Lihat ke Halaman Asli

Ngomongin Seni dan Budaya

hai saya suka menulis puisi, menggambar, dan curhat.

Puisi Menyadarkanku Bahwa Jadi Manusia Itu Anugerah

Diperbarui: 1 Mei 2019   12:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Puisi buatku adalah obat. Semua energi buruk yang ada di dalam diri dituangkan dalam bentuk puisi. Kebanyakan puisi, jarang dalam bentuk lain.


Aku hobi menggambar dan menulis puisi. Aku mengidolakan banyak penyair dulu, sekarang aku mengidolakan diri sendiri. Bangga dengan diri sendiri yang seringkali terlalu gegabah mengambil keputusan, nyeleneh, tidak konsisten, keras kepala, salah ngomong, ya begitulah.

Aku suka sisi manusia dalam diri karena jadi memaklumi kesalahan-kesalahan yang orang lain buat. Kadang orang marah bukan karena tak senang dengan kamu, tapi ya pengen marah, hanya butuh pelampiasan. Kadang orang menangis bukan karena sedih, tapi karena energi buruk di dalam hatinya sudah penuh dan harus keluar.

Gak ada yang tahu apa yang ada di dalam diri manusia. Aku, sebenarnya orangnya gamblang. Orang gampang tahu karakterku, tapi bukan berarti mereka mengerti dan tahu pribadiku. Meski mulutku gampang membicarakan aib sendiri, tapi mereka yang dekat sekali pun sering tidak mengerti mengapa sikapku kadang bisa berubah drastis. Dari ketidakmengertian orang-orang lahirlah puisi, tapi belum tentu mereka kemudian mengerti. Dan aku bahagia dengan ketidakmengertian itu.

Puisi itu membebaskanku dari belenggu


Aku adalah orang sendiri, yang sebenarnya lebih banyak ingin berbicara dengan diri sendiri, bertandang dalam kesunyian dan kesedihan. Aku menikmati setiap kesedihan dan akan benci sekali dengan mereka yang mengganggu waktu terbaikku itu. Kalau aku tidak mau bergabung dalam sebuah perkumpulan, bukan berarti tidak senang berkumpul. Bisa jadi aku butuh sendiri, kontemplasi, merenung, menangis, tertawa, meratap, melampiaskan marah dan ya, begitu.

Aku pernah menangis hanya karena menulis satu puisi. Setelah itu lega, seperti ada bagian berat yang kemudian lepas begitu saja. Keseringan nangis sih, hatiku begitu rapuh memang. Kalau sedang bahagia malah kesulitan bikin puisi. Atau kalau pun iya, puisinya seperti hambar. Aku pun membacanya jadi biasa saja.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline