Lihat ke Halaman Asli

Usman D. Ganggang

Dosen dan penulis

Gara-gara Menulis Potiwolo, Aku di Ujung Tanduk

Diperbarui: 24 Januari 2016   09:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Malam sudah larut. Sementara di luar sepih. Desauh angin tak terdengar lagi siulannya. Padahal di awal malam datang, dia pasang kuda-kuda dengan strategi senyum-senyam dalam mendekati aku. Oh, ke manakah dia pergi? . Ah, kenapa aku pusing tujuh keliling memikirkannya? Bukankah masih ada yang lebih berharga yang aku pikiran? Lagi , si dia-nya, baru datang menjumpai-ku?

Sebentar sepi. Sunyi pun kian merasuki hatiku. Bagaimana tidak? Ketika aku duduk manis, tiba-tiba di luar rumah, kudengar ribut-ribut panjang. Lalu kuiintip lewat-celah-celah dinding kaca nako. Tak kilihat orang-orang ribut itu. Semakin, aku pasang telinga, suara itu, kian mengecil. Sepertinya, orang-orangnya sudah saling kejar. “Ke mana, ya?” batinku.
Kembali, aku duduk sambil minum air putih yang sering disediakan si dia. Rokok kesayanganku, aku nikmati. Eh, tiba-tiba suara ribut itu, kembali menusuk telingaku. Dan aku pun segera ke dinding jendela kaca nako. Kuintip serius. Tapi tak ada seorang pun di sana. Lalu, suara ribut bernada keras barusan , malah hilang. “Sadang bermimpikah aku?’, batinku lagi. Ah, masak aku mimpi, asap rokok yang mengepul itu, kulihat jelas, gelas minuman yang barusan diangkat, masih di atas meja samping kursi dudukku.

Di ujung malam mendekati Subuh itu, sambil menunggu Subuh tiba, aku pun kembali menari di atas kertas. Kutulis sebuah artikel berjudul “Potiwolo Ceritamu Doeloe”. Cerita ini sering diceritkan Pua-ku menjelang tidur. Dan menurut Pua, tidak ada anak seperti kamu ini mau mendengarkannya. Rata-rata mereka takut setelah Pua menceritakannya. Pasalnya, cerita ini,, berkaitan dengan kegiatan Potiwolo yang suka mengganggu manusia.

“Tapi, kamu malah mau mendengarkannya!”
“Siapa takut? Bukankah Pua sering berpesan, ”Jangan pernah takut dalam hidup ini!”
“Kalau kamu masih ingat, apakah kamu tidak takut sama, Pua?” tanya Pua bernada retoris
“Iya, takutlah! Bukankah Pua selalu ber-toing,”Yang perlu kamu takuti hanya dua, pertama orang tuamu, dan kedua adalah Allah SWT yang telah menciptakan kita ini.
“Baguslah kalau begitu!” pujinya.

Poti Wolo itu, kata Pua, adalah makhluk berkaki kuda berwajah garang. Selain itu, Potiwolo itu berbuluh lebat-hitam. Potiwolo adalah makhluk yang sering berurusan dengan perkara mencabut nyawa manusia secara acak.Tapi kamu jangan takut. Ini hanya cerita yang dituturkan leluhur orang Manggarai. Kamu harus percaya Pua, Poti Wolo itu tak ada, hanya dalam cerita saja. Sayangnya, kata Pua selanjutnya, meski cerita Potiwolo hanya fantasi, tokh ternyata hingga kini, sangat berpengaruh terhadap kepercayaan orang Manggarai . Mereka percaya, pada jam-jam tertentu, kita tidak boleh keluar rumah, apalagi pada malam hari, makhluk Potiwolo ini, akan lewat dan bisa mencabut nyawa mnusia yang ditemukannya.

Dan aku pun siap mendengarkan lanjutan ceritanya. Tapi kemudian, Pua bernasihat, “Ingat, kalau meminta aku bercerita terkait Potiwolo, kamu jangan takut!” pinta Pua-ku berulang-ulang dalam membuka ceritanya terkait Potiwolo malam itu. Pasalnya, cerita ini akan mengganggu pikiranmu. Apalgi kamu, pagi – pagi benar sudah di tengah jalan menuju sekolah.
“Siapa takut?” balasku kala itu. Aku percaya diri, “Tidakkah Pua tahu kalau aku pergi ke sekolah harus berangkat sekitar kakor ngolong? Lagi, meski tidak ada kawan yang bersamaku, tokh tetap ke sekolah saban hari”,aku menyakinkan Pua, supaya cerita Potiwolo diceritakan.

“Baiklah, kalau kamu tidak takut, aku ceritakan!” sambung Pua-ku.
Dan jini, cerita itu pun mengalir indah dalam benakku. Semakin malam larut, cerita itu, tak habis kususun. Karena itu, terus aku susun. Dan kini, sudah mencapai, 120 halaman. Ceritanya, belum juga tuntas. Ah, ini, bukan cerita lisan biasa lagi!” raguku pun muncul. Bagaimana tidak? Cerita rakyat yang sering aku angkat, panjangnya, maksimal 6-12 halaman saja. Tapi kini, hingga 120 halaman, ceritanya belum tuntas juga.

Seperti kuduga sebelumnya, aku pasti tidak bisa tidur manakala artikelku belum selesai. Itu pula sebabnya, aku mulai bersama laptop tua-ku. Eh... lagi membuka file, tiba-tiba kembali terdengar ribut-ribut lagi di luar. Dan kali ini, tepat di depan kaca nako rumahku. Kali ini, aku aku tidak mau mengintip lagi. Langsung kubuka pintu,”Siapa....?” terikaku.
Orang-orang itu, sudah di sana, cepat betul mereka lari. Karena jengkel, aku pun kejar mereka. Tanpa peduli, yang penting aku akan kejar. Dengan membawa sepotong kayu yang kuambil dari rumahku, kuangkat-angkat. Tanpa keluar suara, terus kukejar. Dan ketika tiba di sebuah bukit kecil aku pun beteriak,” Kalau berani, ini aku! Kamu hebat apa? Langkahi dulu, mayatku!” teriakku tanpa takut.

Dan suara itu, kembali terdengar. Tapi nada suranya, haem..., memang beda. Yang terlihat di depanku, seekor anjing menggonggong, tapi diikat pemiliknya. Sebetulnya, kupukul anjing itu, tapi tak tega. Karena itu, aku terus berjalan menuruni bukit. Di kaki bukit itu, air jernih mengalir diterpa bintang Subuh. Lantaran jernihnya itu, hausku terobati sudah. Tapi aku terus mendekatinya
Begitu tiba di sungai, tiba-tiba seekor anjing datang tanpa menggonggong, melompat di depanku. Dalam waktu yang singkat, kupukul lehernya hingga jatuh tersungkur. Belum lega rasanya menghadapi anjing tadi, eh, tiba-tiba pemiliknya, datang, dan marah-marah.

”Kenapa Saudara pukul anjingku hingga mati?” bentaknya dengan wajah garang
“Anjingmu, mau menggigit aku!” balasku tanpa rasa takut atas gertakan sambalnya
“Saudara, tidak menyayangi binatang, seenaknya Saudara pukul!” dia mencemooh sembari mengipas-ngipas parangnya di depanku.
“Anjing kau!” kubalas cemoohnya sembari kupukul parangnya hingga terlempar jauh.

Perkelahian pun tak terhindari lagi. Dengan sekali pukul, dia pun terjatuh. “Hai anjing, bangun! Siapa yang tidak menyayangi binatang di antara kita? Siapa?” teriakku seakan dunia runtuh. Nanar aku, dibuatnya, hingga emosiku meninggi setinggi Gunung Mbeliling. Iya, aku menyesal juga, kalau dia mati, aku pun harus berurusan dengan hukum. Aku pasti dihukum, karena tidak ada pihak lain sebagai bukti kebenaranku ceritaku. “Ah, itu hukum dunia!” teriakku sembari menambahkan,”Saudara lupa, hukum telah mati! Kau mau apalagi! Saudara lupa, areal pekuburan sudah tidak di bangun lagi di negeri!” teriakku bertambah keras dan meninggi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline