Lihat ke Halaman Asli

Membaca Kebhinekaan Indonesia dari Dua Perempuan Lintas Zaman

Diperbarui: 17 Juni 2015   10:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1424655263777937421

Judul:Mei Hwa dan Sang Pelintas Zaman

Pengarang:Afifah Afra

Penerbit:Indiva Media Kreasi

Cetakan:Pertama, Januari 2014

Tebal:367 halaman

ISBN:978-602-1614-11-2

Peresensi:Thomas Utomo, alumnus PGSD UMP

Bhineka Tunggal Ika (berbagai-bagai dalam kesatuan) merupakan semboyan negara Indonesia yang terus-menerus diajarkan dari bangku SD sampai kuliah. Namun kenyataannya semboyan hanyalah tinggal semboyan, karena faktanya demikian mudah masyarakat kita bertikai, mulai dari akibat perbedaan ideologi, suku, ras, sampai yang remeh-temeh seperti perbedaan klub sepak bola. Kebanyakan kali, masyarakat Indonesia—yang konon termasuk relijius—justru tidak menginsyafi firman Tuhan, “Perbedaan di antaramu adalah rahmat.”

Oleh karena itu, ada baiknya kita belajar menghikmati kebhinekaan Indonesia dari sudut pandang sastra. Lewat teks-teks sastra-lah keindonesiaan itu dapat dialami, dihayati, dan diimajinasikan sebagai sesuatu yang pribadi, karena sastra secara kodrati berkehendak pada partikularitas dan menolak keumuman, stigma, dan stereotype. Dalam sastra, manusia dihadirkan sebagai manusia dalam situasinya yang konkret sehingga segala abstraksi stereotype dan stigmatisasi runtuh berkeping-keping.

Sastra Indonesia, sebagai sastra dari sebuah negara dengan penduduk yang beragam baik agama, etnis, ideologi, dsb., melahirkan hasil-hasil sastra dari kondisi, latar, pandangan, dan pengalaman yang berbeda-beda pula. Maka sastra Indonesia memiliki potensi besar untuk melonggarkan keindonesiaan kita. Lewat sastra-lah masyarakat Papua, misalnya, dapat bertemu dengan manusia-manusia dari berbagai belahan Indonesia dalam situasinya masing-masing dan dengan itu menghasilkan pemahaman, simpati, senasib-sepenanggungan, dan rasa persatuan.

Seperti halnya novel ini yang isinya mengangkat dua tokoh perempuan berbeda zaman, latar belakang, ideologi, dan kelas sosial. Tokoh pertama, Sekar Ayu Kusumastuti, adalah perempuan yang dilahirkan pada zaman Hindia-Belanda dari pasangan berbeda etnis—bapaknya dari Hadramaut, Yaman, sedang ibunya dari Surakarta dan masih keturunan ningrat (hal 43). Perbedaan asal-usul orang tua Sekar Ayu menimbulkan perpecahan dalam keluarga sang ibu. Berbagai usaha dilakukan nenek Sekar Ayu untuk memisahkan anak dan menantunya yang dianggap tidak sepadan—tidak sama bibit, bebet, dan bobot-nya. Korban utama dari perselisihan ini adalah Sekar Ayu sendiri. Perpisahan orang tuanya yang berbarengan dengan kedatangan tentara Jepang ke tanah Jawa, justru menjerumuskan Sekar Ayu menjadi jugun ianfu, budak pemuas nafsu syahwat tentara Jepang, sama seperti ibunya (hal 132, 153). Beruntung, ia kemudian diselamatkan kakeknya; dari pihak bapak (hal 154-156). Namun pergaulan Sekar Ayu dengan Purnomo, anak seorang petinggi Partai Komunis Indonesia, kembali menjerumuskannya. Kali ini, ia ditahan dan diasingkan bersama tahanan wanita lainnya ke Kamp Plantungan, bekas rumah sakit lepra, karena dituduh turut serta dalam gerakan makar G30S/PKI (hal 268-280).

Tokoh kedua bernama Mei Hwa, gadis keturunan Tionghoa yang lahir era tahun 80-an. Sejak kecil mula, Mei Hwa dididik untuk menjaga jarak dan membatasi pergaulan dengan kaum pribumi. Saat memasuki bangku kuliah, Mei Hwa malah turut serta mendukung gerakan mahasiswa pribumi yang hendak menurunkan Soeharto; presiden diktator militeristik (hal 99-100). Namun huru-hara 1998, sebagai buntut turun tahtanya Soeharto, mengakibatkan Mei Hwa dan keluarga terkena imbasnya. Toko-toko milik ayahnya dijarah, rumah orangtuanya dibakar, sedang Mei Hwa sendiri diperkosa beramai-ramai. Akibatnya ayah Mei Hwa berubah gila, ibunya bunuh diri, dua kakaknya menghilang, dan Mei Hwa mengalami depresi berat (hal 62, 103, 123, 183). Mei Hwa yang semula mulai mau berkawan dengan kaum pribumi, berubah menjadi membenci setengah mati.

“Sebuah perubahan, mungkin memang membutuhkan tumbal. Tetapi, jika tumbal itu adalah diriku, keluargaku dan segenap apa yang kami miliki, kami tak pernah siap. Mengapa aku mendadak begitu tolol dengan menghilangnya rasa khawatir tentang ke-China-anku? Mestinya aku tetap memasang tameng waspada. Sejarah konflik China-Pribumi sudah sekian lama terjadi, dan telah berulang kali terjadi... Aku harusnya waspada.” (hal 103-104).

Tidak kuat menanggung tekanan mental, Mei Hwa lalu kabur dari rumah sakit jiwa (hal 175-181). Dengan otak setengah sintingnya, ia menggelandang ke jalanan dan satu jalinan nasib mempertemukannya dengan Sekar Ayu, perempuan tua bekas tahanan politik. Persinggungan dua tokoh korban politik dan kekuasaan ini justru menimbulkan jalinan kerjasama yang unik antardua pribadi dengan banyak perbedaan yang saling bertolak-belakang.

“Hubungan bangsa Tionghoa dengan kaum pribumi memang pernah mengalami masa-masa suram, tetapi masa yang penuh dengan keindahan, jauh lebih panjang... Sebenarnya tak banyak penduduk negeri ini yang senang mengobarkan api kebencian... Hanya segelintir. Hanya saja, yang segelintir itu ternyata mampu menjadikan percikan api yang semula kecil menjadi kobaran neraka dunia yang meluluhlantakkan segalanya,” demikian kata Sekar Ayu (hal 314).

Membaca novel ini adalah membaca semangat Indonesia yang dewasa ini semakin luntur bahkan hilang sama sekali. Betapa kerjasama, saling sinergi—antarpribadi yang berbeda—dalam hal bermanfaat adalah satu hal yang sangat mungkin terlaksana. Perbedaan baik antarsatuan masyarakat maupun dalam satuan masyarakat itu sendiri harus dianggap sebagai keniscayaan kemanusiaan yang membawa hikmah.

Ledug, 11 Februari 2014

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline