Lihat ke Halaman Asli

Usman Manor

Analis Sumber Sejarah

Yamin, sang Pemimpin

Diperbarui: 17 Juni 2015   10:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

(Kisah, penokohan, dan sifat-sifat yang terdapat dalam cerita ini hanyalah fiktif belaka. Penulis bermaksud menggambarkan suasana pemuda pada masa pergerakan nasional dengan semangat anti kolonialisme. Selamat membaca!)

Matahari masih malu-malu untuk keluar dari peraduannya. Selepas ibadah solat Subuh, Yamin bergegas berangkat dari rumahnya di kawasan Meester Cornelis (Jatinegara). Dengan sekuat tenaga, ia kayuh sepeda ontel pemberian dari Kwee Thiam Hong, sahabatnya sejak masih bersekolah di MULO (Meer Uitgebreide Lagere Onderwijs). Ia melewati kawasan elit Menteng menuju Gondangdia dan berhenti sejenak di depan Gedung N.V. Bouwploeg. Ia memandang kantor biro Arsitek tersebut. “Kalo tidak ada gedung ini, mungkin tidak ada juga kawasan Gondangdia, tidak ada rumah elit di Menteng, dan pastinya tidak ada si iblis Adriaan Jacobus yang seenaknya membangun kawasan elit di saat rakyat tengah kelaparan.” ucap Yamin dalam hati.

Sesaat kemudian dari pintu gedung tersebut, keluarlah pria tinggi dengan hidung mancung dan berpakaian putih-putih bersama dua orang ajudannya. “Ini dia, Pieter Adriaan Jacobus. Si iblis. Akan aku beri pelajaran si londo ini,” gumamnya. Yamin kemudian mengambil batu, tidak jauh dari posisinya berdiri. Ia kayuh sepedanya mendekati Adriaan dan melemparnya dengan batu tersebut. “Mampus kau Adriaan. Darah yg mengalir di pelipismu itu tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan bangsaku yang sudah bersimbah darah demi memperkaya setan-setan seperti kau!” teriak Yamin dengan nada kasar sesaat setelah melempar batu seraya mempercepat laju sepedanya. Ajudan Adriaan berusaha mengejar Yamin, namun langsung dicegah oleh Adriian. “Biarkan pemuda itu pergi, dia tidak tahu kalau Ik (saya)yang membangun kota ini menjadi lebih bagus dari sekedar tempat kumuh.”

Yamin masih mengayuh sepedanya hingga kawasan Waterlooplein. Di depan Wilhelmina Park, ia melihat Johana Victoria, gadis pujaan hatinya yang berasal dari Belanda. Johana menggunakan gaun berwarna putih dengan dipadukan topi putih. “Makin cantik saja dia. Andai dirinya bukan keturunan kompeni, sudah aku jadikan sebagai istri,” gumamnya dalam hati. Saking terkagum-kagum melihat Johana, Yamin tidak sadar bahwa di depannya terdapat pohon beringin. Akhirnya ia pun menabrak pohon beringin tersebut. Daerah Waterlooplein merupakan wilayah yang sangat rindang dengan banyak ditumbuhi oleh pohon-pohon besar, salah satunya adalah pohon beringin.

“Ha ha ha Yamin Yamin! Begitu cantiknya kah Johana bagimu sampai-sampai kau tidak melihat pohon beringin besar di depanmu?” ucap Sugondo sambil tertawa. “Ah kau ini bisa saja. Bukan menolong teman, malah tertawa terbahak-bahak. Kau enak sudah dapat Soekowati. Gadis yang anggun, namun semangatnya meledak-ledak. Dengan semangatnya yang meledak-ledak itu, aku curiga jangan-jangan kau kewalahan meredamnya. Atau jangan-jangan kau ini golongan suami dibawah ketiak istri. Bukan begitu, Mas Gondo? Hahahahaha,” ucap Yamin meledek Sugondo yang notabene adalah seniornya. Sugondo merupakan ketua Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI). “Gini-gini aku masih cinta produk lokal. Daripada kau, Padang bengkok tapi ­sok-sok menaruh hati pada gadis Belanda. Apa bedanya kau dengan si ceking Kartosuwiryo yang diam-diam menyukai Sarah Antoine. Tampang saja kampungan, tapi berlagak borjuis,” kata pemuda berkumis tipis dan mengenakan kemeja putih itu.

“Aku dengar kau menyebut nama Kartosuwiryo. Mengapa nama Ik dibawa-bawa? Asal Jij (kamu) tahu, pemuda bernama Kartosuwiryo tidak pernah gagal untuk mendapatkan cinta dari seorang gadis. Memangnya kau, Gondo. Tidak dapat Dewi, kau dekati Sundari. Tapi gagal maning gagal maning. Jij masih beruntung Soekowati mau menjadi istri Jij. Aku yakin Soekowati menerima lamaran kau dulu karena kau pasang tampang melas. Hahahaha,” kata Kartosuwiryo sambil menghampiri Yamin dan Sugondo. “Kalian memang ya. Kalo sudah saling melecehkan, pasti kalian menang. Seandainya kalian dapat melecehkan kompeni-kompeni tengik itu dan memulangkannya ke Belanda. Pasti kita tidak mungkin sesulit ini untuk bertemu. Apalagi hari ini adalah hari Minggu. Seharusnya aku istirahat layaknya tuan-tuan tanah itu. Aku pun heran, saat ini kompeni-kompeni sialan itu menjadi sangat represif pada kita,” ungkap Sugondo.

“Hal itu wajar, Mas. Pemberontakan PKI di Banten dan Silungkang tahun 1926 yang menjadi biang keladi semua ini. Mereka terlalu gegabah melakukan tindakan yang justru merugikan kita. Sudah saatnya perjuangan kedaerahan kita singkirkan. "Wir mussen unser eigenes Schicksal Bestimmen. Wir sollten keinen kolonialismus warden. Jugend mussen verschieben (kita harus menentukan nasib bangsa kita sendiri. Kita tidak boleh dijajah. Pemuda harus bergerak)!" kata Yamin dengan nada tegas sambil berjalan menuju Gedung Katholieke Jongenlingen Bond bersama dengan Sugondo dan Kartosuwiryo. “Oalah Uda Yamin ini seperti sedang berbicara di forum internasional saja. Yang tadi itu, opo artine toh? Wis pake bahasa Madiun biar aku ngertos,” kata Kartosuwiryo. “Nah ini, kau hanya mengerti bahasa perasaan. Makanya jangan terlalu banyak memikirkan perempuan”. Belum selesai Yamin berbicara, tiba-tiba terdengar suara seorang laki-laki sambil mengumpat dengan kasar. “Iya, si ceking kurus keringini telah merebut pujaan hatiku. Dasar kompeni ireng kau. Nama kau tidak mencerminkan kelakuan kau yang seperti kompeni-kompeni busuk. Ah tidak, kau lebih dari kompeni busuk,” ucap laki-laki yang bernama Kasman Singodimejo tersebut seraya melotot.

“Jaga mulut kau. Apa gunanya kau ikut kepanduan Muhammadiyah kalau mulut kau seperti orang tidak sekolah. Kau mau bukti kejantanan? Aku tau sekarang. Kau mau dibilang jantan dengan mengeluarkan sumpah serapah itu? Tetap saja kau hanyalah seorang penyuka sesama. Makanya Sarah lebih memilihku dibandingkan kau yang bukan lelaki tulen,” umpat Kartosuwiryo sambil menatap tajam dan menarik kerah baju Kasman. “Hei sudah sudah. Kalian ini seperti anak kecil. Kalau kalian bertengkar karena wanita, bagaimana dengan nasib bangsa ini? Schon lange waren wir unter Kolonialherrschaft von Niederlande. Wir mussen das Leben ohne die Kolonisierung haben (kita sudah lama dijajah Belanda. Kita harus terbebas dari penjajah). Bagaimana bisa terbebas dari Belanda kalau kalian masih bertengkar? Tidak ada gunanya kita datang kesini untuk mengikrarkan kesatuan pemuda. Tu n’as pas realise? (apa kalian tidak sadar?)” kata Yamin dengan tegas.

“Permisi, maaf saya Johannes Leimena dari Jong Ambon dan ini sahabat saya Amir Sjarifuddin dari Jong Bataks Bond. Kami berdua bermaksud menjemput saudara-saudara atas perintah dari Djoko Marsaid. Menurutnya, gedung ini telah diketahui oleh pemerintah Hindia Belanda untuk dijadikan sebagai tempat Kongres Pemuda. Atas inisiatif dari Djoko, tempat Kongres Pemuda dipindahkan ke gedung Indonesische Clubgebouw di daerah Kramat, tidak jauh dari sini. Mari saudara-saudara sekalian saya antar menuju mobil,” kata Leimena dengan ramah. “Mas Gondo silahkan duluan saja. Saya mau berbicara dulu dengan Karto dan Kasman,” bisik Yamin pada Sugondo. “Baik, jangan terlalu lama. Aku tidak ingin sifat kekanak-kanakan mereka berdua justru memperlambat kita untuk bersatu merebut kemerdekaan,” tegas Sugondo.

“Ah yang benar saja si Djoko itu. Dia pikir dari Waterlooplein ke Kramat dekat. Kemarin dia bilang padaku tempat Kongres cadangan ada di Weltrevreden. Mau dia apa sih?” gerutu Kasman. “Sudahlah, kau seperti anak ingusan yang tiap detik mengeluh dan merengek. Pantas saja Sarah lebih memilih diriku yang jelas-jelas sudah dewasa dalam berpikir dan bertindak,” ledek Kartosuwiryo. “Hei ceking, aku tidak berbicara dengan kau,” umpat Kasman. “Mau sampai kapan kalian bertengkar wahai kompeni ireng dan ceking kurus kering? Kau tidak malu dengan Belanda yang telah lama menginjak-injak kita? 1905 nen ni Nihon wa Roshia o makashita (tahun 1905 Jepang sudah mengalahkan Rusia). Sementara kita? Sampai saat ini kita belum bisa terbebas dari Belanda, apalagi mengalahkan Belanda. Apa kalian mau terus bertengkar? On a ete occupe par les neerlandais depuis longtemps. Tu as compris ce que je t’ai dit (Belanda telah lama menjajah kita. Apa kalian mengerti yang aku maksud?)" tegas Yamin pada Kartosuwiryo dan Kasman. Mereka menunduk mendengar kemarahan dari Yamin. “Aku tidak mau tahu, kalian ke Kramat berdua dan aku mau lihat nanti sesampainya di Kramat kalian sudah berdamai. Kalau kalian tidak mau, aku akan mencoret nama kalian berdua sebagai anggota Kongres. Nama kalian justru dikenang sebagai cacatan hitam oleh anak cucu bangsa ini,” ancam Yamin.

“Baik Uda Yamin. Saya dan orang ini akan pergi berdua ke Kramat. Tapi kami mohon izin untuk meminjam sepeda ontel milikmu,” ucap Kartosuwiryo memelas. Tanpa berbicara, Yamin meninggalkan Kasman dan Kartosuwiryo menuju mobil untuk menyusul Sugondo, Leimena, dan Amir. “Lama sekali Uda Yamin. Ada masalah apa ya?” Tanya Amir pada Leimena. “Aku tidak tahu pasti. Yang aku tahu Yamin adalah seorang pemikir ulung, ahli diplomasi, pandai berbicara di depan forum, dan fasih berbicara beberapa bahasa. Aku dengar dari Djoko kalau Yamin adalah orang yang tidak bisa meninggalkan masalah begitu saja,” jawab Leimena. “Maaf Ik telah membuat kalian menunggu lama. Ayo kita berangkat sebelum matahari semakin meninggi,” ajak Yamin. “Tunggu, jangan jalan dulu. Tunggu aku!” kata seorang laki-laki sambil berteriak. Leimena melihat di spion mobil sedan Mercedes Benz produksi tahun 1925 itu. “Supratman, Wage Rudolf Supratman,” kata Leimena. “Apa benar itu Supratman? Dia benar-benar menepati janjinya. Membawa secarik kertas berisi lagu penyemangat dan biola. Dia menepati janjinya, Yamin,” kata Sugondo pada Yamin dengan wajah sumringah.

“Aku tadi ke Weltrevreden. Aku tunggu lama, namun tidak ada orang yang datang. Ternyata Jij semua di sini. Kalian mau ke mana? Apa aku telat?” kata Supratman. “Cepat naik, Bung. Kita akan berangkat ke Kramat. Di sana kita akan rumuskan penyatuan hati dan pikiran pemuda demi kemerdekaan bangsa,” kata Yamin dengan semangat. “Ternyata aku belum terlambat. Aku sudah buatkan lagu penyemangat yang aku bilang tempo hari. Ini kalian bisa baca. Aku juga membawa biola kesayanganku. Cepat jalan Leimena. Aku tidak sabar untuk membawakan lagu ini di tengah Kongres. Merdeka!” ucap Supratman tidak kalah semangat. Mobil sedan itu segera melaju menuju Kramat. Sementara itu, Kasman dan Kartosuwiryo berjalan menuju sepeda ontel Yamin yang diparkir dibawah pohon beringin. Namun demikian, mereka masih saling diam seperti tidak ada tanda-tanda akan berdamai.

“Aku tidak mau berdamai dengan kau, ceking. Tetapi aku sadar persatuan diperlukan di atas segala-galanya saat ini. Maafkan aku, ceking!” kata Kasman. “Akhirnya kau sadar juga, kompeni ireng! Aku juga minta maaf. Tidak seharusnya aku menghina dan menghardikmu. Aku ingin nama kau, kompeni ireng, dan aku, ceking, dikenang oleh anak-cucu kita sebagai pemersatu bangsa bukan pemecah belah pemuda” kata Kartosuwiryo pada Kasman sambil mengambil sepeda ontel. “Ayo cepat naik, aku tidak sabar untuk hadir dalam Kongres” ajak Kartosuwiryo dengan semangat. Mereka berdua akhirnya berdamai dan berboncengan naik sepeda menuju Kramat. Namun, di tengah jalan Kartosuwiryo menghentikan laju sepedanya. “Ada apa, ceking? Apa aku terlalu berat? Sini biar aku yang memboncengmu,” kata Kasman. “Nein (tidak), bukan karena itu. Aku lupa nama tempat Kongres itu apa,” jawab Kartosuwiryo. “Makanya jangan kebanyakan main perempuan jadinya perempuan saja yang kau ingat. Hahahaha!” ledek Kasman. “Kau masih ingin bertengkar denganku, ya? Apa gunanya tadi kita berdamai?” kata Kartosuwiryo dengan nada emosi. “Aku bercanda, ceking. Kau ini dikit-dikit emosi, emosi kok dikit-dikit? Nama tempatnya itu Indonesische Clubgebouw. Kalau dari sini ada di kanan jalan,” kata Kasman sedikit meledek Kartosuwiryo. “Nah tinggal jawab gitu aja kan selesai perkara. Ini jawabanmu ngalor ngidul. Pantas saja,” Belum selesai Kartosuwiryo berbicara, Kasman langsung memotong percakapan. “Pantas saja apanya? Kau mau meledekku lagi? Dasar ceking. Cepat jalan!” perintah Kasman.

Yamin, Sugondo, Leimena, Amir, dan Supratman sampai lebih dahulu dibandingkan dengan Kasman dan Kartosuwiryo. Mereka disambut oleh Kwee Thiam Hong, John Lauw Tjoan Hok, Oey Kay Siang dan Tjoi Djien Kwie di depan gerbang. “Waduh, kok yang menyambut kita orang-orang yang masih merem ya. Sudah siang gini mereka masih tidur,” kata Leimena sambil tertawa. “Kau ini bisa saja. Mana ada anak pendek dan ingusan yang belum lulus HIS (Hollands Inlands School) di sini. Sana pulang bantu mamak ambil air di sumur,” kata Kwee Thiam Hong meledek Leimena dengan logat Ambon. “Ayo ayo silahkan masuk. Mas Ramelan sedang memberikan paparan tentang gerakan kepanduan. Seharusnya pemaparan ini dijelaskan oleh Kasman karena dialah yang mengerti gerakan kepanduan dan telah lama berkecimpung di kepanduan Muhammadiyah. Tadi Mas Djoko dan Sunario sudah menjelaskan tentang Nasionalisme dan Demokrasi,” kata Oey Kay Siang.

“Selamat datang kami ucapkan pada Bung Yamin, Bung Sugondo, Bung Leimena, Bung Amir, dan Bung Supratman. Mohon maaf pemaparan saya teruskan. Gerakan kepanduan sangat penting. Kita dapat mencontoh gerakan kepanduan dari Uni Soviet. Dari sinilah akan dilahirkan pemuda bermental baja yang tidak takut pada Belanda. My dolzhny svobodnym ot Golandakix kolonizatorov. Ne bojtes’ belyx lyudej (Kita harus terbebas dari penjajah Belanda. Jangan takut dengan orang-orang kulit putih),” kata Ramelan memaparkan. “Maaf saya potong. Saya setuju dengan Bung Ramelan. Kepanduan merupakan salah satu sarana pemersatu demi terbebas dari penjajah yang membelenggu. Schon lange waren wir unter Kolonialherrschaft von Niederlande. Wir mussen das Leben ohne die Kolonisierung haben! (Kita sudah lama dijajah Belanda. Kita harus terbebas dari penjajah),” kata Yamin. Sambil mendengarkan penjelasan dari Ramelan, Yamin mengambil secarik kertas dan pulpen dari dalam sakunya. Dia kemudian menuliskan sesuatu.

“Aduh pelan-pelan ceking. Kau mau membuatku malu?” kata Kasman pada Kartosuwiryo sesaat setelah mereka terjatuh di depan pintu masuk. Sontak saja para pemuda yang hadir di Kongres tertawa melihat kelakuan mereka. “Maaf maaf, si ceking memang selalu membuat malu” kata Kasman dengan wajah yang memerah seraya membenarkan kemejanya. “Kalian ini selalu saja membuat keributan. Tetapi kalau tidak ada kalian, suasana Kongres pasti sepi,” kata Ramelan. “Baik, pemaparan saya cukupkan sampai di sini. Apa ada tambahan dari hadirin sekalian?” tanya Ramelan. “Pemaparan anda terkesan Uni Soviet sentris. Dari Kongres pertama kemarin aku pun melihat masih ada antek-antek kompeni di Kongres yang katanya akan menyatukan pemuda. Apa gunanya kita semua mulai dari Jong Java, Jong Batak, Jong, Celebes, Jong Sumatranen Bond, Jong Islamieten Bond, hingga Jong Ambon berkumpul kalau masih meniru gaya-gaya Barat? Kita tirukan saja apa yang dilakukan oleh Nabi Muhammad dalam menyatukan umat, buat apa mengikuti orang-orang Barat, orang-orang Nasrani, dan orang-orang kafir?” kata Djohan Muhammad Tjai dari Jong Islamieten Bond.

“Jangan sok suci dengan menyebut Nasrani dan kafir. Jij pikir kami tidak mengerti ajaran Ketuhanan? Jij pikir kami tidak mau bersatu? Jangan sembarangan kalau berbicara wahai pemuda Islam” kata Leimena dengan nada emosi. “Kau tidak terima dengan pernyataan dari Bung Djohan? Memang benar, bangsa ini kan mayoritas Islam. Jadi, harus dijalankan sesuai dengan konsep Islam,” kata Muhammad Roem. “Aku tidak masalah apabila dijalankan sesuai dengan konsep Islam. Hal yang aku permasalahkan adalah ucapan Nasrani dan kafir. Tidak semua orang Nasrani adalah orang kafir. Apa mau kalau aku katakan bahwa Islam adalah orang kafir?” kata Leimena tidak mau kalah. “Jangan sembarangan bicara kau anak ingusan. Jangan mentang-mentang dirimu adalah seorang dokter lulusan STOVIA. Islam bukan kafir dan Islam selalu benar,” kata Adnan Kapau Gani dengan emosi. “Kalau begitu, bagaimana dengan agamaku, apakah aku juga kafir? Kalau aku kafir, apa aku tidak berhak untuk menjadi bagian dari bangsa ini?” tanya Tjoi Djien Kwie. Seluruh peserta Kongres terdiam.

“Kita dipersatukan atas dasar rasa kecintaan. Kita menjadi suatu bangsa didasari atas rasa senasib dan sepenanggungan. Singkirkan dahulu agama dan budaya, tetapi meleburlah atas dasar rasa cinta, cinta tanah air. Aku yakin semua agama mencintai perdamaian dan persatuan. Nederland heeft voor een lange tijd gekoloniseerd. We moeten koloniseren (Belanda sudah lama menjajah kita. Kita harus merdeka). Untuk merdeka, kita harus bersatu sampai akhirnya kita memiliki pilihan, Vrij (merdeka) atau Overleden (mati),” ungkap Yamin dengan tegas. Sejenak suasana Kongres yang memanas menjadi reda. Para peserta Kongres mulai sadar bahwa sifat kedaerahan, fanatisme kesukuan, dan agama-sentris harus ditinggalkan. Tiba-tiba Supratman memainkan biolanya. Seluruh pemuda yang hadir dibuat terkagum-kagum oleh alunan biola dari Wage Rudolf Supratman. “Lagu ini aku beri judul Indonesia Raya. Lagu ini yang aku janjikan tempo hari pada kalian. Semoga kelak lagu ini dapat menjadi penyemangat bagi kita dan bagi bangsa kita,” ucap Supratman terharu. Tanpa komando, seluruh peserta Kongres berteriak, Merdeka! Merdeka! Merdeka!

Sugondo kemudian menaiki mimbar. “Aku diberikan amanat oleh Yamin untuk membacakan sumpah ini. Aku terkagum-kagum dengan bahasa yang Yamin gunakan, padahal dia hanya menggunakan secarik kertas untuk menuangkan ide dengan waktu yang relatif singkat. Inilah puncak dari upaya kita untuk menyatukan semangat, visi, dan misi. Dengarkanlah sumpah ini dan ikuti bersama-sama wahai saudara-saudaraku.

Sumpah Pemuda

1.Kami Poetera dan Poeteri Indonesia, Mengakoe Bertoempah Darah Jang Satoe, Tanah Indonesia. (Kami Putra dan Putri Indonesia, Mengaku Bertumpah Darah Yang Satu, Tanah Indonesia).

2.Kami Poetera dan Poeteri Indonesia, Mengakoe Berbangsa Jang Satoe, Bangsa Indonesia. (Kami Putra dan Putri Indonesia, Mengaku Berbangsa Yang Satu, Bangsa Indonesia).

3.Kami Poetera dan Poeteri Indonesia, Mendjoendjoeng Bahasa Persatoean, Bahasa Indonesia. (Kami Putra dan Putri Indonesia, Menjunjung Bahasa Persatuan, Bahasa Indonesia).

Namun, perjuangan kita belum selesai. Ini adalah awal dari perjuangan kita, Merdeka!” kata Sugondo seraya mengeluarkan air mata haru.

Kongres Pemuda tersebut kemudian ditutup oleh doa yang dibacakan oleh Yamin. Seluruh peserta Kongres sadar bahwa perjuangan mereka harus didasari atas persatuan bukan perpecahan. Setelah bersalaman dengan seluruh peserta Kongres, Yamin kemudian mengambil sepeda ontelnya. Hari sudah semakin sore. Dia bergegas untuk pulang. Yamin meyakini bahwa semua hal yang dilakukannya akan berhasil kelak. Sambil mengayuh pedal sepedanya melintasi Salemba, Yamin melihat matahari yang akan kembali keperaduannya. “Bangsaku akan mengembalikan kau ke asalmu, kompeni jalang! Sudah saatnya bangsaku menentukan sendiri nasibnya. Kehadiranmu disini tidak diharapkan, Tuhan pun tidak rela jika kau terus menerus menginjak-injak bangsaku. Aku yakin itu,” kata Yamin dalam hati.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline