Lihat ke Halaman Asli

Berbahagialah, Anakku!

Diperbarui: 17 Juni 2015   09:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Fabiayyi aalaai rabbikumaa tukadz-dzibaan*

Aku masih dalam posisi bersujud sambil berlinang air mata. Menikmati sujud panjangku di sepertiga malam ini. Nikmat sekali rasanya. Kusampaikan segala keluh kesah yang memenuhi pikiran kepada Sang Maha Mendengar. Isak tangisku memenuhi langit-langit kamar. Di akhir munajatku, aku meminta “Wahai Rabbku yang Maha Pemurah, sesungguhnya aku hanyalah hambamu yang sangat lemah. Aku memohon kepadamu, agar Engkau memberiku kekuatan dalam menjalani setiap jengkal kehidupan yang fana ini. Wahai Rabbku, janganlah Engkau biarkan aku hidup seorang diri (tanpa keturunan) dan Engkaulah Ahli waris yang terbaik.”

***

“Astaghfirullah!” Seruku tertahan. Aku bergegas bangkit dari tidur nyenyakku setelah melihat fajar yang malu-malu mulai mengintip di ujung timur sana. Suamiku sepertinya sudah bangun dari tadi. Aku mendengar gemercik air dari dalam kamar mandi. Sepertinya ia sedang wudhu, pikirku. Ah iya. Namaku Siti Aisyah. Aku adalah seorang wanita yang telah dipersunting suamiku sekitar 10 tahun yang lalu. Namanya Abdullah. Ia seorang suami yang sangat menyayangiku. Ia tak pernah sedetikpun meninggalkanku dalam keterpurukan. Sebab, selama 10 tahun itulah aku tak berhasil mengabulkan mimpinya untuk mempunyai seorang anak.

Tak terhitung seberapa sering kami pergi ke dokter untuk konsultasi apa yang sebenarnya terjadi hingga aku tak kunjung hamil. Tak hanya dokter, segala macam pengobatan tradisional bahkan alternatif lain telah kami lakukan. Dan hasilnya nihil. Aku hampir putus asa memikirkannya. Namun, suamiku terus menguatkanku untuk tetap berpasrah diri kepada-Nya. Lagi-lagi, aku bersyukur memilikinya.

Fajar di ufuk timur itu membawa berita..

Pagi itu perutku mual. Sudah beberapa kali pula aku keluar masuk kamar mandi. Suamiku cemas. Ia memijat tengkukku dengan balsem. Kemudian keluar memanggil ibuku yang kebetulan berdampingan rumahnya denganku. “Sepertinya kau hamil, Nduk.” Katanya lembut sambil memijat-mijat kakiku. Cepat-cepat aku menghilangkan prasangka itu. Aku sudah sering mual seperti ini. Periksa ke dokter ternyata hanya masuk angin biasa. Tapi, dalam lubuk hati terdalam, aku mengamini itu.

*

“Selamat Pak. Anda akan segera menjadi ayah.”

Tak sengaja kudengar ucapan selamat dokter itu kepada suamiku. Kupastikan bahwa aku tak salah dengar. Aku melirik suamiku. “Benarkah?” Seaakan mengerti apa yang aku pikirkan, suamiku mengangguk.

Air mataku meleleh saat itu juga. Untaian syukur tak henti kuucapkan. Sekian lama aku menanti kabar bahagia ini. Sungguh buah sabar yang aku harapkan.

*

Fabiayyi aalaai rabbikumaa tukadz-dzibaan

Selepas sholat maghrib, aku mengulang hafalan qur’an bersama suamiku. Awalnya kami bukanlah penghafal qur’an. Namun, kami berjuang bersama-sama mulai dari nol. 5 tahun usia pernikahan kami, kami berhasil menjadi hafidz-hafidzoh bersama-sama.

Aku membuka al-qur’anku. Membacanya sambil mengelus-elus perutku. “Jadilah anak yang sholeh, nak. Anak yang berbakti kepada abi dan umi.” Aku mengelusnya lagi. “Insya Allah, kalau Allah menghendaki, aku ingin menyekolahkan kamu di pesantren, nak. Di pesantren yang santrinya tiada henti lantunkan ayat-ayat al-qur’an”. Seakan berdialog dengan calon buah hatiku, aku melanjutkan. “Semoga Allah mengabulkan setiap do’a-do’a kita yaa nak.” Tutupku sambil mengusapkan kedua tangan di wajah. “Amiin.”  Bisikku pelan.

*

Fabiayyi aalaai rabbikumaa tukadz-dzibaan

Memasuki usia 3 bulan, perutku semakin menunjukkan bahwa ada penghuni baru di dalamnya. Perutku semakin buncit, namun masih tak terlalu kentara. Karena usianya baru 3 bulan. Suamiku makin bahagia. Setiap mau mandi pagi, ia bersiul-siul ria sambil membawa handuk di pundaknya. Kadang ia masih sempat-sempatnya menggodaku yang sedang membuat sarapan untuknya. Pun dengan bekerja. Ia mesra mencium keningku tiap kali hendak berangkat kerja.

Aku juga semakin giat berdo’a kepada Tuhanku. Meminta kebaikan untukku dan calon buah hatiku. Setiap hari pula tak pernah absen membacakannya Al-qur’an agar kelak ia tumbuh menjadi anak yang mencintai Al-qur’an. Suamiku tak memperkenankanku memperdengarkan calon buah hatiku ayat-ayat Al-qur’an melalui mp3 dan media lainnya. Suara langsung dari ibunya lebih baik, begitu katanya.

Pagi itu setelah mengantar kepergian suamiku utuk bekerja, aku kembali ke dalam rumah berniat mandi. Tanpa sengaja, aku terjatuh di depan kamar mandi yang basah karena kecipratan air. Aku mengaduh kesakitan. Memanggil-manggil ibu, berharap ia mendengar suaraku. Kemudian aku tak sadarkan diri.

*

Fabiayyi aalaai rabbikumaa tukadz-dzibaan

Perlahan aku membuka mata. Terlihat di mataku adalah yang mengelus tanganku. Wajahnya terlihat sendu. Aku juga melihat ibuku yang mengusap air matanya. Aku masih tak mengerti apa yang terjadi. Aku melihat dokter dan beberapa suster sibuk membersihkan sesuatu. Kemudian aku sedikit demi sedikit sadar. Aku mengusap perutku. Hal yang aku takutkan benar-benar terjadi.

Air mataku mulai menetes, entah apa yang harus kulakukan. Suamiku memlukku haru. Menenangkanku dengan kata-kata yang tak kupedulikan. Hatiku perih menerima kenyataan ini.

Aku terisak memandangnya. Dialah anakku. Terkulai tak berdaya di pangkuan suster. Dialah anakku. Calon anak sholeh yang lebih memilih kembali kepada Tuhannya dari pada hidup di dunia yang fana ini. Dialah anakku. Seseorang yang menyambutku besok dengan gelas-gelas indah di tangannya di surga kelak. Semoga!

*Maka, nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline