Lihat ke Halaman Asli

Uswatun Hasanah

mahasiswa STAI Al-Anwar Sarang

Penerapan Sila Pertama pada Penistaan Agama

Diperbarui: 5 November 2024   15:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Di Indonesia terdapat beberapa penyimpangan sila pertama, di antaranya kasus penistaan agama. Kasus penistaan agama banyak tersebar di beberapa media berita, seperti yang diberitakan oleh CNN Indonesia "Seorang Youtuber yang diduga menghina Nabi Muhammad". 

Menurut setara-institute.org menyatakan bahwa sepanjang 1965-2017 terdapat 97 kasus penistaan agama dan mengutip data dari kominfo detik.com menunjukkan bahwa terdapat peningkatan 30% kasus penistaan agama di media sosial pada tahun 2023.

Penistaan agama adalah salah satu bentuk pelanggaran dalam pancasila sila pertama, yang mengandung unsur pencemaran nama baik pada agama, yang memicu banyak kontroversi antar umat beragama dan menurunnya rasa solidaritas antar agama. Adanya pancasila adalah sebagai pedoman kita sebagai rakyat Indonesia, dan untuk menertibkan bangsa agar tidak adanya penyimpangan-penyimpangan maupun konflik dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

 Pelaku penistaan agama akan dikenakan hukum pidana, sanksi pidana terhadap pelaku penistaan agama  terdapat pada Pasal 4 UU No. 1/PNPS/1945 mengenai pengadaan pasal baru (Pasal 156a) dalam KUHP menyatakan bahwa  pidana penjara selama-lamanya lima tahun diberlakukan bagi siapa saja yang dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama.

Penistaan agama terjadi sebab perilaku yang menjelekkan, maupun menghina suatu agama. Dalam kasus penistaan agama bisa berdampak pada perpecahan umat, dan bangsa Indonesia. Sila pertama "Ketuhanan yang Maha Esa" berkaitan dengan nilai-nilai keagamaan. 

Mengutip dari berkas.dpr.go.id bahwasanya guna memelihara hubungan antara kebebasan beragama dengan ketertiban umum itu, negara melakukan pembatasan terhadap tindakan-tindakan yang dianggap menodai atau menghina agama lain yang dapat memicu konflik dalam kehidupan bermasyarakat. 

Oleh karena itu, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang No.1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun tentang Anti Penodaan Agama. Berdasarkan uraian tersebut, unsur agama dalam kehidupan hukum Indonesia merupakan faktor yang fundamental.

Adanya kebebasan beragama adalah agar tidak adanya keterpaksaan dalam beragama, kebebasan memilih keyakinan masing-masing. Warga Indonesia diberi kebebasan berpendapat dan menyampaikan pemikirannya kepada semua orang. 

Namun, kebebasan pendapat di sini bukan yang sebebas-bebasnya, yang dimaksud adalah kebebasan yang masih memiliki batasan, aturan dan etika dalam menyampaikan pendapat, seperti tidak adanya unsur menyinggung orang lain atau pihak lain, sehingga tidak menimbulkan kesalahpahaman antar pihak, seperti penistaan agama atau penodaan agama.

Komnas HAM sudah merekomendasikan terhadap DPR dan Pemerintah supaya membuat Standar Norma dan Pengaturan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan. UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengatur perlindungan terhadap kebebasan beragama di Indonesia, yang tercantum dalam Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E, Pasal 28I ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 29 ayat (2). 

Di samping memiliki hak-hak asasi yang harus dilindungi, setiap orang juga mempunyai kewajiban-kewajiban asasi yang harus dilaksanakan, sebagaimana diatur dalam Pasal 28J ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline