Lihat ke Halaman Asli

Rumus Upah Lembur, Tabu!

Diperbarui: 26 Juni 2015   09:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Preposisi

Saatnya gajian adalah saat yang dinanti-nanti, biasanya kita sudah bisa memprediksi besaran upah yang kita terima bulan ini, bagi mereka yang digaji dengan system 'flat' tentu tidaklah sulit memprediksi nilai besaran upahnya, namun banyak juga yang mendapat upah diluar system tersebut.

Besar kecilnya upah yang kita terima setiap bulannya ber-fluktuasi dan biasanya didasarkan atas absensi, kondite kerja dan jumlah jam lembur. Makin tinggi jam lemburnya makin besar pula nilai upahnya.

Manakala upah lembur yang kita terima dari perusahaan tidak sesuai dengan yang diharapkan atau tidak sesuai dengan  kalkulasi kita tentulah kita kecewa.

Banyak hal yang membuat nilai upah lembur itu tidak sesuai dengan harapan kita, antara lain memang karena upah pokok atau upah minimum kita memang kecil, selain itu juga disebabkan karena perusahaan tidak menjalankan rumus perhitungan lembur sebagaimana yang disyaratkan oleh peraturan perundangan. Rumusan perhitungan upah lembur pekerja oleh banyak perusahaan masih dianggap tabu untuk diketahui oleh karyawannya. Ini adalah sebuah strategi perusahaan agar perusahaan leluasa mengutak-atik upah lembur karyawannya dengan tujuan untuk menekan biaya seminimal mungkin.

Ilustrasi

Seperti kebanyakan pekerja lain, dulu saya juga pernah menaruh curiga kepada perusahaan tempat saya bekerja, saya merasa jam lembur saya sudah cukup banyak dan menurut kalkulasi saya, upah yang akan saya terima pada saatnya gajian cukup "signifikan', saya menghitung dengan nilai gaji bulan itu saya bisa membayar utang-utang saya kepada pemilik kontrakan dan berencana membeli sepatu baru.  Namun apa yang terjadi? Kalkulasi saya ternyata meleset dan terpaut cukup jauh, jangankan untuk beli sepatu baru, untuk nutupi utang kepada pemilik kontrakanpun tidak cukup. Sungguh sangat mengecewakan bagi saya saat itu.

Kekecewaan saat itu menuntun saya untuk bertindak, saya segera bertanya kepada pimpinan serikat pekerja saya, lalu saya coba pinjam kepada aktivis serikat pekerja beberapa buku tentang peraturan-peraturan perhitungan upah lalu saya pelajari buku tersebut. Setelah ilmu saya dapat, lalu saya kalkulasikan upah saya sendiri dengan melihat struk gaji yang saya terima bulan tersebut. Dan sayapun berkesimpulan bahwa memang perusahaan telah melakukan kesalahan perhitungan terhadap upah saya. Setelah benar-benar yakin saya segera 'mengetuk' pintu personalia dan bertanya tentang kecilnya upah lembur yang saya terima.

Dengan ilmu dan data yang saya punya, petugas perusahaan pun tak mampu berkelit, seraya menjawab: "O, iya, upah lembur bapak ternyata kurang dan sudah dikoreksi! Nanti kekurangannya akan dirapelkan pada gajian bulan depan'!" ............. Akhirnya, pada bulan berikutnya sisa utang saya pada pemilik kontrakan terbayar juga (walaupun diomeli) selain itu  sepasang sepatu baru akhirnya dapat terbeli!

Tidak cukup disitu, karena upah adalah 'hak' pekerja, saya merasa punya kewajiban moral untuk mentransferkan ilmu yang saya dapat tersebut kepada teman-teman dilingkungan perusahaan dan juga teman-teman dikomunitas pekerja lintas perusahaan. Dan apa yang terjadi? Ternyata mereka juga mempunyai masalah yang sama, merekapun sibuk mengkalkulasi upah lembur nya, alhasil teman-teman dari perusahaan yang sudah benar perhitungannya merespon dengan dingin, namun  banyak juga teman-teman  yang 'terbelalak' melihat kalkulasinya sendiri, teman-teman yang 'terbelalak' ini berasal dari perusahaan yang tidak menjalankan perhitungan upah lembur dengan benar yang mayoritas berasal dari perusahaan garmen dan perusahaan tekstil.

"sharing" pun berlanjut menjadi sebuah diskusi tentang bagaimana menyikapi hal tersebut, artinya bagaimana caranya menegur dan memperingatkan perusahaan agar benar-benar menjalankan rumusan perhitungan upah lembur sesuai aturan. Ada yang merespon dengan berapi-api, siap untuk menegur perusahaanya, tak kenal takut di-PHK,  namun adapula yang 'nrimo' apa adanya saja, tak mampu dan tak mau menegur perusahaanya karena takut berdampak pada dirinya. (takut dianggap provokator, takut di-PHK).

Referensi

Berkembang pesatnya teknologi informasi juga telah membawa dampak kepada kalangan buruh kelas menengah kebawah, rata-rata kini buruh kelas tersebut telah memiliki minimal satu telepon genggam (HP) kalau dulu untuk mengakses internet hanya bisa lewat PC, maka saat ini telepon genggam pun telah dilengkapi fasilitas browsing, dalam kaitan dengan perhitungan upah lembur ini sebagian buruh yang telah melek informasi mencoba mencari tahu sendiri tentang rumusan perhitungan upah lembur tsb lewat browsing di HP.

Mayoritas buruh/pekerja/karyawan yang melakukan browsing dan searching baik itu via HP atau PC adalah mereka yang mencari tahu tentang besaran upah minimum dan tatacara perhitungan lembur, kedua tajuk tersebut menjadi favorit bagi mereka. Ini terbukti pada blog yang saya buat. Postingan tentang rumusan perhitungan upah lembur pada blog saya tersebut meraih peringkat teratas 'most active'  dan paling banyak di klik.

Bagi saya ini adalah sangat wajar mengingat, perumusan perhitungan upah lembur oleh perusahaan masih dianggap tabu/terlarang untuk diketahui karyawan (sebagaimana saya bahas diawal)

Konklusi

Upah lembur yang harus dibayar kepada pekeja adalah sebuah konsekwensi dari tuntutan pekerjaan, entah itu karena dikejar target produksi atau karena tidak sebandingnya jumlah pekerjaan dengan jumlah karyawan di perusahaan tersebut. Manakala surat perintah lembur atau ijin melaksanakan lembur dikeluarkan oleh perusahaan, maka segala dampaknya (upah lembur, makan, transport) harus juga menjadi tanggungjawab penuh perusahaan. Tanggungjawab disini berarti tidak asal dibayar atau seenaknya perusahaan saja, namun juga harus mengacu kepada peraturan perundangan yang berlaku.

Sebagian khalayak berkata bahwa peraturan perundangan dibuat untuk dilaksanakan, namun sebagian lainnya berseloroh bahwa:

"Peraturan perundangan dibuat untuk dilanggar, dan sekedar formalitas saja. Selama nilai ekonomisnya lebih tinggi dan lebih menguntungkan bagi perusahaan untuk melakukan pelanggaran, kenapa juga harus tunduk pada peraturan perundangan toh saat ini tak ada satupun peraturan perburuhan yang dianggap menguntungkan buruh/pekerja  benar-benar diawasi dan dikawal oleh pemerintah"

Mungkin begitulah pola pemikiran beberapa pengusaha di negara tercinta ini. Dan saya yakin sekali bahwa pola pikir tersebut ada dan nyata saat ini. Namun alangkah bijaksana-nya apabila para pengusaha punya keinginan dan tekad untuk mau melaksanakan segala peraturan perundangan yang berlaku, termasuk dalam hal ini melaksanakan perhitungan upah lembur secara benar dan transfaran sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku serta diketahui oleh karyawan.

Dampak positifnya tentu akan menjadi milik kedua belah pihak yakni karyawan dan perusahaan. Bagi perusahaan  hal ini akan memudahkan untuk mengontrol dan memudahkan peng-inputan data kedalam sebuah system aplikasi pengupahan, karena terkadang kendala pada bagian IT perusahaan dalam merumuskan upah lembur adalah karena ada standar perhitungan yang berbeda antara karyawan yang satu dengan karyawan lainnya, selain itu energy dan waktu tidak akan terbuang sia-sia hanya untuk sekedar menjawab dan mengklarifikasi satu persatu keluhan karyawan terkait kesalahan perhitungan upah lembur tersebut.

Bagi karyawan tentu saja berdampak positif, lembur jadi lebih fokus pada pekerjaan tanpa berprasangka negatip upah lemburnya akan "di-akali" oleh perusahaan, karyawan lebih yakin akan besaran upah yang diterima sehingga akan mudah mengatur cashflow kantongnya bulan depan.

Bagi perusahaan dan karyawan, teknik dan tatalaksana perumusan upah lembur yang mendetil harus bisa dituangkan kedalam sebuah  kesepakatan tertulis yang bisa saja dimuat kedalam Kesepakatan Kerja Bersama (KKB) / Perjanjian Kerja Bersama (PKB), Peraturan Perusahaan, atau Surat Kesepakatan Kontrak Kerja dll, yang penting hal tersebut harus mendapat persetujuan kedua belah pihak agar mudah dikontrol dalam pelaksanaannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline