Lihat ke Halaman Asli

Jangan Pilih Jokowi Jika Ia Usung Esemka di Jakarta

Diperbarui: 25 Juni 2015   07:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Media massa dan social media sedang ramai mengupas habis hal-hal yang berhubungan dengan pemilihan gubernur dan calon gubernur DKI Jakarta. Sebagai warga Jakarta, tak terkecuali, saya pun terus memantau berita tersebut, termasuk nama-nama yang kelak akan bertarung. Cukup memberi harapan ketika muncul tokoh-tokoh seperti Hidayat Nurwahid, Faisal Basri, dan Joko Widodo beserta pasangannya masing-masing. Dua nama lainnya, ah, sudah jauh-jauh hari saya coret.


Saya galau. Dari ketiga cagub yang saya sebut di atas, justeru duet Jokowi-Ahok-lah yang diam-diam paling saya kagumi. Saya membayangkan sejuta masalah yang dimiliki ibukota ini, satu per satu bisa teratasi. Tak harus semua, minimal perihal kemacetan dan moda transportasi massal. Tapi inilah yang membuat saya galau: Jokowi sesumbar akan mensukseskan Esemka di Jakarta.


Lalu saya berpikir, mungkin sebaiknya jangan pilih Jokowi jadi Gubernur DKI Jakarta jika dalam kampanye ia berkoar soal Asemka. Mengapa?

(1) Harga Esemka dibandrol tak lebih dari seratus juta rupiah. Jika mobil ini dipasarkan massal di Jakarta, mungkin akan menarik banyak pembeli. Bayangkan berapa banyak lagi mobil yang akan memadati jalan-jalan di Jakarta? Harapan banyak warga agar pemimpin baru bisa mengatasi kemacetan malah akan buyar dengan kepentingan Jokowi untuk membesarkan industri anak sekolahan ini. Bukan saya tak bangga dengan karya anak SMK, tapi pertimbangkan dampaknya.

(2) Jika Esemka dijual dengan harga 80 jutaan, tebak siapa yang akan membeli? Masyarakat dari kelas bawah atau menengah bawah. Ini yang patut dikuatirkan. Seringkali jika masyarakat dari kelompok ini mengkonsumsi produk-produk yang identik dengan kelas social menengah atas atau atas, bukan karena mereka butuh. Mereka menjadi social climber, ingin mencitrakan diri masuk kelas social di atasnya namun pada kenyataannya, mereka belum layak, baik dari segi pendapatan, pekerjaan, maupun pendidikan. Dampaknya, jalan raya akan dipenuhi orang-orang yang mengendarai Asemka bukan untuk sesuatu yang penting, namun untuk hal remeh temeh yang tujuannya hanya untuk pamer diri. Dampak lain, soal parkir. Kelompok ini tak mendesain rumah mereka dengan garasi karena tentu saja, ketika membangun rumah mereka tak terpikir akan memiliki mobil. Buntutnya, mereka akan 'mengandangkan' Esemka idaman di sebagian badan jalan di depan rumah mereka yang tentunya akan menyusahkan pengguna jalan lainnya.

(3) Dampak lingkungan dari industri otomotif. Jangan kira membuat mobil itu sekedar mengelas bagian logam satu dengan lainnya, dan merakit satu suku cadang dengan lainnya. Ada proses panjang yang rumit yang pada setiap tahapnya ada kemungkinan pencemaran lingkungan jika tidak ditangani dengan baik. Misalnya debu dan cairan kimia dari sisa pengecatan.


Jika hanya membuat satu-dua mobil mungkin tak akan terasa, namun jika jumlahnya sudah menyentuh angka ratusan, ribuan, bagaimana? Sekitar tahun 2002, saya menulis thesis tentang kebijakan lingkungan dua perusahaan otomotif: Toyota Astra Motor dan General Motors Indonesia. Dari data yang saya dapatkan, saya berani bilang bahwa isu lingkungan bukan bukan urusan sepele dalam industry otomotif. Kedua perusahaan ini berinvestasi besar untuk bisa mengendalikan limbah yang diakibatkan oleh seluruh proses pembuatan mobil. Saya ragu apakah pembuat Esemka juga memperhitungkan dampak lingkungan seperti ini? Saya cenderung setuju jika pembuatan mobil dalam jumlah besar sebaiknya tetap diserahkan pada industri yang sudah mapan saja.


Mudah-mudahan Jokowi dan pasangannya bisa menjanjikan program-program yang bisa membawa Jakarta keluar dari masalah, bukan justeru menjerumuskan. Tanpa mengusung Asemka pun, saya percaya kedua tokoh ini masih bisa menarik pemilih dari berbagai kalangan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline