Mereka berdiri di atas singgasana, bermahkota janji, bertongkat kata, dengan senyum yang penuh pesona, mengaku dewa, mengaku bijaksana.
Namun lihatlah di balik cahaya, bayangannya hitam, tak punya rupa, bukan dewa yang turun dari surga, melainkan siluman, haus kuasa.
Mereka berpidato tentang keadilan, tapi tangan mereka merampas hak, mereka berteriak tentang kebenaran, tapi lidahnya bercabang seribu makna.
Di meja emas mereka berpesta, bergelas anggur, bersulang dusta, sementara di luar, rakyat meratap, perutnya kosong, harapnya lenyap.
Mereka menuntut kita tunduk sujud, menganggap diri sebagai penyelamat, tapi di belakang, mereka bersekutu, dengan angkara yang rakus melumat.
Bukan dewa, bukan suci, hanya siluman yang lihai menari, dengan topeng emas mereka menipu, menyamar, mencuri, lalu lari.
Rakyat menangis, rakyat bertanya, siapa yang benar, siapa yang dusta? Tapi siluman begitu licik, berwajah baru, berganti nama.
Mereka membangun istana megah, bukan dari kerja, bukan dari keringat, melainkan dari janji-janji palsu, dan harapan rakyat yang disayat.
Namun sejarah tak pernah lupa, setiap siluman akan terbuka, karena dusta tak abadi selamanya, hanya kebenaran yang tetap bertahta.
Maka bangkitlah, wahai yang sadar, jangan biarkan kita tertipu, mereka bukan dewa, mereka siluman, dan rakyatlah yang harus bersatu!