Lihat ke Halaman Asli

Kemah di Belakang Rumah

Diperbarui: 30 Januari 2023   01:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi pribadi

Kabar bahwa negeri Cina tengah dilanda  wabah korona telah sampai ke telinga orang-orang Kampung Angin. Jumlah korban jiwa terus bertambah. Negara-negara lain pun mulai mengabarkan jumlah korban yang terinfeksi dan meninggal dunia. Namun dalam logika kebanyakan warga Kampung Angin sangat kecil kemungkinannya bahkan nyaris mustahil wabah di negeri yang amat jauh itu bisa sampai ke kampung mereka kendati Kampung Angin bisa dimasuki orang luar dari empat penjuru mata angin.  Aktivitas warga berjalan seperti biasanya. Bahkan sampai ada berita di televisi yang mengabarkan bahwa mulai banyak orang di dalam negeri yang terjangkiti, warga Kampung Angin tenang-tenang saja.

Kata Kiyai Sarkum bahwa berjangkitnya wabah tersebut atas kehendak yang maha kuasa, sehingga beliau berasumsi bahwa warga Kampung Angin tidak pernah melakukan kesalahan besar sehingga tidak akan ada karma yang menghukum mereka berupa berjangkitnya wabah. Namun doa tolak bala tetap dibacakan pada setiap kesempatan pengajian, usai salat lima waktu dan khotbah jumat.

Larangan berkerumun disampaikan petugas dari kecamatan dengan toa di atas mobil keliling kampung. Namun pada waktunya, hajatan warga tetap digelar tanpa mengindahkan protokol kesehatan. Terlebih pengajian, pertemuan-pertemuan komunitas warga masih berjalan seperti biasa, tanpa ada kekhawatiran terjangkit virus yang kabarnya berbahaya dan bisa mengakibatkan korban jiwa.

Berdomisili di Kampung Angin, Jumanta merasa nyaman. Tak ada kekhawatiran akan terjangkit virus korona, sehingga hanya ketika bekerja dia memakai masker. Bosnya mewajibkannya memakai masker saat mengendarai mobil. Sebagai sopir pribadi dia harus patuh terhadap bosnya jika tidak mau kehilangan pekerjaan.

Dalam waktu yang relatif cepat, jumlah korban yang terjangkit terus bertambah, juga korban yang meninggal dunia. Usai salat subuh hingga pukul sembilan telah lima kali berita kematian diumumkan. Penyebabnya diduga virus korona. Hari sebelumnya satu orang meninggal dunia dengan penyebab sama. Masjid Nurul Qolbu kemudian disatroni Polisi Binamas dan Babinsa. Kiyai Sarkum diminta agar tidak melaksanakan salat jumat sehingga tidak ada kerumunan warga.  Mereka menyampaikannya dengan bahasa yang santun dan sangat berhati-hati.

Untuk meyakinkan kedua petugas tersebut Kiyai Sarkum mengumumkan melalui toa masjid bahwa hari itu salat jumat ditiadakan karena keadaan dinilai darurat. Warga diminta melaksanakan salat zuhur di rumah masing-masing. Beberapa warga yang datang dihalaunya agar pulang. Kendati masuk waktu zuhur tak ada yang azan di masjid Nurul Qolbu. Polisi pergi sekitar pukul dua belas seperempat.

Sekira pukul tiga belas, Kiyai Sarkum menaiki lantai dua. Tanpa dikomandoi sejumlah warga berdatangan. Seolah mereka paham bahwa  Kiyai akan mengimami salat. Jamaah yang datang kurang tujuh belas orang, termasuk Supena. Azan dikumandangkan dengan suara pelan. Khotbah disampaikan secara singkat oleh Kiyai Sarkum. Demikian juga dengan imam, yang dibacanya surat pendek. Prosesi ibadah jumat berlangsung singkat.

Kejadian itu diceritakan Supena kepada Jumanta. "Ha ha ha...," Jumanta tertawa lebar, "bagus itu! Baik polisi maupun pak kiyai tidak ada yang salah. Yang salah itu orang yang hari itu tidak melaksanakan salat apa pun."

"Kurang khusyuk Man, takut polisinya datang lagi."

"Tapi nyatanya tidak kan?"

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline