(Bupati Gusty Dulla, merespons penelitian "Sastra Lisan" di Kab.Manggarai Barat-NTT)
“Setiap masa ada orangnya dan setiap orang ada masanya”. Antara masa dan orangnya itu, selalu saja ada upaya saling mencemooh. “Ah…, kenapa kembali ke masa lalu? Itu kolot, apalagi kalau berusaha menggali sesuatu dari masa lalu itu, hanya menghabiskan waktu dan dana saja!” itulah yang sering kita dengar. Cemoohan itu, memang membuat telinga merah, tetapi apakah kita pasrah? Jawabannya tidak! “Sambil mencari langkah praktisnya, iya ‘ulek’ aja kraeng!” pesan Bupati Manggarai Barat, Drs.Gusty Dula, saat ditemui penulis di rumah jabatannya dekat Bandara Mutiara Komodo Labuanbajo, belum lama ini.Dialog kurang lebih dua jam itu, berikut ini, kami turunkan buat pembaca, siapa tahu, ada manfaatnya.
Setelah pulang dari penelitian sastra lisan, penulis sempat bertamu ke rumahnya bupati Manggarai Barat, Bapak Gusty Dulla, pada malam Rabu, 10 Juni. Selain sangat setuju dengan penelitian sastra lisan, beliau sepakat kalau hasil penelitian ini dibukukan. Beliau mengakui bahwa Manggarai dan khususnya Manggarai Barat, kaya dengan sastra lisan. Dari sastra lisan itu, kata Bupati yang murah senyum ini, banyak nilai yang perlu dipetik oleh masyarakat pendukungnya
Kedterangan gambar: Rombongan Peneliti dari Jakarta diterima secara adat: seekor ayam jantan, langsung diterima oleh Bu Maini Trisna Jayawati(Foto usman d.ganggang)
Bupati Gusty Dulla menilai, masyarakat pendukung sastra lisan ,khususnya di Manggarai Barat, sudah kurang mengakrabinya. Nampak sekali, kalau kita llihat, setelah makan malam, anak-anak lebih nonton TV dan menyelesaikan PR dari sekolahnya. Sementara itu, orangtua karena cape kerja, iya, setelah makan langsung tidur. Sudah tidak ada lagi waktu untuk mendongeng kepada anak-anaknya. Padahal, kalau sediakan sedikit waktu untuk mendongeng, anak-anak akan memperoleh nilai seperti nilai moral,nillai sosial, dan nilai agama, dan lain-lain.
Karena itu, Bupati Gusti berharap agar para penulis cerita rajin menggali sastra lisan yang ada di tengah masyarakat. Kalau dapat dialihkan ke dalam bahasa daerah, selain bahasa Indonesia tentunya. "Kalau sudah dibukukan, tolong disebarkan ke sekolah, dijadikan muatan lokal!"ujarnya, sembari menambah,"Saya dukung kegiatan penelitian sastra lisan itu, bagaimanapun juga banyak di antara sastra lisan itu, sudah tenggelam bersama arus zaman".
berpose bersama Bupati Gusty Dulla: " Kalau dicemooh orang, 'ulek' (telan) saja saja kraeng. (foto usman d.ganggang)
Kalau ada yang mengejek, kenapa harus gali lagi sastra lisan masa lampau itu, tidak usah dihiraukan, biarlah mereka mengatakan kolot, teruslah kita gali nilai-nilai yang termakan arus zaman itu. Di dalam sastra lisan itu, ada mutiara yang tersimpan. "Iya, "ulek" (telan) saja Kraeng, selanjutnya kita cari hal-hal yang membuat mereka tertarik", pesan Bupati Gusty Dulla, sembari menambahkan," Saat ini memang banyak yang menghadirkan, cemoohan, cari maki, fitnahan, dan sejenisnya, membuat telinga kita merah, tapi sebaiknya kita "ulek" saja Kraeng, kita redam emosional kita, jangan sampai terpancing!
i
Keterangan gambar : sebelah kanan dari gambar(foto) Bu Maini Trisna Jayawati, lalu yang duduk di tengah berbusana warna hijau adalah Bu Erli Yetti dan sebelah kananya adalah Mas Nur Akid Prasetyawan.(foto Usman D.Ganggang)
Terkait dengan cemoohan serta fitnahan ini, tidak hanya pada bidang sastra, tetapi juga dalam bidang pemerintahan, sering didengar bahkan dialami sendiri, demikian Bupati Dulla. Tetapi, lanjut Bupati, selain kita "ulek" (telan saja), tentu kita cari langkah praktisnya untuk memecahkan masalah yang hadir tanpa diundang. Iya, di-"ulek" saja, bagaimanapun juga, menurut beliau, budaya(kebudayaan) daerah merupakan identitas daerah ifu sendiri. Tidak usah malu, kebudayaan mempunyai fungsi untuk memperkuat solidaritas sosial, memperkuat identitas bangsa dan daerah. Karena itu, beliau berharap agar sastra lisan yang merupakan bagian dari budaya itu, harus dijaga, dipelihara, dan dilestarikan sehingga nilai-nilai luhur bangsa (daerah) dapat menyambung ke generasi muda.
Keterangan gambar: peneliti bersama penari "Caci" (pecut-memecut) dan tetua adat. (foto usman d.ganggang)