Lihat ke Halaman Asli

Hingga Tidak Sadar Kita Sama

Diperbarui: 11 April 2016   18:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="sumber : www.vocaldynamix.com"][/caption]Senja kala tiba. Semua menjadi berlembar dua. Ada yang utuh sempurna dan ada yang terbagi-bagi menjadi setengah, dua pertiga atau tak sesampai setengahnya. Warnanya sama. Datar hitam meraba serupa warna bola mataku yang menangkap tingkahmu yang janggal. Jika kuperhatikan, sesungguhnya cahayalah biang keladi yang tak sengaja mempertemukan kita berdua. Aku membutuhkan cahaya untuk menangkap responmu dan seketika membutuhkan kegelapan untuk menggapai lirihmu. Teman, harus kuakui kau sungguh unik.

 

Pintu selaput mataku mulai mengunci rapat-rapat menandakan bahwa aku sedang berdiam diri di celah-celah rimbunnya danau dirimu. Mungkin aku sedang berbaik hati kali ini. Kubiarkan dirimu masuk ke surga khayalku sembari mencelotehkan berbagai maklumat hingga amanat yang terus berulang-ulang berirama tak berkesudahan. Memang harus kuakui aku sudah mengetahui niat baikmu untuk selalu mencari solusi. Kadangkala aku berpikir setelah berulangkali bernegoisasi, ada baiknya menelan mentah-mentah ucapan yang keluar begitu saja dari mulutku. Namun, kadang ilusimu yang lebih ‘mengena’ untuk beberapa kasus. Ya, kadang aku yang juara dan tak jarang kamu yang jumawa. Dan seringkali perseteruan antara kau dan aku harus ditengahi oleh pihak ketiga, yang merupakan kolaborasi antara kita berdua. Satu menjadi dua lalu terbagi lagi menjadi tiga. Dan hal tersebut menorehkan daftar kerumitan yang baru. Pusingkah? Berdamailah denganku, teman.

[Aku merasa aliran keringat melambat jatuh dari ujung kening yang mulai berkerut, menua untuk memburu nafas yang sejumput]

Aku seperti melewati waktu tanpa sanggup. Ingin mencoba melewati jalan lain yang tak bersua denganmu. Namun takdir tak menjamah anganku. Walau begitu, berhentilah menghardikku dalam diammu. Aku mulai membencimu, disaat jawabanmu yang tak kumau muncul di etalase prajawabku. Kendati kuncinya tak kuberikan padamu, namun kuasamu untuk menduplikat jelas menohokku.

 

Bukankah sudah kubilang api tidak lagi menjadi sahabat kita. Walau cahaya tak jua menjadi primadona di corat-coret hidup kita. Caramu untuk merayuku sungguh licik dan kau pasti tahu itu semua. Tak mau pergi walau berkali kuhina. Mematung hening saat kumaki dan berdiam diri saat kuusir segera. Kucoba memperdayaimu, berpaling darimu, selingkuh dengan yang lain hingga kuludahi dirimu dengan sempurna.

Mengapa engkau ada dan selalu bersemi untukku. Apa untungnya bagimu? Terlebih bagi diriku? Apakah kau cinta padaku? Apakah kau peduli padaku? Atau, mungkin akulah yang justru mencintai dan peduli padamu? Lebih dari semua perilaku itu.

[Kusegel buliran keringat itu dengan tangan yang memungut kasar tak hiraukan badan]

 

Saat terdiam biasanya kau mengiang. Itulah sebisanya dirimu mendekatiku. Tapi aku tak ingin kau seperti itu. Biarlah keputusanku bulat tak tersentuh. “Sudahlah!” Jawabku padamu. Namun kau diam bila kuberkata-kata dan kembali menyala-nyala ketika kubungkam.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline