Lihat ke Halaman Asli

Cerpen : Surat dari Jambi

Diperbarui: 24 Juni 2015   08:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Surat dari Jambi

Uut Tamamia

Jambi, begitulah aku memanggilnya, si pemilik wajah Herjunot Ali ini datang sebagai murid baru di SMAku sekaligus tetangga baru di desaku. Pertama kali aku mengenal Jambi, aku tak tahu kalau nama aslinya Kemas Ridwan Ahmada, dia tak mau menyebutkankan namanya, otomatis aku memanggilnya sesuai nama daerah asalnya, yaitu Jambi. Jambi malah menanggapinya dengan tertawa.

“Lucu,Put,” katanya terkekeh – kekeh.

Sudah satu tahun Jambi pindah ke tanah Jawa untuk menemani kakeknya yang sebantang kara. Seperti kebanyakan remaja 17 tahun lainnya, Jambi juga punya cita – cita besar. Dia ingin menjadi seorang ulama hukum. Aku sempat menertawakan impiannya itu. Tapi semangatnya yang menggebu – gebu membuat aku kagum padanya. Setiap hari Jambi tidak pernah absen mengikuti peristiwa yang terjadi di Indonesia. Mulai dari koran – koran bekas yang dijual kiloan bahkan acara berita di televisi. Setiap malampun dia berkumpul bersama bapak kepala desa dan warga lainnya untuk mendiskusikan masalah yang terjadi di kampungnya. Meski dia hanya mendengarkan saja. Di sekolah Jambi termasuk anak yang pintar. Selama ini dia selalu menduduki ranking pertama. Untuk memantapkan cita-citanya menjadi ahli hukum, Jambi memilih jurusan IPS dan dia sering melatih kemampuan verbalnya dengan mengajak teman-teman berdiskusi atau berdebat. Ada saja yang didebatkan, mulai dari pelajaran, sepak bola sampai hantu apa yang menjadi penunggu pohon tua di belakang sekolah.

“Cita – citaku ingin membahagiakan mak, Put,” jawab Jambi ketika kutanya apa cita- citanya.

“Itu bukan cita – cita Jambi. Itu hanya harapan,” protesku.

“Aku ingin membahagiakan mak, Put.”

“Kok cuma mak? Bapaknya?”

Jambi terdiam. Raut wajahnya berubah,kepalanya menunduk dan matanya sedikit berkaca – kaca.

“Ada apa, Jambi?” tanyaku yang menyadari perubahan diwajahnya.

“Tak apolah. Hanya ingat *bak aku Put.”

Aku tersadar dan menyesal telah menanyakan pertanyaan yang menyinggung perasaannya. Setauku orang tua laki-laki yang dipanggilnya bak itu telah meninggal sebelum Jambi datang ke desa Pancuran ini. Itulah sebabnya Mbah Hasan, kakek Jambi, memintanya untuk pindah ke tanah Jawa, meneruskan SMAnya disini sekaligus menemani dirinya yang kesepian. Mbah Hasan sangat menyayangi Jambi, dialah yang membiayai segala keperluan sekolah Jambi. Jambipun juga sangat menyayangi kakeknya, ia sering membantu berjualan baju busana muslim di pasar tradisional. Awalnya Mbah Hasan melarang karena takut mengganggu konsentrasi belajarnya. Tapi apa kata Jambi,

“Di pasar ini samo sajo aku juga sedang belajar. Dengan melihat keramaian serta aktifitas orang-orang di pasar, aku merasa indak kesepian dan lupa akan kampung halaman.”

Kupandangi raut wajahnya yang masih menyiratkan kesedihan. Jambi, oh Jambi, dia adalah seorang pemuda yang tampan. Seperti yang kubilang tadi, dia mirip dengan aktor Herjunot Ali. Pemuda seganteng dia tak seharusnya ada di desa ini, apalagi membantu kakeknya berjualan busana muslim di pasar.

“Udah dhuhur, aku nak adzan dulu, Put,” kata Jambi membuyarkan lamunanku.

“Ee...iya,” aku mengangguk dan memperhatikan Jambi yang bergegas ke belakang masjid. Bayangannya hilang dibalik tembok yang memisahkan tempat wudhu dengan teras tempat kami duduk – duduk tadi.

Allahu akbar allahu akbar. Adzan mulai berkumandang. Suara sang bilal yang syahdu menggema ke seantero kampung. Bilal itu tak lain adalah Jambi. Jambi memang memiliki suara yang sangat merdu. Semua orang menyukai suaranya, saat dia bernyanyi, saat dia adzan, saat dia qiro’ah bahkan saat dia batuk sekalipun, maka tak heran bila gadis – gadis desa Pancuran menaruh hati padanya.

***

Malam itu, aku sedang mengerjakan PR Matematika. Jam telah menunjukkan pukul 10.20. Mataku melemah menjadi lima watt. Namun dengan sekuat tenaga aku berusaha menahannya, aku harus menyelesaikan PR-nya malam ini karena besok pagi sudah harus dikumpulkan. Andai Jambiada di sini, dia pasti bisa membantuku. Srek..srek.. Tiba – tiba terdengar suara berisik dari luar jendela kamarku. Krek..krek.. Kali ini seperti suara ranting yang diinjak. Oh Tuhan, suara apa itu malam-malam begini? Kakiku mulai gemetaran dan jantungku berdebar-debar kencang. Pikiranku membayangkan yang macam-macam, apakah itu maling atau malah hantu?

“Putri!” sebuah suara tiba-tiba memanggilku. Makhluk itu seketika berdiri di depan jendela kamarku.

“Jambi?” kataku setengah berteriak setelah kutahu makhluk itu adalah Jambi. Jambi hanya menyeringai.

“Jambi, kamu ngagetin aja,” kataku cemberut.

“Aku kangen, Put..” katanya tiba-tiba.

Apa? Jambi kangen aku? Jantung yang baru saja berhenti berdebar, kini kembali berdebar-debar tapi bukan rasa takut yang aku rasakan. Ada perasaan yang lain.

“Jambi, benarkah itu? Kamu merindukanku?” batinku dengan wajah memerah.

“Aku kangen makku, Put,” katanya lagi.

Hah? Jadi Jambi kangen maknya? Oh..Tuhan, hatiku yang yang mulai bersemi bunga – bunga cinta kini kuncup kembali tak jadi mekar.

“Aku hendak pulang kampung sajo, kasihan mak sendirian,” kata Jambi yang membuat bola mataku melebar.

“Jambi, kamu ini ngomong apa? Kenapa cepat sekali?” tanyaku tak percaya.

“Aku nak dijodohkan, Put.”

“Dijodohkan?” mataku semakin melebar dan hatiku mulai tak karuan.

“Iya, aku nak balik ke Jambi untuk dijodohkan, Put.”

“Apa? Ga mungkin, Jambi? Bagaimana dengan sekolahmu, Jambi? Katanya kamu ingin sekolah tinggi untuk jadi ulama hukum? Aku ga suka kamu ngomong seperti itu, Jambi. Aku ga rela kamu dijodohkan!”

“Aku ini ada keturunan bangsawan, Put. Mak hendak jodohkan aku dengan Nyimas di Jambi. Tenang sajo, *kanti kau ini bakal jadi ulama hukum yang hebat. Do’akan sajo.”

“Bagaimana bisa jadi ulama hukum yang hebat kalau kamu ga sekolah dan kuliah? Katanya kamu ingin kejar cita – cita kamu, Jambi?” kataku dengan mata yang mulai berkaca – kaca.

“Cita – citaku ingin membahagiakan mak, Put,” ucap Jambi lirih.

“Tapi kan setidaknya kamu tunggu dulu sampai lulus SMA?”

“Dulu aku tak sempat bahagiakan bak, kali ini akupun tak mau menyia – nyiakan kebahagian mak.”

“Tapi mengapa harus dijodohkan, Jambi?”

“Karena mak akan bahagia jika aku menikah.”

Aku menghela nafas panjang. Air mataku meleleh dihadapan pemuda yang kusayangi ini. Aku sungguh tak rela dia pergi hanya untuk dijodohkan lalu menikah. Dia telah berusaha dengan sekuat tenaganya untuk meraih mimpi menjadi seorang ahli hukum. Jambi, kau tidak boleh pergi. Kau harus tetap di sini, setidaknya sampai lulus sekolah. Namun, aku tak tega juga melihat ibunya yang hidup sebatang kara jauh diseberang pulau sana. Pastilah Jambi dan ibunya saling merindu. Jambi sangat menyayangi ibunya lebih dari apapun bahkan cita – citanya sendiri dia korbankan untuk kebahagiaan ibunya. Jambi, oh jambi.

***

Sudah satu tahun Jambi meninggalkan desa Pancuran. Terakhir kali aku bertemu dengannya pada malam itu, saat dia berpamitan denganku. Sesudahnya aku tak pernah lagi melihat Jambi. Dia menghilang bak ditelan bumi. Sejak kepergiannya aku mulai merasakan perubahan dalam diriku bahkan di sekelilingku. Tak hanya aku yang kehilangan sosoknya, namun juga penduduk desa merindukan kehadirannya. Mbah Hasan kehilangan cucu kesayangannya juga pelanggannya karena sebagian dari mereka tidak mau dilayani kecuali dengan Jambi. Imam masjid kehilangan jemaah lantaran tidak ada suara adzan yang merdu seperti suara Jambi. Para gadis desa kehilangan pangeran pujaannya yang tampan seperti Herjunot Ali. Sedangkan aku, aku kehilangan sahabat sekaligus cinta pertamaku.

Hari ini aku berniat mendaftarkan diri ke sebuah perguruan tinggi negeri di Surabaya. Telah lama kuniatkan rencana ini saat aku masih bersama Jambi. Aku ingat dulu dia berjanji akan kuliah di satu Universitas bersamaku. Dia akan mengambil hukum dan aku psikologi. Namun ternyata takdir berkata lain. Mungkin sekarang ini Jambi tengah berbahagia bersama anak dan istrinya.

Semua berkas dan biaya admistrasi telah kupersiapkan. Aku mematut di depan cermin berkali – kali untuk memastikan penampilanku telah rapi. Setelah kurasa siap, aku ke ruang tamu untuk berpamitan kepada ibu dan bapak. Tiba – tiba kulihat ada sebuah amplop tergeletak di atas meja. Kubolak – balik amplop itu, ternyata ditujukan kepadaku. Mungkin surat dari sekolah tentang pengambilan ijazah dan SKHU. Kulihat nama si pengirim, Kemas Ridwan Ahmada. Apa? Aku tak percaya dengan nama yang tercantum di balik surat itu. Mataku masih melotot dan mengeja kembali deretan huruf yang membentuk sebuah nama Ke-mas Rid-wan Ah-ma-da!

Tanpa pikir panjang langsung kubuka dan kubaca surat itu. Didalamnya berisi selembar foto danselembar kertas. Kuperhatikan foto itu baik – baik. Tampak disana sosok orang yang sangat kurindukan tengah menggendong balita. Disamping kanan berdiri seorang wanita tua dan disebelahnya lagi seorang wanita muda yang cantik. Sedangkan disamping kiri Jambi, ada seorang lelaki yang kelihatannya lebih tua darinya. Selembar kertas itu bertuliskan,

Jambi, 7 Juni 2012

Untuk Putri,

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Putri, apa kabarnyo? Semoga selalu dalam lindungan Allah SWT.

Maaf sebelumnya aku tak sempat berpamitan dengan Putri dan kawan – kawan di sekolah karena pagi – pagi benar abang telah jemput aku. Saat itu kami langsung balik ke Sumatera mengejar jadwal bus. Aku harap Putri memaafkanku dengan kesalahan ini.

Ternyata bukan aku yang dijodohkan, tapi abangku yang dijodohkan. Tengoklah fotonya, yang kugendong itu anak abangku, lucu bukan? Istrinya berada di sisi Makku. Makku sungguh cantik nian, walau umurnya sudah menua. Setiap hari aku menemani Mak sambil belajar di sekolah menghatamkan SMA di Pancuran yang belum selesai. Aku juga ikut abang berlayar untuk mengumpulkan biaya melanjutkan kuliah. Tak tau kah kau Putri? Sekarang aku sudah menjadi mahasiswa Universitas Jambi jurusan ilmu hukum. Insyaallah cita – citaku menjadi ulama hukum terwujud, bagaimana dengan Putri sendiri? Sudah menjadi mahasiswa Psikologi kah? Aku harap kelak jika aku kembali ke Pancuran, Putri telah jadi psikolog yang hebat. Amin. Semoga suatu hari nanti Putri juga bisa menjadi Nyimas Jambi, syaratnya harus menikah dengan orang Jambi yang punya nama Kemas. Hahaha. Sampai jumpo lagi Putri.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Kanti kau,

Kemas Ridwan Ahmada

Air mataku bercucuran membaca surat dari Jambi. Aku sangat merindukan pemuda ini. Jambi, oh, Jambi. Perasaanku meledak – ledak dan bahagia. Entah bahagia karena melihat Jambi telah menjadi mahasiswa hukum atau bahagia karena Jambi tidak jadi dijodohkan? Hmm, kini aku mulai membayangkan namaku akan berubah menjadi Nyimas Putri Mandalika.

-End-

*bak = bapak

*kanti = teman

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline