Lampu pijar lima watt dengan sinar temaramnya masih bertahan meskipun malam telah larut. Mak Angkrih masih terbungkuk di atas pola kayu anyaman tudung yang sejak lama menjadi alat bantu pekerjaannya. Jari-jarinya terus bergerak lincah menganyam rangka tudung lapis atas. Matanya yang kian kurang awas sesekali memokus untuk memastikan kerapian hasil anyamnya. Rangka lapis atas lebar bilah anyamannya sekira dua mili dan lebar rangka lapis bawah sekira setengah sentimeter. Sepasang rangka itulah yang lebih dikenal dengan sebutan rangkai.
Pada tudung yang siap pakai, di antara rangka anyaman halus dan rangka anyaman kasar dilapisi kertas semen atau kertas prada emas dan daun bambu. Pengerjaannya dilakukan di atas pola dengan ukuran sama oleh pihak tengkulak. Pihak tengkulak pulalah yang kemudian memasarkannya. Hal itu telah berlangsung puluhan tahun. Fungsinya untuk melindungi diri dari terpa panas matahari dan hujan. Biasanya tudung dipakai oleh mereka yang bekerja di kebun, ladang atau sawah.
Kerja lembur untuk mengejar target dilakukan Mak Angkrih jika kondisi kesehatannya memungkinkan. Kali ini dia ingin menggenapi jumlah hasil pekerjaannya sebelum tengkulak datang memborongnya.
Agus terbangun dari tidurnya.
“Tidurlah Nek, sudah larut malam.”.
“Tanggung. Mau ngapain Gus?” Mak Angkrih tetap fokus pada pekerjaannya.
“Wudu.”
“Memangnya belum salat Isya?”
“Tahajud Nek.”
“Ya, doakan ibu-bapakmu.”