Lihat ke Halaman Asli

Matamu Katarak

Diperbarui: 12 Juni 2024   06:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto: Usman

Ketika aku naik motor, seseorang yang sebenarnya aku kenal menyapaku dengan isyarat pada jarak sekira lima meter. Aku tak menyadari karena aku tak melihat mukanya dengan jelas. Pengelihatanku agak buram, berkabut. Hal seperti itu berulang kali terjadi. Kukira mereka kecewa dan mengira aku angkuh. Aku tak enak hati hingga kemudian ada seseorang yang aku mintai maaf, aku jelaskan penyebabnya.

Pandanganku terasa tidak bersih. Untuk membaca teks di bawah sinar matahari yang amat terang aku kesulitan, silau. Faktor penyebab ketidaknormalan pengelihatanku mungkin akibat radiasi sinar dari laptop dan HP yang terus menerus, selain faktor usia.

Pada pencahayaan di ruangan daya lihat mataku terasa biasa saja. Namun ketika berada di luar ruang dengan pencahayaan sinar marahari yang terang terasa ada penghalang, melihat jauh tampak buram dan silau. Teks pada kertas pun tak tampak jelas.

Dokter spesialis mata yang menangani pengobatan ibuku menyarankan agar kami anak-anaknya memeriksakan mata, khawatir mengalami masalah mata seperti ibu, mungkin glaukoma. Masa-masa sebelum tutup usia ibu mengalami kebutaan. Seandainya itu terjadi pada kami, ngeri. Naudzubillah. Mengingat hal itu, aku didera kekhawatiran.

Dengan begitu kukira memeriksakan mata kepada ahlinya menjadi penting. Seorang adikku telah memeriksakan matanya lebih dulu. Adik-adikku yang lainnya belum melakukannya.  Rencanaku ke Puskesmas untuk periksa mata terulur-ulur hingga sekian lama.

Tibalah saatnya, aku menghadap dokter umum di Puskesmas B. Maksudku hendak meminta surat rujukan untuk dibawa ke dokter spesialis mata di rumah sakit. Sang dokter laki-laki menatap mataku tanpa alat apa pun. “Katarak,” cetusnya spontan. Aku heran, kok semudah itu, tanpa pengamatan yang teliti. Dia mulai menulis resep. Aku heran, “Terus?” Seperti spontan juga dia menjawab, “Harus ganti lensa.” Aku bertambah heran, tapi tak berani protes. Kukira dia ingin agar aku meminum obat dan tidak ke dokter spesialis dulu sehingga aku tidak bersikukuh meminta surat rujukan.

Aku enggan bertanya lebih jauh. Kuterima saja resep yang ditulisnya. Aku ambil obat di loket apotek. Ternyata diberi vitamin. Tentu saja aku tak puas. Kuhabiskan dalam tiga hari seraya berharap mendapat dampak baik. Ternyata tak ada pengaruh berarti terhadap pengelihatanku. Aku jadi tidak percaya dengan kemampuan dokter itu. Padahal, sepertinya dia dokter senior di situ. Entahlah, apakah dia sedang punya masalah pribadi dtau masalah dinas.

Seperti kata dokter senior itu, mataku mengalami katarak. Jika kembali ke puskesmas untuk urusan mata aku enggan. Masalah mata aku abaikan dulu. Sekalipun aku ke puskesmas keperluannya untuk berobat penyakit lain. Seiring waktu, masalah mata kepikiran juga. Hingga kurang dari setahun kemudian aku mencoba datang ke Rumah Sakit Umum Kabupaten (RSUK) untuk memeriksakan mataku guna mendapatkan keterangan yang valid dari ahlinya.  

Pendaftarannya tidak di loket umum, melainkan langsung ke poli mata. Tiba di poli mata aku menghadap ke suster penerima pendaftaran di depan ruang praktek dokter spesialis mata. Maksudku ingin memeriksa mataku dengan biaya sendiri, tanpa BPJS. Bulan-bulan sebelumnya aku berobat ke poli THT biayanya terjangkau. Kukira nominal biayanya kurang lebihnya sama karena sama-sama spesialis. Aku katakan bahwa menurut dokter di puskesmas mataku mengalami katarak. Aku ingin memastikan kebenarannya.

“Jangan Pak, mahal. Pakai BPJS saja.” Suster pertama menolak.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline