Oleh Usman D.Ganggang*)
Secercah memori kisah dalam rajutan cinta bersamamu kembali aku angkat, senja ini. Berawal dari aku kembali melakukan napak tilas setelah tiba di Pondok Bambu yang sejak pagi hingga siang, mentari datang terus terang benderang. Hingar- bingar Jakarta terasa tak terdengar.Padahal , biasanya, untuk menuju Taman Mini Indonesia Indah (TMII) memakan waktu cukup lama karena hambatan lalulintas begitu ramai.
Dalam perjalanan kali ini, terasa senyap labuhkan sunyi. Seketika aku ingat kau, saat kita bersama. Satu-satunya yang aku catat tingkahmu, adalah angkuh. Tampak angkuh, tapi itulah gayamu! Aku tahu betul. Sejak hidup bersama, caramu berkomunikasi, sudah aku catat dalam hati. Dan aku pun tahu jika perhatianku, engkau pun tahu betul. Aku ingat, saat aku bertelpon, tentang persediaan uangmu jelang akhir bulan. "Abah, masih ada uang, nanti dikabarkan kalau persediaan keuanganku habis", jawabmu dari seberang.
Meski demikian, aku tak tega. Begitu ada uang, langsung dikirim ke alamatnya, meski jumlah sedikit. "Aku tak mau jika kamu sampai pinjam kepada sesama temanmu" batinku. Pengirimannya pun tanpa diberitahu, karena nomor rekening sudah dicatat dalam buku harian yang kusimpan baik di dalam tas. Entahlah apakah dia tahu atau tidak, yang jelas rutin dikirim tanpa menunggu akhir bulan.
Ketika rindu jumpa memuncak, selalulah aku berkunjung ke kosnya. "Dia berpura-pura tanya,"Siapa?" dari dalam kosnya. Padahal, suaraku sudah memanggilnya, terlebih dahulu. "Angkuh adalah gayamu", batinku ketika bertemu wajah. "Ah, ternyata Abah datang!"sambutnya ketika pintu kosnya terbuka.
Ketika duduk di samping tempat tidur, kuperhatikan gayanya. Dia miringkan sedikit tubuhnya ke dinding. Lalu mengangkat dagunya, memastikan ceritaku dari kampung. "Gaya angkuhnya sudah mulai!" batinku sebelum meneruskan percakapan terkait kisah perjalananku dari kampung yang memakan waktu lebih kurang tiga hari bersama bus.
Rupanya, dia tahu kalau aku tak mau duluan untuk bercakap. Karena itu, dia berpura sibuk ambil uang dari dompetnya untuk beli white coffy dan kue ala Betawi. Dia tahu kesukaanku dari dulu.Iya dia tahu betul dunhill kesukaanku sejak bersama di Timor.
"Abah masih rokok Dunhil?" tanya sambil menuju pintu.
"Masihlah!" Jawabku singkat mencoba membalas gaya angkuhnya
"Tunggu dululah!"
"Apalagi, Abah?"