Lihat ke Halaman Asli

Usman D. Ganggang

Dosen dan penulis

Persuasif Jangan Sampai Diabaikan

Diperbarui: 24 Februari 2016   21:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Bersama kawanku dari Jakarta"]
[/caption]Di awal tulisan ini, kami sebagai rakyat kecil, di wilayahmu, tidak lupa titip salam sekaligus proficiat atas pelantikanmu belum lama ini. Tidak ada kado yang berharga mahal yang mau kami kirimkan ke alamatmu, kecuali selembar dua coretan atau catatan kecil sebagai kado atas pelantikanmu menjadi pemimpin yang tidak saja disenangi tapi juga disayangi rakyatmu. Intinya dalam pribadimu melekat pemimpin yang beramanah .

Nah, ketika Anda sudah dilantik, harapan kami, secepatnya mengamati, menanyakan, menggali, mengasosisi serta mengomunikasikan hasilnya. Iya, mengapa tidak? Berbagai persoalan yang dihadapi negeri ini, termasuk di negeri yang engkau pimpin, jika dicermati dengan cermat, maka akan tampak begitu banyak bopeng yang kian melekat di wilayahmu. Kian hari, kian carut-marut saja. Seperti beragam persoalan yang dihadapi. Di sana, ada masalah: politik, sosial, budaya, dan sejumlah persoalan lainnya, senantiasa melilit ke seantero nagarimu. Tentu saja, munculnya persoalan tersebut, bukan tanpa penyebab. Artinya pasti ada hubungan kausalitas, sehingga terjadinya persoalan. Permasalahan krusial tersebut jangan sampai disimpan dijadikan jimat. Tentu, diperlukan pencarian solusi jitu serta tuntas penyelesaiaannya.

Kalau dicermati akar persoalannya, tentu tidak jauh-jauh amat. Berkisar dan berakar dari rasa ketidakpuasan. Rakyat terlalu lama dibohongi dengan janji-janji palsu. Ironisnya, ketika rakyat menagih janji tersebut dengan cara berunjuk rasa, pihakmu, kerapkali menggunakan pendekatan refresif untuk meredam tuntutan rakyat yang secara emosional menuntut rasa ketidakadilan yang dihadapinya.Mengapa bukan berawal dari pendekatan persuasif? Lupakah kemujarafan dari pendekatan persuasif tersebut?

Pada pihak lain, sebenarnya rakyat juga harus memahami tugas dan tanggung jawab pemerintah yang cukup berat itu, sayangnya rakyat juga gegabah meminta penanganan masalah dengan akurat dan tepat waktu. Akibatnya, jika pemerintah menyimpang sedikit dari prosedur saja maka dengan serta merta rakyat tidak segan-segan melakukan unjuk rasa sebagai ungkapan rasa tidak ketidakpuasannya.

Lebih parah lagi, kalau ada pihak-pihak lain memprovokasi guna mempertajam masalah dengan tujuan memecah belah. Sungguh! Benar ungkapan yang diungkapkan teman saya, hidup di zaman edan sekarang ini harus berhati-hati, jika tidak ingin dianggap provokator. Soalnya, banyak orang pintar bertingkah laku seperti orang bodoh. Karena itu, kata dia, kita harus belajar banyak dari pengalaman. “Bukankah pengalaman merupakan guru yang baik?” komentanya sembari menambahkan,”Pintar tidak identik dengan cerdas. “Iya, keduanya, sinonim akan tetapi tidak sama maknanya, karena reaksi semantiknya tidak sama”, sambungku dalam suatu percakapan menjelang senja tiba.

Kembali ke pokok persoalan. Kata teman saya, hanya orang cerdaslah yang mampu memecahkan masalah. Intinya, semua pihak , baik langsung maupun tidak, senantiasa berusaha menangani masalah dengan kepala dingin meski hati boleh panas. Maka tepatlah kiranya, dalam memecahkan masalah , diperlukan pola pendekatan secara persuasif dalam meredam berbagai gejolak yang timbul di tengah masyarakat. Bukan malah sebaliknya ditangani dengan represif dan arogan lantaran yang berkuasa adalah pihaknya.

Saya teringat pada waktu kecil, seorang Ketua RT selalu mengharapkan kerja sama dalam memecahkan masalah, ya selalu berembuq, musyawarah dalam mengambil mufakat. Lalu kalau ada kerja gotong royong, dia selalu berkata” Mari kita kerja!”,Dan dengan serta merta rakyat datang bekerja. Nah, sekarang, yang ada, “E… kamu pergi kerja”. Mengapa bukan dengan” Mari kita kerja”, meski Ketua RT tidak kerja. Reaksi makna kata “mari” itu berdampak posisitf, karena rakyat disapa “mari kita kerja”. Bandingkan, dengan “ e… kamu pergi kerja gotong royong”

Dalam era globalisasi dewasa ini seyogianya, mengambil keputusan dengan memperhatikan sekaligus menempatkan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi atau golongan. Tapi tentu saja kepetingan diri sendiri dan golongan jangan lalu dianaktrikan atau diabaikan. Ini sama sekali salah. Mari kita cermati pemanfaatan kepentingan iu dengan porsinya. Mari kita bulatkan tekad. Mengapa kita lupakan ungkapan leluhur, “ Bersatu kita teguh bercerai kita runtuh?” Tujuannya, agar kita selalu bersatu. Sehingga persoalan yang muncul sebesar apa pun pasti dipecahkan secara bersama.

Kita yakin, masalah yang muncul tidak mungkin ada akibatnya tanpa ada sebabnya. Seperti perang tanding misalnya yang terjadi di bebebrapa daerah termasuk sudah ada di wilayahmu , pasti ada penyebanya. Begitupun kasus unjuk rasa pascapemilukada yang terjadi belakangan ini , dan kasus krusial lainnya pasti ada penyebabnya. Tapi kita selalu berusaha mengahadirkan”dusta di antara kita”. Ya, seperti alur dalam sinetron saja” di antara ada dan tiada”

Ya, bagaimana yang ada itu diangkat ke permukaaan kalau di antara kita ada dusta? Terlepas dari itu semua, tentu kita harus mengatakannya sekaligus mewujudnyatakan keikhlasan itu. Saya teringat teman saya ketika dia menjawab pertanyaan saya dalam suatu komfrensi pers di Malang. “Persoalan yang timbul di negeri ini sebetulnya mudah di atasi, yang terpenting semua pihak harus berkata jujur. Intinya jangan menyembunyikan maksud lalu berkata jujur pdahal salah”. Selanjutnya dia berkomentar, kita sering terlalu lama menyimpan masalah padahal masalah tersebut sangat krusial. “Akibatnya, ketika pihak yang dirugikan mennutut dengan cara kasar, barulah pontang-panting mencari pemecahannya”, dia beri pencerahan.

Pertanyaannya, siapa yang paling tepat untuk memecahkan masalah tersebut? Jawabannya, tidak ada pihak yang lebih penting, selain berkata jujur bukan untuk didengar orang lain, akan tetapi untuk diri sendiri., kalau tidak, sampai kapan pun, kita selalu terlambat mengantisipasi masalah. Ungkapan yang cocok untuk itu , ada ungkapan orang Kempo Manggarai Barat, “Laut n ndaot itu mek perus serente” (= rusanya sudah lewat baru jaringan jeratnya rapat). Artinya selalu terlambat dalam menangani masalah dan tentu saja upaya keras yang dilakukan tidak membuahkan hasilnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline