Lihat ke Halaman Asli

Ironi Joko Widodo dan Pendukungnya

Diperbarui: 25 Juni 2015   00:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Anda pernah membaca buku Joko Widodo yang berjudul Jokowi : Politik Tanpa Pencitraan karangan Ajianto Dwi Nugroho, Bimo Nugroho? Saya sempat membacanya beberapa waktu lalu. Sayang karena harganya Rp 60.000 saya tak sanggup membelinya. Maklum untuk ukuran harga buku, banderol harga tersebut cukup mahal.

Tapi saya sedikit banyak membaca beberapa bab buku tersebut. Bukunya cukup bagus dan memang harus diakui bahwa Joko Widodo memberikan banyak contoh kepada elit-elit politik bagaimana caranya menjadi pemimpin yang benar. Hanya saja contoh tersebut sepertinya memang ditujukan untuk kalangan dan jabatan tertentu saja, tapi lebih luas lagi kepada siapa saja yang ingin menjadikan diri mereka manusia berkualitas.

Dengan kualitas seperti itu maka sangatlah wajar jika banyak orang “mencintai” Joko Widodo. Ketika dia ikut dalam pencalonan Gubernur DKI Jakarta tahun ini, dukungan pun meluas. Banyak orang sukarela memberikan support agar perjalanan Joko Widodo menjadi Gubernur DKI Jakarta mulus seperti mulusnya jalan tol. Ini dibuktikan dengan kemenangan yang menyakinkan di putaran pertama Pilkada DKI Jakarta.

Berbeda dengan putaran pertama, di putaran kedua persaingan menjadi lebih serius. Di sinilah hal baru terjadi. Pendukung Joko Widodo mulai menyadari bahwa pesaing Joko Widodo menjadi Gubernur DKI 1 adalah seorang incumbent yang perlu digerogoti pengaruhnya. Seorang gubernur yang memiliki visi dan misi yang lebih jelas dan terprogram. Namun kalah popularitas karena sikapnya yang dituduh arogan dan elitis.

Segala cara pun dilakukan untuk mereduksi figur sang lawan. Di sinilah sifat asli dari para pendukung Joko Widodo lebih terlihat. Permainan simbol-simbol pun dilakukan. Orang-orang yang memberikan dukungan pun dihujat. Ada yang disebut gerakan nasi bungkus hingga melecehkan ulama. Padahal, seperti mereka, para pendukung sang lawan pun perlu memberikan dukungan yang nyata. Baik lewat internet maupun tindakan ke lapangan.

Salah satu hal yang paling menyedihkan adalah penggunaan simbol yang sangat negatif. Misalkan adalah simbol G20S DKI. Apa yang Anda ingat simbol yang berupa singkatan tersebut? Pasti Anda akan mengingatnya pada singkatan G30S PKI alias Gerakan 30 September PKI. Gerakan kudeta yang dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia pada tahun 1965 untuk menjatuhkan Presiden Soekarno.

G20S DKI sendiri berusaha memunculkan kesan bahwa pada tanggal 20 September seluruh masyarakat DKI Jakarta harus bergerak bersama untuk menjatuhkan pimpinan DKI Jakarta saat ini yakni Fauzi Bowo dari tampuk kekuasaannya. Sebenarnya menginginkan Fauzi Bowo tidak lagi menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta adalah hal yang sah-sah saja. Tapi apakah perlu permainan simbol tersebut justru mencederai perasaan masyarakat Indonesia saat ini yang sangat rentan dengan hal-hal seperti Partai Komunis Indonesia.

Mungkin banyak pendukung Joko Widodo yang tidak merasakan era 1960-1970 an dimana situasi politik sangat tidak stabil. Kondisi perekonomian morat-marit. Mereka hanya merasakan soal 1960-1970 an hanya lewat buku-buku sejarah dan tayangan film G30S PKI yang sempat ada di televisi. Hingga mereka dengan entengnya menggunakan singkatan-singkatan tersebut hanya untuk kepentingan politik sesaat dan tertentu.

Ketidakwajaran juga dilakukan dalam melakukan rekayasa gambar? Sopan santun politik yang selama ini selalu jadi andalan Joko Widodo ternyata tidak menular kepada pendukungnya. Rekayasa tersebut dilakukan dengan cara yang berlebihan. Ratusan gambar rekayasa soal Fauzi Bowo beredar di banyak orang lewat layanan BBM hingga internet. Tidak hanya soal itu, dalam mendukung juga terjadi sangat berlebihan. Sampai-sampai mantan Presiden Soeharto gambarnya direkayasa untuk mendukung Joko Widodo.

Dukungan berlebihan juga terjadi hingga pelecehan karya seni. Tanpa mereka sadari, tidak ada satu pun hal orisinil yang dilakukan oleh pendukung Joko Widodo.Termasuk ketika mereka menjiplak lagu One Direction berjudul What Makes You Beautiful. Banyak yang tidak menyadari bahwa hal ini adalah pencederaan terhadap karya seni yang saat ini justru jadi isu internasional.

Ketidakwajaran pendukung Joko Widodo pun terjadi saat mereka ramai-ramai menghujat ulama. Salah satu yang paling baru adalah kasus Ustad Yusuf Mansyur yang dihujat ketika berbicara soal pemimpin yang amanah. Kecurigaan yang tinggi, paranoid dan kebencian yang berlebihan dilayangkan kepada Ustad Yusuf Mansyur yang hanya ingin mengutarakan pendapatnya saja.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline