Begitu mengetahui ada event giveaway hari ibu ini, tiba-tiba pikiran saya kembali dipenuhi oleh berbagai kilatan kenangan bersama sosok perempuan hebat itu. Ya, ibu saya telah lama tiada sejak hampir 15 tahun yang lalu.
Meskipun tak lagi memiliki sosok ibu di kehidupan nyata, saya tetap bertekad mengikuti event ini. Semata-mata untuk mengenang kembali kehidupannya, mengenang betapa ibu saya adalah sosok wanita tangguh dan mandiri. Seandainya saya menang di event ini, tentu saja hadiah skincare akan saya pergunakan dengan sebaik mungkin. Sama halnya dengan Ibu dahulu sewaktu masih hidup, saya juga seorang ibu yang membutuhkan produk perawatan kecantikan kulit dalam menjalani aktivitas sehari-hari.
Selain sibuk sebagai penyunting naskah, admin media sosial, dan penulis, kegiatan saya di luar rumah juga cukup banyak. Berkutat dengan urusan tiga anak yang masih sekolah membuat saya harus mondar-mandir dari rumah ke sekolah mereka. Saya juga harus mengantar jemput mereka ketika ada berbagai kegiatan ekstrakurikuler. Tentu saja, kulit saya harus terlindungi dari paparan sinar matahari dan polusi karena saya harus mengendarai sepeda motor untuk melakukan semua kegiatan tersebut. Belum lagi saat harus menghadiri berbagai kegiatan sosial yang juga dilakukan di luar rumah. Sungguh, perlindungan untuk kulit sangat saya butuhkan. Apalagi, cuaca di Yogyakarta (tempat saya tinggal sekarang) cukup panas dengan polutan udara yang cukup tinggi pula.
Mengenang kembali tentang almarhumah Ibu. Dahulu, Ibu cukup peduli dengan perawatan kulitnya meskipun hanya menggunakan produk andalan berupa krim sejenis alas bedak yang dijual bebas di pasaran. Sebelum berangkat mencari nafkah, ia selalu mengaplikasikannya di kulit wajah hingga kesan segar pun muncul meskipun harus terbangun dari tidur di pagi buta.
Telah puluhan tahun, sosok wanita tangguh itu menjalani aktivitas berdagang di sebuah pasar tradisional di Kota Lumpia, Semarang. Ibu berdagang berbagai kebutuhan pokok. Dari subuh hingga lewat tengah hari, ia harus berkutat dalam perputaran roda ekonomi untuk membantu Bapak memenuhi kebutuhan keluarga.
Hampir setiap hari, sekitar pukul 3.30 dini hari, Ibu telah terbangun. Sering saya lihat kala itu, ia selalu melaksanakan salat malam sebelum azan Subuh berkumandang. Begitu lama, ia terdiam dalam khusyuknya salat sunah. Saya yakin, ia selalu melangitkan doa terbaik untuk kami anak-anaknya, juga meminta kekuatan dan kesabaran dalam menghadapi berbagai permasalahan hidup. Ibu begitu istikamah, rutin dalam menjalankan ibadah sunah yang satu itu. Ya, istikamah, sesuai namanya, Istiqomah.
Meskipun Ibu hanya lulusan SD, saya begitu bangga akan sosoknya. Ibu bertekad harus bisa menyekolahkan anak-anaknya hingga perguruan tinggi. Terbukti, keempat anaknya berhasil mengenyam pendidikan hingga di bangku perkuliahan. Saya salah satunya. Alhamdulillah. Seandainya Ibu masih ada, ia pasti bangga saat melihat bagaimana kehidupan anak-anaknya sekarang.
Dahulu, tak mudah perjuangan dan perjalanan hidup Ibu. Profesi pedagang tentu telah akrab dengan peristiwa pasang surut perekonomian. Pada tahun-tahun sebelum krisis moneter, kegiatan jual beli di pasar tradisional cukup menggeliat. Namun, saat hantaman badai krisis ekonomi melanda, bisnis kecil ibu saya itu juga harus terkena imbasnya. Jumlah para pembeli surut, ditambah banyaknya para pedagang baru yang muncul dan lebih memilih menggelar dagangan mereka di tepi trotoar pasar. Sehingga, kondisi di dalam pasar pun akhirnya sepi pembeli. Kebanyakan, mereka beralih membeli dagangan sejenis yang dijual di luar pasar tersebut. Namun, dengan kondisi yang demikian, beruntung, Ibu tetap mampu bertahan. Rezeki tetap mengalir meskipun mengalami penurunan.
Karena kebutuhan makin meningkat, termasuk menyekolahkan anak-anak, ibu dan bapak saya sempat terjerat utang di beberapa bank dengan bunga riba yang tak main-main. Kondisi sulit itu berlangsung cukup lama. Gali lubang tutup lubang harus dilakukan demi bisa bertahan hidup.
Alhamdulillah, karena pertolongan Allah Yang Maha Kuasa, orang tua saya akhirnya mampu terlepas dari kubangan riba tersebut. Beberapa aset terpaksa harus dijual untuk melunasi utang yang mencapai puluhan juta rupiah itu.
Sungguh, masih terasa sesak saat teringat masa-masa suram waktu itu. Sebagai anak, saya kerap menjadi tempat curahan hati Ibu. Begitu sedih hati ini saat menatap matanya yang berkaca-kaca tatkala ia berkeluh kesah tentang beratnya beban hidup yang ia pikul. Ibu harus menjadi tulang punggung keluarga setelah Bapak terkena pemutusan hubungan kerja oleh perusahaan tempatnya bekerja. Ah, saat menulis tulisan ini pun, mata saya tak mampu membendung air mata yang memaksa turun.