Lihat ke Halaman Asli

Tiga Anak Badung: Bukan Sekadar Cerita Komedi

Diperbarui: 18 Januari 2018   04:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14246570741363072083

Judul:3 Anak Badung

Pengarang:Boim Lebon

Penerbit:Indiva Media Kreasi

Cetakan:Pertama, Maret 2013

Tebal:192 halaman

ISBN:978-602-8277-82-2

Peresensi:Thomas Utomo; guru SD UMP


Cukup banyak novel bergenre komedi yang beredar di pasaran. Namun sedikit yang secara substansial menawarkan gagasan atau wawasan positif yang mencerahkan pembaca. Dari jumlah yang sedikit itulah, novel 3 Anak Badung termasuk di antaranya.

Ditulis oleh Boim Lebon, penulis kawakan yang pernah membuat serial Lupus Kecil bersama Hilman Hariwijaya dan Gusur Adhikarya, novel ini menceritakan kebadungan tiga kakak-beradik bernama Mola, Rama, dan Reh. Mola si sulung hobinya meminjam barang milik orang lain tanpa izin, lalu lupa mengembalikannya. Sedang si anak tengah, Rama, entah kenapa suka sekali berkelahi, meski tanpa sebab (halaman 20). Sementara anak bontot, Reh, kesukaannya makan dan tidur. Bagi dia hidup itu cuma ada dua, ya itu tadi: makan dan tidur. Selebihnya cuma selingan (halaman 182).

Kebadungan tiga bersaudara itu membuat emak mereka, Bunga Cinta Lebay (BCL) atau biasa dipanggil Mpok Bung, merasa kewalahan mengasuh dan membesarkan ketiganya yang sejak kecil ditinggal pergi bapaknya. Mpok Bung pun memutuskan untuk membuang atau tepatnya meninggalkan anak-anaknya setelah mengelabui mereka dengan mengajak mencari bapaknya di Stasiun Senen. Setelah ketiga anaknya naik kereta jurusan Yogya, Mpok Bung segera turun lalu pergi sejauh-jauhnya. Meski menyesal, dia merasa itulah hal terbaik yang bisa dilakukannya saat itu (halaman 22-23).

Sesampai di Yogya, ketiga anak badung itu baru sadar kalau emak mereka tidak ada alias menghilang. Mereka mencari bahkan menginap seminggu di stasiun untuk menunggu kedatangan emak yang ternyata tetap tidak ada (halaman 32).

Mereka kemudian hidup di jalanan, mencari makan dengan cara mengamen. Hidup yang keras mereka alami—perkelahian atau perebutan daerah operasi mengamen dengan sesama anak jalanan. Tapi mereka menjalaninya dengan kompak, jauh dari keluh kesah, dan penuh kelucuan serta kebadungan.

Sepuluh tahun mereka menjalani kehidupan demikian. Sepuluh tahun pula mereka tetap memelihara rindu untuk bertemu emak yang dengan tega membuang mereka. Dalam sepuluh tahun itu pula mereka menabung guna biaya perjalanan mencari emak di Jakarta.

Setelah merasa tabungan mereka cukup banyak, ketiga anak itu pun berangkat ke Jakarta dengan maksud mencari emak mereka.

Sesampai di Jakarta, mereka segera menjalankan maksud mereka. Tapi tidak mudah mencari orang yang sudah puluhan tahun berpisah. Apalagi mereka tidak mengantongi alamat jelas Mpok Bung. Mereka hanya memiliki sobekan foto kecil Mpok Bung yang diambil dari buku nikah. Mereka kemudian justru terlibat perdagangan narkoba yang dikomandoi Bang Roy (halaman 97-138). Untungnya mereka ditolong Bang Sofwan, sopir truk baik hati dan rajin salat.

Lewat pertolongan Bang Sofwan, mereka tidak hanya bisa lepas dari kejaran anak buah Bang Roy, tapi juga bertemu Haji Mumu, orang Madura yang menjadi bandar peyek. Di rumah Haji Mumu inilah dulu Mpok Bung bekerja sebagai pembantu (halaman 141). Anak gadis Haji Mumu kemudian mengantar ke rumah kontrakan Mpok Bung. Sayangnya, begitu sampai di kompleks kontrakan, bukan Mpok Bung yang mereka temui, tapi malah kobaran api yang melalap rumah-rumah sampai habis (halaman 157-160).

Secara keseluruhan novel ini menarik dibaca. Meski di bagian sampul tertera label Novel Humor, isinya tidak melulu tentang lelucon-lelucon pengocok perut. Boim Lebon juga menyusupkan gagasan positif seperti,

“Yang jelas, Rama memang ingin sekali mengalami perubahan dalam hidupnya. Sejak kecil sudah terbiasa hidup keras, berantem sana-sini. Bahkan ketika menjadi anjal—anak jalanan—di Yogya, kehidupannya menjadi tidak lebih baik. Meski ada Mas Kelik yang membinanya dalam bidang kesenian, tapi jiwa dan raganya kosong tanpa harapan. Untungnya, di Jakarta bertemu Bang Sofwan yang siap membinanya dalam bidang kesegaran rohani dan menuntunnya ke arah cita-cita yang lebih jelas.” (halaman 83).

Atau, “...kita memang hanya boleh takut pada Yang Mahakuasa, nggak boleh takut sama yang lain... asalkan kita yakin yang kita lakuin betul, lalu kita berdoa dan memohon bantuan Yang Mahakuasa, kita akan selamat.” (halaman 135).

Novel ini juga mengajak pembaca untuk mencintai ibu, entah apa dan bagaimana buruknya perlakuan ibu terhadap kita, “Karena doa dan restu ibu mujarab untuk membelah segala kesulitan dan tantangan hidup, mulai dari dunia hingga nanti hinggap di akhirat!” (halaman 182).

Juga, “Kita nggak boleh menyerah untuk menemukan kasih sayang seorang emak, karena perhatian dan kasih sayang seorang emak merupakan salah satu jalan untuk meraih kesuksesan.” (halaman 169).

Lewat novel ini, kita juga diajak untuk memahami dan merenungkan betapa keras dan tidak nyaman hidup yang dijalani para anjal atau anak jalanan,

“Hidup mereka begitu sempit, mereka tidak tahu mau berbuat apa lagi. yang penting hari ini dapat duit, bisa makan, mabok, tidur, besok pagi bangun lagi, nyari duit lagi, mabok lagi, dan tidur lagi! Makanya, begitu tahu tempat nyari duitnya diisi orang, mereka langsung sewot, karena seakan-akan periuk nasi mereka diserobot! Padahal, orang yang hidupnya merasa lega, bumi ini begitu luasnya. Yang namanya rezeki nggak bakalan ketukar. Tapi, ya, itu tadi, kerena cara berpikir mereka terlalu sempit, mereka nggak punya pengetahuan lain kecuali nyari makan dengan cara yang mereka bisa.” (halaman 35).

Sekelumit kritik untuk novel karya Head Writer Drama RCTI ini adalah alasan ketiga anak badung itu menabung uang hasil mengamen selama sepuluh tahun di Yogya. Menurut Rama, tabungan itu akan digunakan sebagai bekal ke Jakarta guna mencari emak mereka (halaman 43). Menurut pemahaman saya—peresensi—yang dimaksud “bekal ke Jakarta” adalah untuk biaya transport sekaligus makan selama mencari emak—mengenai tempat tinggal, itu bukan jadi soal, karena pengalaman sepuluh tahun menjadi anjal sangat memungkinkan mereka untuk tidur atau berteduh di mana saja. Tapi mengapa saat mereka berangkat ke Jakarta, sama sekali tidak disinggung soal penggunaan tabungan yang berusia sepuluh tahun itu? Mereka berangkat dengan naik truk secara cuma-cuma alias gratis tidak membayar (halaman 58-59, 63). Itu artinya uang tabungan mereka utuh, karena tidak digunakan untuk biaya transport. Tapi lagi, untuk biaya makan kenapa juga mereka harus mengamen lagi (halaman 69-73, 101-102, 105, 185-188), bukankah ada tabungan yang sudah mereka kumpulkan? Kalau memang tanpa tabungan mereka tetap bisa berangkat ke Jakarta, kenapa mereka harus menunggu sepuluh tahun di Yogya? Kenapa tidak berangkat dari dulu saja?


Ledug, 22 Desember 2013




Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline