Lihat ke Halaman Asli

Utami Putri

To be a writer, Insyaaaallah.

Fragmen 3: Tentang Rahasia (1)

Diperbarui: 26 Juni 2015   04:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

“ibuuu,,,,,”

Rangga berteriak dari jendela kamar terbuka, kepada sesosok wanita ramping berambut panjang tergelung yang berjalan keluar dari pintu pagar rumahnya. Langit masih semi terang. Mentari belum menampakkan dirinya dengan jelas. Namun sayang, panggilan Rangga tak dihiraukan. Sang wanita terus melangkah, tanpa menoleh sedikit pun padanya.

Subuh tadi, Rangga terjaga dari mimpinya. Setelah suara-suara keras yang berasal dari luar pintu kamar, memekik di telinganya. Nuansa yang amat gaduh. Tak seperti pagi-pagi kemarin, ketika rumahnya masih terasa sepi dan damai.

Sudah beberapa hari ini, Rangga hanya tinggal bersama ibunya di rumah. Sementara, sang ayah tengah melakukan perjalanan ke luar kota untuk urusan pekerjaan. Semalam, Rangga mendengar langsung dari ibunya, bahwa sang ayah akan pulang esok lusa.

Namun, pagi ini Rangga menyadari jika ayahnya telah tiba kembali di rumah sembari marah besar. Rangga menangkap nama sang ibu yang disebut-sebut oleh ayahnya, disertai umpatan kasar. Begitupun sebaliknya, makian sang ibu tak mau kalah bersaing dengan perkataan kotor ayahnya. Ada apa dengan ayah dan ibu?, batin Rangga.

Rangga yang hendak melihat kejadian sebenarnya, tiba-tiba mengurungkan niatnya setelah mendengar bunyi beberapa barang pecah belah, hancur berkeping-keping. Pertengkaran kedua orang tuanya ditutup dengan keheningan, dilanjutkan dengan suara pintu depan rumah yang terbuka.

Dari dalam kamar Rangga, dapat terlihat dengan jelas, ibu kandungnya keluar bersama seorang lelaki berkumis tipis, yang datang semalam dan tak pernah Rangga kenal sebelumnya. Diam-diam, Rangga mengintip kedatangan pria itu dari balik jendela kamar yang menghadap pelataran rumahnya, saat dia hendak menaiki tempat tidur.

Setelah sang ibu pergi begitu saja tanpa berucap apapun, Rangga belia, yang berusia 12 tahun, bergegas lari menuju pintu kamarnya. Dia ingin segera keluar menyusul ibunya. Namun di saat bersamaan, terdengar bunyi gagang pintu kamar yang berputar disertai daun pintu yang terbuka.

Sang ayah telah berdiri tegak di depan kamar dan berjalan ke arah Rangga dengan sisa kemarahan yang masih lekat di raut wajahnya. Sesaat kemudian, Rangga telah berhadapan dengannya. Sang ayah tertegun sebentar dan membelai kepalanya.

“dengarkan ayah.. usah kau cari ibumu lagi.. ibumu telah tiada.. ingat itu baik-baik..” ucap sang Ayah pada Rangga dengan nada kebencian.

Rangga terkejut dan kebingungan dengan permintaan ayahnya.

“ibu masih ada,, aku ingin mengejarnya..” Rangga menyanggah kalimat-kalimat sang ayah.

“ibumu telah pergi dengan lelaki itu... dia tak akan pernah pulang ke rumah ini lagi... kau telah dibuang olehnya... tak pantas dia mendapatkan kasih sayangmu... lupakan ibumu..” ujar sang Ayah dengan suara yang agak ditinggikan.

Rangga sedikit takut melihat kegusaran yang mulai ditunjukkan oleh ayahnya. Sekaligus tidak percaya, atas apa yang telah dikatakan tentang sang Ibu.

“i..i.. ibu.. ibu.. tak kan pulang?” ucap Rangga terbata-bata.

“tak akan... ibumu tak akan kembali.. percaya pada ayah..” tegas sang Ayah.

Rangga terkejut. Tak mungkin ibu meninggalkan aku begitu saja, ucap Rangga dalam hati. Sejurus kemudian, Rangga menangis.

“ah,, tak usah kau menangis untuknya.. percuma,,, tangisanmu tak akan membuatnya kembali.. hapus air matamu... anak lelaki sepertimu tak boleh cengeng.. ayah tak suka..” ujar sang Ayah. Gusar.

Rangga tak peduli dengan apa yang diucapkan ayahnya barusan. Tangisnya makin menjadi.

“tidak.. ibu.. ibu pasti pulang..” Rangga mulai meraung. Pun, kakinya telah siap berlari keluar kamar untuk menemui sang ibu, dan mengajaknya kembali pulang bersama. Rangga berharap ibunya masih belum pergi terlalu jauh.

“Rangga... hentikan.. ibumu sudah pergi jauh..” teriak sang Ayah sambil mencengkeram erat tangan anaknya. Rangga berusaha memberontak, namun tak cukup kuat.

“cukup sudah.. ayah benar-benar marah padamu.. jangan kau berusaha keluar lagi atau ayah akan mengurungmu..” ancam sang Ayah.

Rangga gentar melihat keberangan ayahnya. Ia segera mengurungkan kepergiannya sembari menangis terus menerus. Sang ayah membiarkannya, sembari tetap menunjukkan ekspresi dinginnya. Setelah tangis Rangga mereda, ayahnya mulai bersikap lunak.

“sudahlah,, mulai sekarang,, ingatlah pesan ayah.. jangan pernah lagi, kau keluarkan air mata untuk ibumu.. sebab, ayah akan selalu ada untukmu... kau paham?”

Rangga segera menghapus sisa air mata yang masih mengalir di pipinya. Ibu tak akan kembali? benarkah?. Hati Rangga terluka. Pedih. Ia kembali menangis dalam hati.

Semenjak pagi itu, Rangga tak pernah berhenti berharap akan kedatangan sang ibu kembali di rumahnya. Namun, pada akhirnya ia harus kecewa. Ibunya memang benar-benar tak pernah muncul lagi untuknya. Perlahan, benih kebencian muncul dalam hatinya, terhadap sang ibu. Rangga tak pernah ingin tahu, juga tidak akan pernah ingin mengerti, mengapa ibunya tega melakukan itu.

Pribadi Rangga cenderung tertutup dan keras, setelahnya. Meskipun mengetahui bahwa sang ayah telah berbahagia dengan wanita baru, pengganti ibunya, Rangga tak ambil peduli. Saat masa muda menghampiri, ketertarikannya pada wanita menjadi hal yang biasa dialihkan. Ia tak pernah mencoba untuk menyusuri lebih jauh misteri rasa itu. Sebab, hati Rangga terlampau larut dalam duka masa lalunya. Rangga takut kehilangan kembali sosok wanita, seperti ibunya.

*** 13 tahun kemudian..

Kali pertama menatap sebuah foto perempuan yang dipegangnya, Rangga merasakan sebuah desiran yang cukup lama. Aneh. Rangga mengakui bahwa Lastri, nama gadis itu, adalah perempuan paling menawan yang pernah dilihatnya. Tak hanya cantik, Rangga menemukan sesuatu yang tak biasa dari sepasang sorot mata coklatnya. Kedua jendela bulat bening itu menguak sedikit rahasia kekayaan berharga yang dimiliki sang gadis, kelembutan dan kasih sayang.

Rangga terpana untuk sementara waktu. Namun, perasaan istimewanya itu buru-buru ia tepis. Ia menganggap bahwa hatinya tengah dipermainkan oleh keadaan, serupa semilir angin yang mengajak sang dedaunan untuk bergoyang. Sejenak.

Rangga menghirup oksigen dalam-dalam dan menghembuskannya.

“Haruskah aku menikah dengannya, ayah? tanya Rangga pada Sastranegara, ayahnya.

“Perusahaan ayah pernah alami masa paling sulit dulu.. dan Sarwoto, ayah gadis itu, adalah sahabat terbaik yang selalu ada untuk membantu ayah.. Dia amat menginginkan dirimu tuk menjadi menantunya... pun, kau belum menemukan jodohmu hingga sekarang.. ayolah..”

“Aku tak bisa ayah...”

“Sampai kapan kau akan terus begini? Sejak dulu kau tak pernah mengenalkan seorang gadis pun pada ayah,, Apa kau tak pernah menyukai wanita??

Rangga terdiam. Memorinya kembali terpaku pada sang ibu yang tak pernah ia jumpai selama bertahun-tahun.

“Sudahlah,, ayah minta padamu, turuti perkataan ayah.. kau tidak akan pernah rugi menikah dengannya.. Sarwoto adalah seorang pengusaha yang paling berpengaruh.. banyak keuntungan yang bisa kau dapatkan bila gadis itu kau nikahi,, demi perusahaan kita...” desak Sastranegara, sembari menerbitkan niat sesungguhnya.

“keputusanku bulat.. aku tak mau..” tegas Rangga.

“Rangga,, kemanakah tekad yang selama ini kau dengungkan pada ayah, bahwa kau ingin memajukan perusahaan yang telah lama ayah bangun?.. kau kemanakan ambisimu itu??..” cerca Sastranegara, tak mau kalah.

“tidak dengan cara picik ini, ayah..”

Sastranegara agak tersinggung dengan pernyataan Rangga.

“apa kau tak mengerti? Ini adalah kesempatan emas kita... mengapa kau buang begitu saja kesempatan yang hadir di depan matamu,,?.. sama saja artinya, kau telah membunuh waktu dan mimpimu sendiri... Ayah menyesal terlalu berharap bahwa kau mampu memegang dan menjalankan perusahaan ini dengan taktik cerdik..”

Dengan gigih, Sastranegara berusaha melunakkan hati Rangga. Pada akhirnya, Rangga mengalah dan menerima perjodohan yang dilakukan oleh Sarwoto bersama ayahnya. Meski, tujuan Rangga menikahi Lastri hanya untuk satu tujuan, materi. Demi masa depan cerah perusahaan yang telah lama dibangun oleh Sastranegara, ayahnya.

Semenjak menikah, Rangga cenderung bersikap dingin pada Lastri. Hanya berkomunikasi seadanya. Walau, suara hati terdalamnya tak pernah menampik, jika Lastri memang perempuan baik nan manis. Ia sering memperoleh sarapan yang disiapkan langsung oleh tangan Lastri, meski pekerjaan itu sebenarnya bisa dilakukan oleh pembantunya. Bahkan, tak jarang Lastri selalu menunggu kedatangan Rangga dari kantornya meski telah larut malam. Diam-diam, ia pun sering memperhatikan lengkung cantik yang terlukis di pipi Lastri. Cukup menciptakan sedikit ketenangan dalam hatinya saat kepenatan urusan pekerjaan melanda pikirannya. Rangga tak bisa pungkiri itu.

Namun, bayang luka mendalam atas cerita masa lampaunya, seringkali memaksa Rangga mengabaikan semua perhatian sang istri. Pun, tunas mentari yang mulai menggeliat terbit dalam hatinya, saat bersama Lastri, selalu ia dustakan. Rangga sibuk menenggelamkan diri dalam urusan pekerjaan di perusahaan milik ayahnya.

Bersambung..

================================================

Kolaborasi dengan Empuss Miaww..

Sebelumnya:

Fragmen Pertama : Tentang Diriku

Fragmen Kedua : Tentang Perjumpaan

Fragmen Kedua : Tentang Perjumpaan (2)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline