa kali istirahat. jalur berpasir kami temui saat kami berada di posisi setengah menuju puncak. untung kami mempersiapkan masker muka. tak lupa kami menemui jalur yang terjal, yang kebanyakan disebut sebagai jembatan setan. jembatan setan ini ada yang berbentuk jalur mengitari sebuah bukit, dengan bukit disebelah kanan, dan jurang disebelah kiri. kami masih bisa melewatinya dengan tenang, walaupun badan saya condong ke kanan dan tangan saya menjambak rerumputan bukit dengan keras. ternyata rangkaian jembatan ini tak berakhir disini. kami masih harus menemui sebuah jembatan, yang benar-benar harus dilalui dengan cara seperti wallclimbing / bouldering. sekali jatuh, maka sudah dipastikan nasib kita. topografi alam merbabu tak selesai disini, masih ada padang sabana yang terletak di jalur kami turun. jalur air yang kering, yang memaksa kita untuk selalu merosok turun kebawah. benar-benar masih terjaga keasliannya. keindahan flora dan fauna, sederet panjang hutan pinus kami temui saat kami memasuki kaki gunung ini. sudah seperti sewajarnya, setiap gunung memiliki hutan pinus di kaki nya. begitu pula dengan bunga eidelweis, namun bunga yang saya temui ini kebanyakan bewarna merah. saya belum pernah melihat yang bewarna merah seperti ini. begitu pula dengan faunanya. seperti yang saya alami saat saya beristirahat, saat kami sedang mencari pos helipad yang menurut perhitungan kami seharusnya sudah dekat. kami sempat dibuat bingung dengan banyaknya jalur yang terlihat oleh mata kami. hingga teman saya berteriak, " itu ada orang diatas ". ya, dia bukan manusia, melainkan monyet ekor panjang yang merupakan aset fauna gunung ini.
SDA dan SDM sumber daya alam yang menjadi sumber kehidupan masyarakat setempat adalah sumber mata airnya. terlihat oleh banyaknya pipa-pipa pvc yang tersambung hingga pos 2, tempat kami mendirikan camp. takluput dengan mata pencaharian masyarakat setempat, banyak kami temui, saat kami menuruni gunung ini, mereka terlihat sedang mengumpulkan rumput-rumput gunung (entah jerami atau bukan) hingga mendekati puncak kenteng songo. mungkin rumput tersebut akan digunakan untuk memberi makan ternak mereka. sudah jelas, masyarakat di kaki gunung kebanyakan menjadikan rumah mereka sebagai toko, rumah ternak, maupun ladang tanaman. namun ada beberapa SDA yang mereka ambil, walaupun status SDA itu adalah ilegal. seperti batu gunung dan pasir. kalau yang ini saya pernah melihatnya di televisi. (sumber : wikipedia) kebiasaan masyarakat setempat, saya kurang menemukan adat yang menjadi ciri khas masyarakat kaki gunung merbabu. namun saya mengetahui, bahwa di desa kopeng, takelan, mayoritas penduduknya beragama Buddha, dan tradisi mereka masih sangat kental. sayang, saya tak melewati desa tersebut. namun saya jadi mengetahui sedikit, alasan masyarakat disana (mungkin juga didaerah kaki gunung dan desa yang terpenci) masih membudayakan anak perempuannya untuk menikah di usia dini. mereka hanya menjawab, " kalau yang lama (umur normal >=17 tahun) malah ditertawakan dan menjadi omongan orang." yaah, saya juga tidak terlalu tahu mengapa kebiasaan ini bisa muncul. tapi memang tidak bisa dipungkiri, masyarakat disini memang ramah-ramah. tak perlu saya ceritakan, pasti Anda sudah mengalaminya. namun semua memang membutuhkan arus dua arah. jika Anda sopan, maka mereka akan membalasnya dengan sopan.
bayu pratama, sumber : pengalaman pribadi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H