Seorang psikolog atau psikiater itu… menurut saya harus pernah merasakan kesulitan dalam hidupnya. Why? Karena ia akan menjadi tempat orang-orang mencurahkan masalahnya. Bagaimana kita bisa mengerti apa yang dirasakan klien ketika kita sendiri bahkan tidak pernah merasakan kesulitan, tidak tahu bagaimana rasanya kecewa, susah, gagal dan lainnya? Hal-hal seperti itu tidak bisa kita pelajari dari buku-buku tebal penuh teori.
Jika kita mengatakan sesuatu yang tidak pernah kita rasakan, maka ruh dalam perkataan kita akan kering dan klien tidak akan menangkap simpati kita. Seperti memasang tiang-tiang tinggi di rumah penduduk tanpa aliran listrik. Kabelnya tersambung ke setiap rumah, tapi kita tidak memiliki daya listrik untuk dialirkan. So, untuk apa?
Suatu hari, sorang ibu mambawa anaknya datang kepada Ghandi, dan berkata, “Ghandi, maukah engkau menasehati anak saya ini? Dia mempunyai sebuah penyakit, yang untuk kesembuhannya, dia tidak boleh mengonsumsi garam. Tolong beri nasehat kepadanya untuk tidak makan garam. Saya dan keluarga bahkan dokternya pun sudah berulang kali menasehatinya, namun dia masih tetap makan garam. Saya sudah kehabisan kata-kata, tolonglah saya, siapa tahu dia akan menurutimu.”
Deangan tersenyum dan bersuara lembut, gandi berkata, “Ibu, sekarang saya tidak bisa berkata apa-apa, silakan ibu pulang dan bawa anak ibu ke sini minggu depan.”
“Ghandi,” kata ibu itu, “anak itu di depanmu sekarang, tidak bisakah sekarang kamu menasehatinya?” Gandhi tersenyum seraya menggeleng.
Dengan perasaan campur aduk, ibu itu pulang dan tepat satu minggu kemudian mereka ada di hadapan Gandhi. “Saya sudah menunggu satu minggu,” kata ibu itu kepada Gandhi, “sekarang berikan nasehat itu.” Kemudian Gandhi mendekat dan menasehati anak itu untuk tidak makan garam. Apa yang dikatakan Gandhi tidaklah istimewa, tidak ada sesuatu yang baru, hanya sebuah nasehat yang sederhana, tidak lebih.
Pada saat itu sang ibu merasa sedikit kecewa karena dalam penantiannya satu minggu, dia berharap Gandhi akan melakukan sesuatu yang lebih dari pada kata-kata yang biasa.
Tidak lama kemudian, Gandhi meminta anak dan ibu itu pulang, kali ini perasaan ragu-ragu menyelimuti si ibu, ia tidak yakin akan berhasil. Namun yang terjadi sebaliknya, anaknya berhenti makan garam. Ibunya berpikir mungkin ini hanya akan terjadi satu atau dua hari, tetpi kenyataannya lebih dari itu, anak itu tidak makan garam berhari-hari bahkan berminggu-minggu.
Karena penasaran, sang ibu bertanya pada Gandhi apa yang telah ia lakukan sehingga bisa membuat anaknya mematuhi apa yang Gandhi katakan. Gandhi menjawab, “Pada hari pertama ibu ke sini,saya belum bisa menasehati anak ibu untuk tidak makan garam. Setelah ibu pulang, saya berhenti mengonsumsi garam, sampai kemudian ibu datang lagi, baru saya berbicara untuk tidak makan garam ke anak itu.” (cerita disadur dari buku Happiness Inside, Gobind Vashdev).
Bandingkan dengan cuplikan keseharian mahasiswa psikologi:
Beberapa mahasiswa berdiri di depan fakultas. Menemui bagian kemahasiswaan. Mereka protes, meminta dosennya diganti. Menurut mereka, dosennya tidak enak, sulit memberi nilai, menyulitkan mahasiswa, dan lainnya. Memberi mereka buku pegangan khusus berbahasa inggris dan harus meresumnya, setiap minggu per bab. Sedangkan mahasiswa yang lain berkumpul bercengkrama, saling menceritakan kelas-kelas mereka, “dosen kamu materi ini, siapa?” Tanya salah satu dari mereka. “oh.. itu,loh…”. Jawab yang ditanya. Lalu mereka tertawa, senyum terkulum dengan mata membulat dan bersinar. “kalo dosen itu enak,ya… tugasnya dikit, mudah ngasih nilai lagi. Yang penting kita hadir hehehe…” pernyataannya diiyakan teman-teman di sampingnya. “wah… kalian enak. Dosenku, loh, ini..! bayangkan, kita harus nulis artikel tiap minngu, bikin penelitian, harus gini… harus gitu… ” tiba-tiba ada seorang yang mengeluh. “nggak pa-pa. kamu ambil positifnya saja. Ini pelajaran, lain kali jangan ngambil dosen yang sulit…” ucap yang lainnya.
Atau yang ini:
“Dosen kamu materi ini siapa?”
“Dosen ini…”
“oh… katanya nggak pernah masuk ya? UASnya gimana?”
“Masuk Cuma di awal-awal. Soalnya beliau punya kewajiban yang lain… UASnya ada, mudah,kok” jawabnya dengan sumringah.
Jika kita perlu belajar pada lingkungan, maka nggak usah buku nggak apa-apa, dong. Just study on the circle. We don’t need any book and many theory. It’s not true!!!. Meskipun kita memiliki pikiran sendiri dan belajar dari lingkungan, tidak berarti kita buta teory, guys! Theory adalah hasil pikiran orang-orang dulu yang berdasar pemikiran serta pantauan mereka terhadap lingkungan dan buku-buku akan menjadi dasar pengetahuan kita. Seorang teman pernah berkata:
“tanpa mengutip kalimat dari sebuah buku, siapakah yang akan percaya apa yang kita tulis atau yang kita katakan?”
Kedengarannya tidak fair. Apart from the fact that the writer wrote the book based on his mind! lalu kenapa sesuatu yang benar-benar kita hasilkan dari pikiran sendiri harus mencari atau mendapatkan sedikitnya satu kalimat dukungan dari sebuah buku? Karena pikiran kita masih belum bisa dipercayai 100%. Kita belum S1,loh… ^_^ pesimistik? Entahlah…
Dari sinilah, buku-buku itu bisa menjadi bibit yang tertanam di otak kita, lalu tumbuh dengan disirami rasa ingin tahu, penasaran, ditambah pupuk bacaan yang lain, dan akhirnya akan berbuah suatu pengetahuan yang baru. Mereka (buku-buku) juga bisa menjadi alat dan pendukung kita menyampaikan pikiran kita dan pendapat kita. So, baca buku,yuk…
.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H