Lihat ke Halaman Asli

Tidung Dalam Sekam

Diperbarui: 25 Juni 2015   23:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tidung adalah satu dari beberapa kepulauan seribu yang tersebar di teluk Jakarta. Ketenarannya yang sekarang diawali oleh sebuah liputan dari sebuah biro perjalanan bernama ‘Jalan-jalan’ yang kemudian didokumentasikan dalam bentuk artikel di majalah bulanan mereka. Hal itu terjadi kira-kira dua tahun lampau. Kini, semua mata penduduk ibukota, khususnya Jakarta, menoleh kepadanya ketika hari libur tiba. Mereka kabita ingin berlibur di pulau kecil tersebut, disambut oleh penduduk yang ramah, serta berenang diantara terumbu karang sambil dikelilingi ikan-ikan hias yang tadinya hanya bisa dilihat dalam akuarium raksasa di Ancol. Macam memakai susuk, pesona Tidung menebarkan magnet bagi orang banyak, seperti pemandangan pagi ini (2/7/2011) di Muara Angke, ratusan orang memenuhi pelabuhan yang menyediakan kapal menuju Tidung dengan harga yang cukup terjangkau, yaitu sekitar tiga puluh lima ribu rupiah. Saking padatnya, para pelancong berebut untuk mendapatkan tempat di kapal. Panitia perjalanan masing-masing grup akan sibuk bernegosiasi dengan Kapten kapal yang ternyata kadung banyak janji dengan banyak perusahaan hari itu, demi meraup untung yang lebih banyak lagi. Perjalanan Muara Angke-Tidung dengan kapal biasanya membutuhkan waktu sekitar 2,5 jam. Namun hari itu dibutuhkan waktu lebih banyak karena kapal tiba-tiba mogok dan mengeluarkan asap berbau solar. Kapten kapal terlihat panik, para abk sibuk memompa dan mencari masalah pada mesin kapal. Para penumpang kelihatan khawatir dan memegang erat pelampung yang sudah dibagikan sebelum berangkat. Tak lama kemudian, kapal dapat melaju lagi hingga sampai ke dermaga tidung 3 jam kemudian, meleset setengah jam dari biasanya. Para pelancong tak sabar turun. Ada yang cepat-cepat karena ingin ke wc, ada yang muntah-muntah karena mabuk laut, ada yang memang sudah siap untuk melancong. Sebelum memulai petualangan yang biasa ditawarkan, pelancong dipersilahkan beristirahat di rumah penduduk yang biasa dijuluki “homestay”. Ada berbagai macam tipe 'homestay' ada yang berupa satu rumah dengan kamar yang banyak, atau ada yang dibuat macam kontrakan dihiasi dengan halaman dimasing-masing petak.Dulu, warga tidung mungkin belum berpikir untuk mempunyai lebih dari satu rumah, namun kini, rata-rata mereka mempunyai dua rumah, satu untuk keluarga dan satu lagi untuk disewakan. Seiring dengan permintaan, kini rumah-rumah yang disewa rata-rata memiliki pendingin ruangan di setiap kamarnya. Menelusuri jalan menuju penginapan atau homestay, mengingatkan akan gang-gang kecil dekat rumah ketika saya kecil. Tidung yang sederhana, kini berkembang begitu pesat, di kanan kiri bergantung spanduk penyewaan alat snorkeling, serta berjejer-jejer penginapan dengan fasilitas yang disesuaikan dengan kegemaran orang kota; alas tidur dari kasur busa berpegas, televisi, serta pendingin ruangan. Pulau Tidung dapat dicapai dengan sepeda dari ujung ke ujungnya, saya melihat ada bangunan Puskesmas yang kelihatannya masih baru, kantor pemerintahan daerah, sekolah dasar, sekolah menengah pertama, sekolah menengah atas, tempat pemakaman umum dan markas polres. Saya tidak menemukan bank, atm, toko handphone dan elektronik ataupun mini market di sana. Warga harus menyebrang lautan jika ingin menabung, menerima transfer, atau membeli bahan-bahan untuk berjualan seperti mie instant, makanan kecil; kacang, kuaci, dan sukro atau membeli handphone sebagai alat komunikasi dengan berbagai panitia perjalanan yang akan membawa rombongan yang ingin melepas penat di pulau tersebut. Uang berputar dengan cepat di Tidung dua tahun terakhir, perkembangannya terlampau pesat. Warga yang tadinya bercocok tanam, pencari ikan yang merantau hingga luar pulau, kini nyaris semuanya beralih profesi menjadi tur guide, pengusaha penyewaan alat snorkeling, membuka warung makan atau pemilik penginapan, contohnya Halim. Ia adalah tur guide rombongan saya untuk dua hari ini. Umurnya sekitar 25 tahun. Badannya atletis, mata agak menyipit dan berbicara dengan logat yang unik. Macam logat pulau luar Jawa.

Halim sebelumnya berprofesi sebagai pencari ikan bagi sebuah perusahaan penjaring ikan. Tugasnya adalah menggiring ikan untuk masuk ke dalam jaring, jaring akan ia pegang di kedalaman 5 meter, kemudian ditariknya ke atas, hingga semua ikan terkepung. Namun, kini Halim berhenti melakukan pekerjaan itu dan lebih memilih menetap di Tidung untuk menjadi tur guide. Ia bertanggung jawab menjemput tamu di dermaga, mengantar mereka ber-snorkeling di pulau pari, yang jaraknya sekitar 30 menit berkendara dengan kapal nelayan kecil dari pulau Tidung, membakarkan ikan jika tamu meminta acara barbeque pada malam hari, dan menyiapkan sepeda agar tamu dapat menuju jembatan cinta yang tersohor dari penginapan mereka masing-masing. Halim masih bertalian saudara dengan orang yang sering ia panggil Babeh. Babeh adalah pemilik penginapan yang kami tempati, rumah Babeh, terletak persis diseberang penginapan. Rumah yang cukup besar namun gayanya masih sederhana. Babeh adalah sesepuh Tidung, orang yang dituakan dan dihormati oleh para pemuda di sana. Penginapan Babeh terlihat masih baru, dibuat berpetak-petak, satu petak terdiri dari sebuah ruangan yang mirip ruang tamu namun alih-alih diisi sofa dan meja, malah di rentangkan kasur pegas berukuran king, sebuah televisi, sebuah kamar beserta kasur pegas lainnya yang tidak berdaun pintu melainkan hanya ditutup gorden, dan sebuah kamar mandi. Malam itu Tidung disambangi awan Commulus Nimbus yang mengantarkan hujan deras. Babeh menemani tamunya dan bercerita, tentang asal-usul nama jembatan cinta yang pemilihan namanya tak lebih dari sekedar untuk menarik perhatian pelancong, tentang asal usul penduduk Tidung yang ternyata berasal dari Kalimantan, tentang tanaman mangkok yang awalnya tumbuh menghiasi halaman tiap rumah, yang kini sudah dibabat berganti menjadi pagar tetap hal ini memicu Babeh untuk berpikir bahwa Tidung butuh penghijauan kembali, ataupun tentang kesadaran warganya bahwa Tidung memiliki potensi ekonomi pariwisata yang tinggi sehingga mereka menolak tiap investor yang datang untuk membeli tanah mereka. “Lalu setelah dua tahun ini, apa yang berubah dari Tidung?”, tanya saya. Seorang teman Halim (yang saya lupa namanya) ikut dalam obrolan santai ini, ia kebetulan juga kerabat Babeh. Ia kemudian menjawab pertanyaan saya. “Perubahan paling besar terjadi pada warga, terutama masalah sosial, persaingan bisinis yang tumbuh, bikin kita jadi ber blok-blok, kalau kumpul, kita gak pernah bener-bener nyatu, ya semua bakalan balik lagi ngumpul sama blok.nya masing-masing, blok barat sama barat, blok timur sama timur. Kalau misalnya blok barat ngadain selametan, blok timur gak pengen bantuin diriin tenda, dulu mah enggak kayak gitu…”, ujarnya. Hujan masih mengguyur Tidung ketika saya masuk untuk tidur dan berlanjut dengan gerimis kecil keesokan paginya. Matahari pun diselimuti dengan kabut sehingga ia tidak menampakkan diri di balik awan seperti biasanya. Tukang bangunan sibuk membangun rumah disana-sini Tidung. Warung gorengan, nasi uduk, mi rebus, diserbu pelancong yang kelaparan mencari sarapan. Pagi itu semua orang menuju pantai dengan sepeda, bettor (becak motor), atau berjalan kaki, menikmati hari terakhir mereka sebelum pulang kembali ke kota Jakarta. Ombak menjilat-jilat pasir di tepian, sebagian mengantarkan tumpukan sampah plastik yang mengambang. Dalam dua tahun Tidung telah berubah banyak, dan berbagai permasalahan kini mengancam Tidung, mulai dari lingkungan hingga persaingan antar warga. Oh, Tidung berada dalam sekam…

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline