Lihat ke Halaman Asli

Ustadzi Hamzah

Penggiat studi agama, peminat isu sosial-keagamaan, golek dalan supaya ndalan

Hati-hati di Era Normal Baru, Mari Belajar dari Korsel

Diperbarui: 30 Mei 2020   12:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kemarin tanggal 29 Mei 2020 Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Korea Selatan (Korsel) mengumumkan diberlakukannya kembali pembatasan sosial mulai tanggal 29 Mei – 14 Juni 2020 setelah sebelumnya diberlakukan relaksasi yang dimulai tanggal 6 Mei 2020 (jpnn.com, 30/5/2020). Menurut berita itu, pembatasan kembali diberlakukan karena muncul-muncul klaster baru penyebaran Covid-19.

Kita tahu sebelumnya, Korsel berhasil mengendalikan penyebaran Covid-19 sehingga diberlakukan relaksasi sehingga banyak warga merasa wabah “telah berakhir” dan mereka beraktivitas seperti semula, mengunjungi mall, ke restoran, ke tempat hiburan malam, ke tempat wisata, dan lainnya. Baru tiga pekan sejak tanggal 6 Mei 2020 penyebaran Covid-19 muncul kembali sehingga diberlakukan pembatasan kembali. Waktu tiga pekan ternyata waktu yang pendek untuk menciptakan kembali klaster penyebaran Covid-19.

Melihat kenyataan ini, kita patut berhati-hati untuk “menyambut” era Normal Baru yang sebentar lagi akan diberlakukan. Kemarin saja, 29 Mei 2020, Kompas.com menurunkan berita bahwa di beberapa wilayah akan diberlakukan era Normal Baru. Ya, kita hormati kebijakan ini karena pasti telah dilakukan kajian yang matang sebelumnya. Namun, kita juga perlu bertanya, apakah di sebagian wilayah di Korsel (Seoul dan sekitarnya termasuk distrik Itaewon dan Bucheon) ketika diberlakukan relaksasi tidak ada kajian yang matang juga? Kita tidak tahu, tetapi asumsinya mungkinkah negara sekelas Korsel tidak melakukan kajian sebelum ada relaksasi?

Apa pun kenyataannya, era Normal Baru akan diberlakukan. Harapan kita semua akan baik-baik saja. Akan tetapi sikap hati-hati dan waspada sangat diperlukan.

Kalau kita perhatikan penjelasan-penjelasan para ahli, misalnya Jane F. Mackworth dalam bukunya Vigilance and Habituation (1968), kewaspadaan merupakan sebuah sikap dan tindakan konsentrasi berkelanjutan dan merupakan hasil kerja “otak” dalam merespon kondisi-kondisi stimulus/rangsang dari luar yang mungkin terjadi pada waktu yang tidak diketahui sebelumnya.

Kalau dalam jangka waktu tertentu kita mengalami habituasi/pembiasaan untuk berdampingan dengan kondisi yang sama dari waktu ke waktu, kewaspadaan akan menurun. Dalam kondisi seperti ini, kewaspadaan akan muncul kembali ketika ada stimulus baru yang mengancam kita.

Nah, kita sekarang ini mengalami sebuah kondisi mental yang “terbiasakan” oleh kondisi. Pada saat kita di rumah saja dalam jangka waktu tertentu, kita merasa bahwa di luar tidak ada ancaman, sehingga ketika nanti era Normal Baru diberlakukan, dorongan untuk mengunjungi tempat-tempat yang mungkin terdapat benih-benih wabah akan sangat tinggi. Dalam situasi seperti ini kewaspadaan akan menurun. Baru setelah muncul penularan baru Covid-19 kewaspadaan akan muncul kembali, dan kita akan tergopoh-gopoh menghadapinya kembali.

Apakah kita harus menunggu adanya klaster penularan Covid-19 baru muncul kewaspadaan lagi? Dan, kita akan taat lagi pada anjuran #dirumahsaja? Jawaban tentu kembali kepada kita masing-masing, karena kondisi masing-masing juga berbeda. Namun yang pasti, kita sejatinya memiliki kemampuan untuk mengantisipasi setiap hal yang akan terjadi yang tidak diketahui sebelumnya. Belajar dari kasus di Korsel, kita memiliki banyak kesempatan untuk berpikir dalam bersikap dan bertindak ketika nanti era Normal Baru diberlakukan.

Mungkin kita akan mendengar ucapan, “wah itu kan karena sikap paranoid saja, kalau era Normal Baru diberlakukan kita akan taat protokol kesehatan, sehingga kita bisa melakukan aktivitas di luar dengan leluasa”.

Ya betul, ada protokol kesehatan, akan tetapi teori “habituasi/pembiasaan” akan mengujinya. Pada saat kita berada di luar dengan melakukan protokol kesehatan dengan tertib secara terus menerus kemungkinan penurunan kewaspadaan akan muncul karena merasa tidak ada kasus penularan berarti. Dalam kondisi seperti inilah “kelemahan kita” itu berada.

Kasus di Korsel menjadi pelajaran berharga bagi kita. Kecil kemungkinan warga Korsel tidak tertib protokol kesehatan. Tetapi, nyatanya terjadi lagi ledakan penyebaran wabah sehingga pembatasan-pembatasan diberlakukan kembali.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline