Lihat ke Halaman Asli

Maaf, Tidak Pernah Penuh

Diperbarui: 25 Juni 2015   21:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Ah, kau Bung, tulisan kau tetap saja begitu. Terlampau sesak oleh kutipan. Buku, koran, lirik lagu, penggalan puisi, bahkan dialog di film pun kau ambil semua. Kau hanya pandai mencontek, tidak berkembang.”

Benar, itu adalah ucapan kawan saya yang dilontarkan dalam rangka mengkritik kawan sebelah kamarnya, dan itu adalah saya. Tapi mari kita terus berjalan. Pedal rem jangan terlalu lama ditekan. Bosan, lelah, dan buntu hanyalah siklus. Jalani dan lalui saja semuanya, dan mari kita siapkan lagi bahan bakar untuk beberapa persalinan, karena menulis adalah melahirkan.

***

Tentu saja saya belum lupa, bahkan masih sangat ingat dengan kritikan kawan saya itu, waktu saya mengutip paragraph ini :

“Baru beberapa hari ini ia terus-menerus naik oplet. Dan ada ia temukan romantic di dalam kotak persegi ini. Orang dari berbagai daerah kelahiran, dari berbagai kegiatan, dari berbagai perhatian, dan berbagai macam tempat bertolak dan tempat tujuan. Kadang bercakap-cakap mesra, kadang salah seorang menodong dan terondoli seluruh isi kotak berjalan. Ia tersenyum. Juga ini bisa jadi roman yang berisi dramatic, pikirnya. Bah!, begini banyak bahan di Jakarta, tapi pengarang-pengarang ini lebih senang sibuk dengan dirinya sendiri, dengan perasaan dan pikirannya sendiri yang kecil-kecil : juga aku!.” (Sunyisenyap Di Siang Hidup : Pramoedya Ananta Toer).

Bisakah kita menjawab kekesalan Pram dengan sebuah kenyataan sederhana, bahwa setiap kali kita berfoto bersama, lau foto itu jadi dalam bentuk soft atau hard, pasti yang pertamakali kita lihat adalah foto diri kita sendiri dengan dihiasi beberapa komentar kecil, seperti misalnya : “Kok gw merem sih?!,” atau, “Ah si Cuplis, tangan lo ngalangin muka gw tau!!,” atau, “Jelek ah, ulangi-ulangi!.” Ya, manusia begitu mencintai dirinya sendiri.

Begitu pun dengan menulis. Seringkali cerita bermula dan bermuara dari diri kita sendiri. Seorang penulis di Kompasiana pernah jengkel karena sempat ada yang melontarkan kritik bahwa Kompasiana tidak seharusnya didominasi oleh tulisan-tulisan fiksi, terutama tulisan-tulisan fiksi narsis yang begitu mengeksploitasi dan memuja diri sendiri. Si pengkritik kemudian menyambung bahwa Kompasiana sebagai blog yang sering digadang-gadang sebagai Citizen Journalism seharusnya lebih mengedepankan tulisan-tulisan yang berpijak pada fakta-fakta, bukan malah sebaliknya. Tapi kawan, mari sekali-kali kita jalan-jalan ke Kompasiana, dan lihat, bahwa kanal fiksi tetap saja sangat ramai dan gaduh oleh para penulis yang rajin bermesraan dengan dirinya sendiri.

Di tengah orgasme kata-kata, tentu bukan hal mudah untuk mengakalkulasi mana yang lebih banyak antara tulisan fakta dan fiksi, atau antara cerita yang berpijak dari ilham peristiwa di lingkungan sehari-hari dengan cerita yang lahir dari reaksi fusi diri sendiri, baik itu sekedar narsis atau pun kontemplasi. Ketika dagelan berubah menjadi serius, dan hal-hal yang dianggap serius berubah menjadi lawakan, maka hampir-hampir saja kata-kata kehilangan maknanya. Berita dan peristiwa yang seringkali dianggap penting telah sampai di titik aborsi. Begitu menjijikan. Parade opera sabun dan kafilah cerita-cerita fiksi telah banyak yang harakiri. Begitu membosankan. Tapi sekali lagi, itu hanyalah siklus, kawan. Tenang saja, BKKBN hanya sedang sibuk berkampanye menekan angka kelahiran manusia, bukan angka kelahiran tulisan.

***

Di catatan pengantar untuk buku kumpulan cerpennya yang berjudul Laki-laki Lain dalam Secarik Surat, Budi Darma menulis : “Konsep masing-masing pengarang tentunya tumbuh dengan sendirinya, tanpa bisa dipaksakan, karena pada hakikatnya, masing-masing pengarang menulis berdasarkan kepribadiannya sendiri.”

Jauh-jauh hari Budi Darma telah memberikan alternative lain, bahwa selain di status facebook dan kicauan di twitter, ternyata karangan juga bisa menjadi showroom untuk “pamer” kepribadian. Lalu sekarang, pelan-pelan, kita bisa membaca lagi buku-buku favorit kita yang banyak stempel best sellernya untuk mencoba melihat kepribadian para penulisnya. Tentu ada yang tidak setuju dengan konsep ini, dan itu sah-sah saja, karena kenyataannya kita memang berjarak dengan kehidupan para penulis tersebut.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline