Lihat ke Halaman Asli

Utami Putri

To be a writer, Insyaaaallah.

Fragmen 3: Tentang Rahasia (3)

Diperbarui: 26 Juni 2015   04:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Rangga.. Wanita adalah seorang yang ingin selalu dihargai dan dimanja dengan kasih sayang yang berlimpah.. Kesuksesanmu tak berarti apa-apa dibandingkan kehadiran senyum teduh yang bersarang diwajahnya,, Dengannya, hidupmu akan terasa sempurna...

Rangga baru saja mendapat nasihat berharga dari Hanung, melalui telepon. Setelah terlebih dahulu, ia meminta pendapat kepadanya, mengenai sosok yang tak pernah ia pahami sebelumnya, wanita. Rangga mendapatkan pencerahan.

Sedari pagi selama di kantor, pikiran Rangga selalu tertuju pada Lastri, tidak pada pekerjaannya. Setelah malam tadi, secara tak sengaja Rangga memperhatikan sederet aksara bisu yang tertulis rapi di layar laptop Lastri. Sang istri nampaknya telah tertidur pulas di meja dan lupa mematikan perangkat elektroniknya itu. Rangga penasaran. Ia segera memincingkan mata dan fokus membaca tulisan istrinya itu.

Aku serupa boneka yang dipermainkan olehnya setiap hari. Ya. Aku sakit. Ia berada disampingku saat sedang membutuhkanku, lalu menjauh dengan sendirinya ketika aku dianggap tidak bernilai terlalu penting di matanya. Tak pernah sekalipun, ia memperlakukanku sebagai seorang wanita utuh. Padahal, aku telah berusaha menjadi istri yang baik untuknya. Lalu, dimana letak kesalahanku, Tuhan?

Rangga tersentak. Dia berupaya menerjemahkan tulisan istrinya itu. Lastri sakit dengan perlakuanku padanya tempo hari? Tuhan, apa yang telah kulakukan padanya? Dia tak pernah bersalah akan masa laluku. Seketika, Rangga turut merasakan luka yang Lastri pendam selama ini, yang tak pernah ia sadari.

Semalaman, Rangga berkontemplasi atas perlakuannya pada Lastri sejak mereka menikah. Rangga bertekad untuk mengubah semuanya. Dan karena itu pula, akhirnya dia meminta saran pada Hanung. Sebetulnya, dia merasa ragu untuk menanyakan hal tersebut pada Hanung. Namun, ia memaksakan diri pada akhirnya.

***

Sore ini, setelah menutup percakapannya dengan Hanung, Rangga telah membayangkan diri berada di rumahnya. Dia tak sabar untuk bertemu dengan istrinya, Lastri. Padahal, salam kedatangan semburat jingga pun belum kunjung terdengar olehnya. Rangga bergegas keluar dari ruangannya, melewati para pegawainya yang sibuk dengan komputer masing-masing, beserta tumpukan dokumen. Setelah mobil silvernya melewatipos penjagaan di depan gedung perusahaan, dia mampir ke sebuah toko bunga yang terletak tak jauh darinya. Rangga akan memesan bunga di sana. Untuk Lastri.

Rangga telah berdiri di depan toko bunga. Dia sedikit bingung dengan pemandangan bunga warna-warni di dalamnya. Dia sulit untuk memilih bunga paling cantik dan indah, yang patut diberikannya pada Lastri. Sejurus kemudian, seorang gadis muda penjaga toko, yang sedari tadi melirik tingkah Rangga, berjalan mendatanginya.

“Selamat sore,, ada yang bisa saya bantu?” tanya gadis itu dengan cukup ramah, kepada Rangga.

Rangga tersenyum lebar karena pertolongan itu datang juga pada akhirnya.

“Sore kembali.. saya ingin membeli bunga, mbak..” jawab Rangga dengan sumringah.

“maaf,, Bapak mencari bunga apa? mungkin saya bisa bantu mengambilkan untuk bapak..” sahut gadis itu dengan senyum yang nampak dipaksa untuk selalu tersungging.

Rangga kembali bingung dengan pertanyaan gadis itu. Dia tak pernah memilih dan membeli macam rupa bunga sebelumnya. Yang dia ketahui, pada umumnya, setiap orang akan selalu membawakan bunga mawar merah cantik nan harum untuk pasangannya. Aku bawakan saja bunga itu pada Lastri, pasti dia suka, pikir Rangga.

“saya ingin bunga mawar merah, mbak.. bisa mbak ambilkan untuk saya..?” pinta Rangga pada gadis itu.

“baik.. tunggu sebentar pak..”

Gadis itu mulai memilih bunga mawar untuk Rangga. Sementara, pandangan Rangga tertuju pada satu pot berisi bunga elok lainnya, persis seperti yang terdapat di taman belakang rumahnya. Anggrek. Rangga baru saja tersadar. Ia selalu melihat Lastri sibuk dengan beragam tanaman anggrek yang tertata rapi di rumahnya. Rangga segera menyimpulkan bahwa Lastri amat menyukai bunga itu. Lebih baik aku bawakan bunga anggrek untuknya. Pasti dia lebih senang, pikirnya.

Namun sayang, Rangga tidak tahu pasti jenis anggrek apa yang paling Lastri sukai. Lalu dia melihat anggrek indah berwarna putih. Anggrek bulan. Putih, melambangkan kesucian. Serupa sucinya rasaku ini untuknya, gumam Rangga dalam hati.

Rangga segera meminta kepada sang gadis penjaga toko untuk membingkiskan bunga anggrek bulan saja untuknya. Sekilas, Rangga dapat melihat kekesalan yang diperlihatkan perempuan muda itu padanya. Rangga tak peduli. Hanya sosok Lastri yang terpatri dalam benaknya. Semoga Lastri menyukainya, bisik Rangga girang.

***

Mobil Rangga telah terparkir dengan baik di depan garasi rumahnya. Rangga buru-buru keluar dari mobilnya. Tak lupa, dia mengeluarkan dengan hati-hati bunga anggrek yang baru saja ia beli. Dia tersenyum kecil sendiri membayangkan rona bahagia Lastri yang akan dia temui nanti.

Rangga masuk ke dalam rumahnya dan mencari Lastri. Ternyata, dugaannya benar. Istrinya itu tengah berada di bangku taman belakang rumahnya. Melamun sembari menatap kolam batu berisikan air jernih yang dihuni oleh ikan-ikan kecil.

“Lastri...”

Istrinya, yang merasa namanya dipanggil pun terkejut.

“Mas..”

Rangga tersenyum menghampiri, lalu duduk di samping Lastri. Dia segera menaruh sebuah pot berisi bunga anggrek yang dibelinya tadi di atas meja taman.

“Aku bawakan bunga anggrek ini untukmu.. maaf jika aku salah memilih...”

Lastri menerimanya. Kening Lastri tampak berkerut. Namun, tak lama senyum Lastri mengembang.

“tak apa, mas.. aku sangat menyukai semua jenis anggrek.. bunga ini sungguh indah..” ujar Lastri sembari mencium anggrek bulan pemberian Rangga.

Rangga bahagia karena buah tangan yang ia bawa, tidak mengecewakan istrinya. Dengan sedikit gugup, ia mencoba mengatur jarak lebih dekat kepada Lastri. Sejurus kemudian, dia mengambil langkah yang dipertimbangkan cukup lama olehnya. Rangga mencium kening istrinya. Dan sekilas, ia mampu merasakan tubuh Lastri yang agak sedikit bergemetar. Rangga sedikit khawatir.

“Apa kau sakit..?”

“tidak.. Aku tidak apa-apa..”

Rangga masih tidak percaya. Dia menyentuhkan punggung tangannya di kening dan pipi Lastri. Normal.

“Benar, aku baik-baik saja..” ucap Lastri meyakinkan.

“Sungguh?..”

“iya...”

Sejenak, keduanya mematung. Rangga sedikit salah tingkah sembari mencari cara yang tepat untuk mencairkan suasana. Pada akhirnya, tangan Rangga tergerak untuk menarik Lastri ke dalam pelukannya.

“Jika selama ini suamimu terlalu sibuk dengan pekerjaannya.. maafkanlah..” bisik Rangga di telinga Lastri dengan nada sesal dan haru.

Lastri tidak berucap apa-apa. Namun, Rangga dapat merasakan tarikan nafas Lastri yang berpacu lebih cepat.

Rangga melepas pelukannya dan kemudian menatap bola mata bulat Lastri dalam-dalam. Mata indah itu yang membuatnya jatuh hati sejak pertama kali melihat Lastri. Dan kini, keindahannya tertutupi oleh selimut tipis yang terbentuk dari sekumpulan molekul air bening. Dan, perlahan permadani air itu pecah dan mengalir di sepanjang sungai pipi si empunya. Lastri menangis. Rangga semakin merasa bersalah.

Cukup lama, Rangga terdiam dan terus memandangi air mata Lastri yang mengalir semakin kencang. Rangga membiarkannya. Ia menghendaki semua kesedihan, yang ditahan oleh Lastri selama ini, dapat hanyut dan hilang terbawa arus air yang meluber deras dari kelejar lakrimasinya. Akibat kesalahan yang diperbuat oleh Rangga sendiri. Dia yang tidak pernah mengerti dan memahami perasaan seorang wanita selama ini, akibat ketidakmampuannya merelakan kesakitan di masa lalunya. Setelah tangisan Lastri mereda, Rangga mendekatkan wajahnya pada Lastri.

“aku membutuhkanmu..” bisik Rangga sembari menyeka air mata Lastri.

Rangga memeluk tubuh Lastri kembali. Sangat erat. Seolah tak ingin kembali merasakan kehilangan sosok wanita yang benar-benar ia sayangi dalam hidupnya. Bayangan buruk tentang ibunya kini telah hilang sempurna. Harapan hidup bahagia bersama istrinya, telah menari-nari di pelupuk matanya.

***

Lastri telah tiba di sebuah restoran. Kakinya melangkah ragu menuju sebuah kursi makan yang terletak di sudut ruangan. Tubuh Lastri segera menghempaskan dirinya di atas busa empuk yang terbalut oleh kulit. Matanya agak cemas, mengawasi kedatasngan seseorang yang berhubungan dekat dengannya belakangan ini.

Kau tak bahagia?.. mengapa kau tidak minta berpisah saja dengan Rangga??

Tak bisa.. ayah akan membuangku jika aku memintanya.. di mata ayah, Rangga adalah menantu sempurna.

“maaf.. kau telah menunggu lama?” seorang pria tiba-tiba menyapa Lastri dalam lamunnya.

Lastri terkesiap.

“ah,,, tidak.. aku baru saja sampai..” jawab Lastri.

Bersambung..

================================================

Kolaborasi dengan Empuss Miaww..

Sebelumnya:

Fragmen Pertama : Tentang Diriku

Fragmen Kedua : Tentang Perjumpaan

Fragmen Kedua : Tentang Perjumpaan (2)

Fragmen Ketiga : Tentang Rahasia (1)

Fragmen Ketiga : Tentang Rahasia (2)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline