Mendung di Suramadu
Uut Tamamia
Ima memperhatikan wajah sendu dari balik jendela dapurnya. Seorang pemuda berpenampilan trendy gaya anak muda jaman sekarang sedang termenung dengan sebuah es kelapa di tangannya. Wajahnya tampan, kulitnya putih, dan pakaiannya bersih menggambarkan kelas sosial yang tidak rendah untuk ukuran pemuda di desanya.
“Hayo, lagi liatin siapa?” tegur Bapak membuyarkan lamunan Ima. Ima gelagapan. Tak disangka Bapak sedang memperhatikan tingkahnya.
“Ng..anu..itu, Pak. Laki – laki yang duduk di luar itu,” jawab Ima malu – malu.
Pak Dul melihat kearah yang ditunjuk Ima. “Oalah, itu kan Firdan. Anaknya Haji Goffar.”
“Bapak kok tahu ?” tanya Ima penasaran.
“Iya lah, Bapaknya si Firdan itu yang minjamin modal ke Bapak buat bangun warung di jalan tol ini.”
Ima kembali memperhatikan pemuda yang baru diketahuinya bernama Firdan. Ternyata benar dugaannya bahwa dia bukanlah dari kelas sosial biasa. Haji Goffar di kenal sebagai seorang jutawan. Usahanya di Surabaya banyak yang maju.
“Coba nak, kamu tanyakan apa dia butuh yang lain lagi?” pinta Pak Dul.
“Kenapa tidak Bapak saja? Ima malu, Pak.”
“Bapak masih melayani pembeli yang lain.”
Ima menuruti perintah bapaknya. Didekatinya pemuda yang sedang duduk sendirian menghadap ke jalan raya itu.
Ragu – ragu Ima menyapanya, “Permisi mas, apa mau pesan yang lain?”
Pemuda itu menoleh, dilihatnya Ima yang tengah berdiri di hadapannya. Firdan mengulum senyum kemudian berkata,
“Ima? kamu Nur Fatimah kan?”
Ima kaget mendengar pemuda dihadapannya ini menyebutkan namanya.
“Maaf, Mas.. apa Mas mengenali saya?” tanya Ima heran.
“Lho, kamu ini bagaimana sih masa lupa sama saya ?”
Ima semakin bingung, dia belum pernah sekalipun melihat pemuda ini sebelumnya.
“Aku Firdan, teman SMP kamu.”
Ima menyeringai dan menggeleng dia tidak ingat apa – apa. Dirinya tampak bodoh di hadapan pemuda yang menurutnya mirip Morgan Smash ini.
“Kamu dulu yang suka duduk di pojokan belakang, iya kan?” kata Firdan sambil tertawa.
“Oh iya? Bukannya itu kamu ya?” tanpa sadar Ima kembali teringat masa – masa SMPnya. Dia juga teringat seorang siswa yang selalu ranking satu meski duduknya di pojokan belakang, siswa itu tak lain adalah Firdan. Ima mulai mengingatnya. Tak disangka anak lelaki yang Ima taksir sejak dulu saat ini sedang berada di hadapannya. Firdan kembali tertawa memperlihatkan deretan giginya yang putih. Tanpa disadari mereka larut dalam obrolan panjang. Langit mulai kemerah – merahan menandakan hari telah sore. Firdan mohon pamit pada Ima dan Bapaknya. Besok dia akan berkunjung ke warung Pak Dul di kawasan Suramadu ini lagi.
Setelah berkenalan dengan Firdan, hidup Ima mulai berubah. Setiap hari Firdan rajin mengunjungi warung Pak Dul hanya untuk bertemu dengan Ima. Tanpa sadar benih –benih cinta lama tumbuh di hati gadis desa itu. Asmara yang tengah melandanya membuat Ima lebih memperhatikan penampilannya di depan Firdan. Setiap kali akan bertemu, gadis berumur 25 tahun itu akan mematut dirinya di depan cermin. Tak lupa bedak dan gincu menghiasi wajahnya yang manis.
Malam itu, Firdan berada di warung Pak Dullah. Ima menemani pemuda tampan itu dengan malu – malu. Meski mereka sudah terbiasa mengobrol, tampaknya Ima masih canggung berada di dekat Firdan.
“Ima, tolong tambah pisang goreng ya,” pinta Firdan.
“Iya, sebentar, Mas,” Ima beranjak ke dapur kemudian mengambil beberapa buah pisang goreng panas yang asapnya masih mengepul. Ima menyilahkan Firdan mengambilnya.
“Ima…,” panggil Firdan dengan lembut.
“Ada apa, Mas?” tanya Ima malu-malu. Dia menundukkan kepala, menyembunyikan wajahnya yang memerah.
“Merindukan seseorang itu sangat menyakitkan ya? Sehari saja tanpa dia rasanya seperti bertahun-tahun lamanya.”
Ima heran mendengar pertanyaan yang keluar dari mulut Firdan. Hatinya mulai berdebar- debar.
“Maksud mas Firdan apa ?”
“Aku sedang merindukan seseorang, Ma. Dan aku senang bisa bertemu dengannya,” kata Firdan sambil menatap mata Ima.
Ima kikuk, jantungnya dag dig dug tidak karuan. Mungkinkah Firdan merindukannya selama ini? Apa artinya Firdan juga memiliki rasa yang sama? Lagi-lagi dia harus menundukkan kepala untuk menyembunyikan rona merah yang mewarnai pipinya.
***
Sudah dua hari Firdan tak menampakkan batang hidungnya. Pemuda yang biasanya datang membawa kijang silver itu tidak mengunjungi warung Pak Dullah lagi. Hati Ima mulai gelisah. Ingin dia menanyakan kabar Firdan melalui sms atau telepon. Namun Ima tidak berani memulainya.
“Kemana Mas Firdan?”, tanya Ima pada dirinya sendiri. Dia merasa ada yang hilang saat melihat *lencak yang biasa di duduki Firdan. Dia sangat merindukan kehadiran lelaki yang sangat dicintainya itu.
Pagi itu, mendung tampak menghias langit Madura. Angin yang berhembus dari lautan begitu dingin dan menusuk tulang. Meski dingin, angin bertiup tidak terlalu kencang. Jembatan suramadu masih dibuka dan tidak sedikit yang melewatinya. Ima yang berdiri di depan warungnya, memandangi lalu lintas kendaraan yang hilir mudik keluar masuk jembatan. Dia ingat dulu, saat jembatan ini diresmikan oleh Presiden dirinya juga hadir menyaksikan acara pemotongan pita. Jarak bibir jembatan dengan warung Ima sekitar 500 meter. Warungnya yang diberi nama “Warung Pak Dullah” berdempetan dengan toko kerajinan Madura dan warung makanan lainnya.
Ima masih berdiri di tempatnya, memandang jauh kearah jembatan. Hatinya yang berbunga – bunga karena cinta kini harus menahan sesaknya rasa rindu yang membara. Firdan, pemuda yang sepekan ini menemaninya membuat hari – harinya begitu indah dan bermakna. Ima hanya senyam – senyum mengingat setiap lembaran cerita yang ia tulis bersama pemuda yang telah lama disukainya itu. Saat itu juga, Ima mengadahkan kepala ke langit berdoa kepada Tuhan berharap Firdan adalah jodohnya. Sekarang dia hanya menunggu waktu kapan Firdan akan datang kepada Pak Dullah untuk melamarnya. Bukannya Ima bergede rasa. Tapi perhatian Firdan selama ini membuat dia begitu yakin kalau Firdan mempunyai perasaan yang sama.
Sebuah mobil kijang silver berplat nomer M 4567 FR berhenti tepat di depan sebuah toko batik yang biasanya dijadikan pemberhentian bus dari arah pulau Jawa. Toko batik itu hanya berjarak beberapa meter dari warung Pak Dullah. Sesosok pemuda yang tidak lain adalah Firdan, keluar dari mobilnya. Ima heran, mengapa Firdan berhenti di toko batik? Bukan di warungnya?
Akibat rasa rindu yang mengebu – gebu, tanpa sadar kaki Ima melangkah mendekati Firdan. Pemuda itu tampak sibuk memainkan hape. Dia tak sadar Ima telah berada disampingnya. Setelah mengumpulkan segenap keberanian, Ima menyapa orang yang selama ini dirindukannya.
“Mas Firdan..,” panggil Ima.
“Hey, Ima…,” Firdan menoleh kearah sumber suara.
“Ng…,” Ima ingin mengatakan sesuatu. Namun bersamaan dengan itu sebuah bus antar propinsi Jakarta – Madura berhenti tepat di depan mobil kijang milik Firdan. Seorang wanita turun dengan menggandeng bocah perempuan berusia lima tahunan. Wanita itu tersenyum pada Firdan dan Ima. Dia tampak cantik dan anggun. Firdan segera mendekati wanita itu kemudian memeluknya. Begitu pula bocah perempuan yang dibawa wanita itu, dia peluk dan cium dengan penuh kasih sayang. Tampak kebahagiaan terpancar dari kedua mata Firdan.
“Ima, kenalin ini istri dan anakku. Sudah lama aku menantikan kedatangan mereka. Akhirnya mereka datang juga,” ujar Firdan kepada Ima.
Seketika itu, sebuah petir menyambar langit dan juga perasaan Ima. Apa ? Istri dan anaknya? Jadi selama ini, mas Firdan berkunjung di warungku karena menunggu keluarganya? Ima tak mampu berkata apa – apa. Dadanya terasa sesak dan perih.
“Sayang, ini Ima. Teman SMPku dulu. Dia yang biasanya nemenin aku nungguin kamu di sini. Dia Putri Pak Dullah yang punya kios di sana,” Firdan mengenalkan istrinya pada Ima. Merekapun saling berjabat tangan. Ima berusaha tersenyum meski hatinya sakit luar biasa.
“Aku pulang dulu ya Ima, sepertinya sebentar lagi mau hujan,” pamit Firdan.
Lagi – lagi gadis itu hanya tersenyum pasrah sambil menganggukkan kepala. Dia berusaha sekuat tenaga menahan air mata yang hendak jatuh ke pipi.
Tak lama hujan turun, air mata itupun ikut turun. Firdan dan keluarganya segera memasuki mobil dan meninggalkan Ima. Gadis itu masih berdiri mematung. Dirasakannya pisau belati dengan kejam menusuk - nusuk jantungnya. Hatinya telah hancur berkeping – keping. Perih..sangat perih.Hujan semakin deras, air mata itupun ikut deras. Ima meratapi cintanya yang bertepuk sebelah tangan. Hatinya mendung semendung langit di Suramadu.
--the end—
*lencak = tempat duduk yang terbuat dari bambu dan bentuknya memanjang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H