Lihat ke Halaman Asli

Utari ninghadiyati

Blogger, kompasianer, penggiat budaya

Kuda Lumping Antara Trance dan Hiburan

Diperbarui: 5 Desember 2021   13:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Semakin sore, semakin banyak yang datang melihat. Pertunjukkan pun semakin meriah. 

Tarian dan pemain pun berganti. Dari kejauhan saya bisa melihat dan mengamati sembari duduk. Penonton masih tertib dan duduk dengan manis. 

Anak-anak sesekali memegang pagar darurat yang mengelilingi lapangan pertunjukkan. Mereka tidak takut saat penari berkumpul di tengah lapangan bersama seorang pawang. Ada dupa di tengah mereka. 

Beberapa pawang mengawasi dari empat penjuru angin. Mata mereka lejat menatap para penari. Saat asap dupa menebal, tiga orang penari terlihat trance. Mereka menunduk, entah apa yang dirapalkan sang pawang. 

Kini dua penari menggigit bunga, sementara seorang menggigit botol parfum berukuran kecil. Senyum mereka terkembang, namun bukan senyum yang menawan. Mata mereka pun setengah terpejam. 

Ketiganya menari seturut irama musik. Seorang di antaranya mendekati penyanyi dan berbisik atau berkata pelan. Penyanyi itu lantas mengangguk, meminta para penabuh bersiap mengiringinya menyanyi sebuah lagu. 

Para penari terus menari hingga lagu usai. Setelah itu para pawang mendekat dan menyadarkan mereka. Pertunjukkan belum usai, tarian celeng dimulai. Kali ini penarinya hampir semuanya laki-laki, kecuali dua orang perempuan pembawa celeng. 

Lagi-lagi tiga orang penari mengalami trance. Penonton semakin tertarik dan mendekat. Rasa penasaran begitu kuat. Seorang pawang berjalan ke arah penonton. Tangannya membawa sebungkus bedak tabur. Diberikannya sedikit bedak pada anak-anak, ibu-ibu pun seraya menadahkan tangan. Bedak ini akan diusapkan ke wajah anak-anak agar tak sawan. 

Kini, penonton perlu diingatkan agar menjauh dari pagar. Tarian bantengan akan dimulai. Gerakannya jauh lebih dinamis dan enerjik. Penarinya berjalan ke sana kemari dan sesekali seperti menerjang. 

Nyali penonton mulai di uji. Sebagian besar menjauhi pagar. Meski sudah berjarak, keadaan di dalam pagar terlihat semakin ramai. Rupanya anggota dari paguyuban lain datang. Sebagai tanda dukungan dan penghormatan. 

Mereka duduk di tepi pagar. Ada selendang di leher atau kepala sebagai ciri. Usai para banteng berlaga dan kembali tersadar, banyak yang menggira tarian tak lagi seriuh sebelumnya. Apalagi seorang penari perempuan berjarik dan bersanggul, mulai menari dengan gemulai. Bantengan dan macan menepi ke dekat pagar. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline