Lihat ke Halaman Asli

Ustadzi Hamzah

Penggiat studi agama, peminat isu sosial-keagamaan, golek dalan supaya ndalan

Ujung Kita Tidak Berujung

Diperbarui: 25 Mei 2020   11:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sudah menjadi tradisi kita setelah melaksanakan sholat Idul Fitri bersilaturahmi dan saling berkunjung ke rumah sanak saudara. Tidak hanya sebatas berkunjung ke sanak saudara, dalam tradisi di kampung kunjungan dilakukan kepada keluarga besar kampung terutama yang lebih tua usianya atau orang yang dihormati. Tradisi ini lazim disebut dengan istilah ujung. Sementara itu, tradisi merayakan ujung secara komunal, bersama-sama, disebut syawalan atau halal bihalal.

Tradisi ini menjadi bagian inti dari lèbaran. Lèbar merupakan istilah dalam bahasa Jawa untuk menggambarkan suatu kondisi “setelah atau selesai” melaksanakan sesuatu. 

Dalam penggunaan sehari-hari biasanya disingkat penyebutannya dengan istilah bar misalnya kata bar adus (setelah mandi), bar turu (setelah tidur), bar mangan (setelah makan). Untuk menyatakan “setelah berpuasa” digunakan istilah lèbar poso yang dirayakan sebagai “hari raya” Idul Fitri. 

Nah, istilah lèbar poso akhirnya mengalami penyederhanaan penyebutan menjadi lèbar, dan suasana perayaan lèbar dilafalkan dengan istilah lèbaran. Akhirnya kata lèbaran menjadi istilah baku dalam Bahasa Indonesia yakni “Lebaran”.

Sebagaimana pelaksanaan ibadah Ramadhan dan sholat Idul Fitri yang dilakukan di rumah masing-masing, acara lebaran juga demikian. 

Untung zaman ini kita terbantu dengan kemajuan teknologi. Kita bisa berlebaran melalui video calling lewat aplikasi-aplikasi di laptop atau smartphone yang bisa langsung terhubung ke banyak saudara di tempat yang berbeda-beda. Kita tidak bisa ke mana-mana karena seluruh akses di beberapa kampung ditutup total, namun kita bisa terhubung ke mana-mana.

Lebaran identik dengan kemeriahan, keramaian, dan suasana suka cita sambil berkumpul bersama sanak saudara, bercengkrama, dan ngobrol santai sambil menikmati kacang telur, tape ketan, madumongso, semar mesem, dan tentu makanan khas lebaran lain seperti rempeyek kacang.

Kali ini, suasana itu tidak ada. Seumur-umur suasana ini baru kita rasakan pada lebaran tahun ini. Kadang kita merasa sendiri dan sunyi berhadapan dengan suasana seperti ini. Namun, kita saling menguatkan dan saling mendoakan semoga suasana wabah ini segera berakhir. 

Kita pun kadang berpikir apa yang kita lakukan dalam kesendirian dan kesunyian ini. Suntuk dan bosan menjadi keseharian kita. Namun, apa iya tidak ada sesuatu di balik suasana “kesendirian” ini?

Dalam buku yang berjudul Solitude: A Return to The Self (1989), Anthony Storr menjelaskan bahwa kesendirian merupakan pangkal spiritualitas dan kreativitas. 

Dengan mengutip seorang sejarawan Inggris, Edward Gibbon, Anthony Storr memulai penjelasan buku ini dengan menuliskan kutipan “Conversation enriches the understanding, but solitude is the school of genius; and the uniformity of a work denotes the hand of a single artist.” (percakapan [pergaulan] memperkaya pemahaman, namun kesendirian merupakan kejeniusan; dan sejumlah karya [besar] merupakan karya dari seorang sendirian).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline