Lihat ke Halaman Asli

TKI Kita Kini

Diperbarui: 11 September 2015   14:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Istilah klasik hubungan tenaga kerja dan majikan adalah saling meng-subordinasi. Artinya adalah salah satu pihak yang menguasai dan mengkontrol pihak lainnya. Khususnya jika masih ada perpedoman kepada nilai kerja yang menjadi acuan bahwa pekerja bekerja untuk menjaga serta menjamin keseinambungan pribadi dan keluarga pekerja sehingga terkesan pada pihak yang tergantung sedangkan majikan menjamin hal tersebut serta membuat aturan main, membayar upah, dan mengharapkan akumulasi modal yang telah dikeluarkan. Bukan rahasia lagi bahwa fenomena tersebut masih menjadi pemandangan umum di beberapa kultur masyarakat. Dampaknya pola-pola yang demikian akan terus terjaga keberlangsungannya. Jika di dalam negeri saja praktik tersebut masih menjadi pemandangan umum dalam hubungan pekerjaan, bagaimana nasib dengan para pekerja kita di luar negeri.

Data menunjukan bahwa permasalahan Tenaga Kerja kita di luar negeri masih berkutat pada lemahnya posisi tawar pekerja kita di luar negeri. Jika ditelisik sampai dengan pertengahan Agustus 2015 masih terdapat 45% pekerja kita yang berangkat ke luar negeri bekerja pada sektor informal. Dikatakan informal karena mereka bekerja bukan pada badan hukum melainkan perorangan, yang secara aturan hukun / perjanjian kerja (biasanya tidak jelas). Ditambah lagi tingkat pendidikan para TKI yang berangkat masih di dominasi oleh TKI berlatar belakang  SMP (38.67%) dan SD (33.68%).

Tidak banyak jenis pekerjaan yang dapat dipilih dengan hamper 60% pekerja kita yang berangkat dengan latar belakang seperti itu. Pilihan pekerjaan pun di dominasi oleh  jenis pekerjaan formal yang terbatas, dari data empat besar pekerjaan terbesar yang diambil oleh pekerja kita di luar negeri adalah (1) Domestic Worker, (2) Caregiver, (3) Plantation Worker, (4) Operator. Keempat jenis pekerjaan tersebut masih tergolong formal, bisa dibayangkan kemana mereka yang tidak bekerja secara formal.

Kasus yang timbul untuk tenaga kerja bermasalah di luar negeri pun dari hari ke hari masih berkutat pada masalah klasik, yaitu (1). Meninggal - 428 kasus, (2). TKI Ingin dipulangkan – 357 kasus, (3). TKI gagal berangkat – 317 kasus, (4). Gaji yang tidak dibayar – 311 kasus. Tentu ini diluar dari kasus-kasus pekerja kita yang divonis hukuman di negera penempatan karena melanggar hukum atau bermasalah secara keimigrasian. Tentu kita akan kalah jika dihadapakan kepada penghormatan kepada kebijakan hukum yang berlaku pada negara penempatan.

Pemerintah sebagai entitas tertinggi menjadi garda untuk melakukan hal-hal preventif demi melindungi TKI mulai dari pra-saat-dan pasca penempatan. Persiapan input pekerja yang berkualitas diimibangi dengan pendidikan dan kompetensi yang baik menjadi solusi efektif, kementerian pendidikan, kementerian tenaga kerja, dan pemerintah daerah harus mengambil porsi ini. Pengembangan skema G to G menjadi solusi instans yang menjanjikan, karena memang (terlepas dengan berbagai kekurangan nya) program G to G tergolong low risk karena berbagai regulasi dan aturan main dibicarakan atas asas menghargai kedaulatan negara masing-masing. Kita tentu bukan mengesampingkan skema penempatan lain (P to P atau mandiri), BNP2TKI dalam hal ini operator penempatan dan perlindungan TKI harus memikirkan hal ini kedepannya, serta menggandeng instansi lain untuk dapat duduk bersama membicarakan nya.

Hal lain nya adalah penguatan kelembagaan di daerah perbatasan. Malaysia, Brunei, dan Singapura masih menjadi sepuluh negara terbesar tujuan penempatan pekerja kita.  Data kepulangan pekerja kita dari luar negeri menunjukan Tanjung Pinang dan Entikong masih menjadi jalan tikus pekerja kita untuk bekerja secara informal. Entikong contohya; per Agustus 2015 dari hampir empat ribu pekerja  yang datang dari negara penempatan hampir 42% nya adalah TKI informal. Artinya penguatan kelembagaan di daerah harus menjadi perhatian pula.

Semoga bermanfaat

Data diolah dari Biro Litfo BNP2TKI.

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline