Teman saya Asmu’i Syarkowi dalam artikelnya berjudul MENCERMATI MARAKNYA PEREDARAN MIRAS DI DI NEGERI INI, menyatakan bahaya miras {minuman keras} dapat menyebabkan kehilangan akal. Bagaimanapun kata dia, kita semua tahu akibat mabuk orang dapat berbicara dan berbuat di luar kontrol. Bentuk pembicaraan akibat mabuk, sangat mungkin tidak saja berupa omelan kosong. Akan tetapi sangat mungkin juga berupa hujatan, cemoohan kelompok tertentu, seperti menyangkut persoalan SARA.
Apa yang dikatakan Asmui yang pernah bertugas sebagai Hakim Pengadilan Agama Atambua; juga sebagai Anggota Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia ( MUI ) Belu. Itu, benar adanya, sudah banyak buktinya di lapangan. Masih segar diingatan kita, yaitu kurang lebih belasan tahun silam di Jakarta seorang Brigadir Jenderal Tampubolon (Kopassus ) ‘mati sia-sia’ di tangan para pemabok yang kebetulan mangkal di jalanan. Belum lagi berita lain, yang pernh kit abaca lewat berbagai media, banyak suami istri harus bercerai lantaran miras yang diteguk sang suami.
Beberapa contoh tersebut, kiranya cukup memberikan ilustrasi bahwa di tengah-tengah masyarakat yang multi etnis dan agama seperti beberapa daerah di Indonesia ini, miras sangat pontensial meletupkan persoalan SARA atau minimal gangguan kamtibmas, khususnya di daerah yang cara pengedarannya sangat longgar. Konon, terjadinya kerusuhan demi kerusuhan di beberapa daerah di tanah air , boleh jadi disebabkan oleh ulah segelintir orang yang mabuk dapat pula memicu timbulnya tragedi serupa.Dengan demikian marakanya peredaraan dan penggunaan miras dewasa ini, di manapun perlu diambil tindakan antisipasi. Persoalannya, siapakah yang mempunyai kompeten menghadapi persoalan tersebut ?.
Teman saya Asmui tadi, menawarkan kepada komponen yang ada. Pertama, para aparat baik aparat keamanan maupun aparat pemerintah. diharapkan melakukan kiat-kiat untuk segera menyikapi fenomena maraknya peredaran miras tersebut. Pemerintah daerah dan aparat keamanan sudah waktunya mengadakan perang melawan miras. Yang tentu perlu didukung oleh seperangkap aturan hukum sebagai pijakan. Adanya sanksi yang tegas bagi para pelanggar sangat penting sebab tanpa hal tersebut suatu aturan hukum tidak akan efektif.
Kedua, peran para tokoh agama juga tidak bisa diabaikan. Pemberian pesan-pesan moral dari para tokoh agama tentang dampak negatif miras, kiranya lebih dapat menyentuh hati ummatnya. Selebihnya, sebagai faktor ketiga, adalah kesadaran hukum masyarakat sendiri. Dengan kesadaran terhadap dampak yang ditimbulkan, diharapkan masyarakat tidak mengedarkan dan atau mengkonsumsi minuman beralkohol ini.
Harapan kita sebagai anak bangsa ini, tidak lain dari adanya suasana kedamaian hidup dan kesejehteraan di wilayah yang sama-sama kita cintai ini. Siapa pun ujar Sdr Asmui, akan sepakat bahwa terhadap sesuatu yang sama-sama kita khawatirkan terjadi, ada baiknya dilakukan tindakan pencegahan. “Bukankah ada pepatah : prevention is better than curation ( pencegahan lebih baik dari pada pengobatan)”, tanbah Asmui. Harapan kita semua agar peredaran miras ini segera dapat diatasi.***)
Catatan,Terimaksih Bung Asmu’i Syarkowi, Posisimu di mana sekarang? Moga aja Anda senantiasa sehat walafiat,