Lihat ke Halaman Asli

Keteladanan dan Pendidikan Kita

Diperbarui: 17 Juni 2015   12:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Sebutlah ini latah, karena turut menukil kondisi kekinian wajah bangsa yang ketika melihatnya di layar kaca niscaya akan membuat mata berkaca-kaca. Ya, negeri ini sedang disesaki "teladan" yang cukup meragukan untuk ditempati berkaca. Padahal kita masih butuh cermin untuk terus bersolek menjadi negeri yang bermartabat nan elok.

Ihwal tulisan ini diilhami oleh kegelisahan terhadap perilaku sebagian elit bangsa ini yang tidak cukup baik untuk dijadikan teladan hampir satu tahun ke belakang. Teladan yang kurang baik-kalau kita tidak akan menyebutnya sebagai buruk- diantaranya yaitu seteru berkepanjangan antar faksi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang diduga kuat merupakan efek turunan dari duel head to head, berebut kuasa, menjadi presiden dan wakil Presiden.

Contoh kurang baik paling aktual, oleh para suluh negeri ini tentu saja terkait suksesi kepala kepolisian republik Indonesia (Kapolri). Pencalonan Kapolri oleh Presiden dan persetujuan terhadap Kapolri usulan presiden oleh DPR sejatinya adalah sebuah peristiwa ketatanegaraan yang lazim. Namun, hal itu menjadi peristiwa yang tak biasa, ketika calon yang diusung Presiden untuk duduk di kursi nomor satu salah satu institusi penegak hukum itu, justeru adalah individu yang ditengarai telah terlibat masalah hukum serius.

Kondisi itu kemudian diperparah oleh sikap mayoritas Fraksi di DPR yang menyetujui pencalonan tersebut. Apalagi persetujuan diberikan oleh DPR hanya beberapa saat pasca sang calon Kapolri ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Terlepas dari sengkarut pendapat pro dan kontra banyak orang cerdas -pengamat, mantan polisi maupun politisi- atas peristiwa tersebut. Satu yang pasti, kondisi itu akan menimbulkan kebingungan yang amat sangat pada sebagian orang tentang benar dan/atau salah sikap Presiden serta DPR pada proses pencalonan dan persetujuan sang calon Kapolri.

Berbagai peristiwa yang melibatkan para elit sebagai "aktor"beberapa bulan ke belakang seperti yang disebut di atas, sesungguhnya merupakan pemandangan kurang baik yang dipertontonkan kepada para remaja. Apalagi, para elit yang menjadi aktor utamanya mungkin telah menjadi idola bagi mereka. Adanya kecenderungan remaja untuk meniru perilaku para idolanya tentu menjadi bagian yang tidak bisa kita sepelekan dan harusnya dikuatirkan.

Simaklah penuturan "Social learning theory" (Teori Belajar Sosial) yang dikembangkan oleh Albert Bandura. Pada teori tersebut diuraikan bahwa perilaku seseorang sangat mudah dikembangkan melalui meniru perilaku yang dilakukan oleh orang lain, yang dalam teori ini dikenal dengan "modeling process".

Asrosi (2007:166) kemudian menimpali, bahwa proses modeling akan sangat efektif  berlangsung jika yang ditiru adalah figur yang diidealkan atau diidolakan oleh remaja. Nah, permasalahannya sekarang, jika perilaku yang sering disaksikan remaja dalam proses modeling adalah perilaku keliru. Akan tetapi karena yang melakukan perilaku tersebut adalah tokoh idola mereka, bisa saja remaja menilainya berbeda dan menganggap bahwa perilaku tersebut adalah sesuatu yang sudah benar, dan karenanya menjadi patut untuk dicontoh.

Singkatnya, Bagaimana kemudian jika sikap Presiden mengajukan calon Kapolri yang diduga tersangkut masalah hukum dan tidak menarik pencalonannya dari DPR bahkan ketika idividu tersebut telah ditetapkan menjadi tersangka oleh KPK, dianggap sebagai sikap yang benar oleh Remaja? Bagaimana pula jika sikap DPR yang memberikan persetujuan terhadap calon Kapolri usulan Presiden di saat calon tersebut telah ditetapkan sebagai tersangka pada sebuah kasus hukum, diamini remaja sebagai sesuatu yang benar? Kita bersama bisa membayangkan akan seperti apa sikap mereka kelak, ketika tiba gilirannya menjadi pemimpin negeri.

Pada titik ini, penulis merasa perlu untuk mengingatkan bahwa pendidikan tidak melulu menjadi urusan guru di sekolah atau lebih jauh lagi, pendidikan bukan hanya menjadi urusan pak Menteri Anis Baswedan dan seluruh institusi di bawahnya. Seluruh elemen bangsa ini harus terlibat di dalamnya, paling tidak dengan tidak memberikan teladan yang kurang mendidik.

Martajaya, Mamuju Utara, Sulawesi Barat, 22 Januari 2015.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline